Dunia Mahasiswa dan Godaan Kaya di Usia Muda
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dunia Mahasiswa dan Godaan Kaya di Usia Muda

Jumat, 01 Sep 2023 14:00 WIB
Minhajuddin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Dunia Mahasiswa dan Godaan Menjadi Kaya di Usia Muda
Minhajuddin (Foto: dok.pribadi)
Jakarta -
Seorang remaja yang masih berstatus mahasiswa dengan rambut pendek, mengenakan kaca mata, sedang terlilit pinjaman online (pinjol) karena rugi dalam investasi online kripto. Dia sudah melakukan berbagai cara untuk membayar utang pinjol, tetapi tidak membuahkan hasil. Sudah tujuh bulan memikirkan jalan keluar, tetapi nihil. Tidak kunjung menemukan solusi, dia putus asa dan mencari jalan pintas. Dia mempunyai seorang teman yang juga merupakan juniornya di kampus. Gayung bersambut, temannya memiliki barang-barang berharga sehingga muncul pikiran untuk menguasai barang temannya.

Alhasil, pada suatu hari ketika mengantar temannya pulang ke kos di daerah Kukusan, Depok. Dia sudah menyiapkan pisau lipat di jok motor. Setiba di kos temannya ketika hendak masuk kamar, dia mengambil pisau lipat dari jok motor dan menyelipkan di saku celananya. Dia tetap berusaha tenang dan bersikap seperti biasanya supaya tidak dicurigai. Hingga puncaknya, dia pura-pura pamit lalu dengan teganya, menusuk temannya dengan pisau yang sudah dipersiapkan.

Semua terjadi dengan sangat cepat. Temannya meregang nyawa dengan luka tusukan di sekujur tubuhnya. Misi awalnya berhasil kemudian misi berikutnya, mengambil semua barang milik temannya yang sudah diincar. Dia kemudian membungkus mayat temannya dengan plastik layaknya sampah. Entah apa yang ada di pikirannya bisa setega itu melihat seorang teman yang selama ini ditemani berbagi canda dan tawa, tetapi dengan mudahnya memperlakukannya seperti sampah yang tak berguna.

Betapa hancur perasaan kedua orangtua korban yang sedang berada di Lumajang, kampung asal korban. Berharap anaknya kuliah dan mendapatkan gelar sarjana dari salah satu perguruan tinggi paling bergengsi di negeri ini, ternyata harus menerima kenyataan bahwa anaknya kembali ke kampung dalam keadaan terbungkus kain kafan.
Cerita tersebut di atas merupakan kejadian nyata yang terjadi pada Rabu (2/8), ketika salah seorang mahasiswa UI Jurusan Sastra Rusia membunuh juniornya dengan alasan ingin menguasai hartanya karena terlilit utang pinjol yang digunakan modal berinvestasi di kripto, sialnya dia selalu boncos sejak awal tahun.

Dia tidak pernah berpikir bahwa dengan melakukan pembunuhan tersebut, bukannya menyelesaikan masalah yang pertama tetapi semakin menambah berat masalah yang akan dihadapinya. Jika masalah pertama hanya berhubungan dengan dirinya, maka dengan melakukan pembunuhan akan banyak sumpah serapah yang ditujukan kepada dirinya.

Implikasi Sosial

Tahun lalu, viral sebuah cuitan dari salah seorang remaja di akun Twitter-nya yang menulis tentang "umur 30 tahun kalo belum punya 1 M itu kebangetan, makanya jangan nongkrong di Starbucks mulu." Cuitan yang menjadi kontroversial dan banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan karena tidak mempertimbangkan berbagai variabel yang determinan dalam hidup seseorang.

Cuitan tersebut secara sekilas tidak menjadi masalah besar, tetapi ada implikasi negatif yang hampir dilupakan bahwa akan ada remaja-remaja lain yang membaca cuitan di atas kemudian merasa insecure dengan menyadari kondisi mereka. Jangankan tabungan satu miliar, mikir mau makan apa besok, harus menunggu kiriman dari orangtua. Mereka yang mungkin berjuang keras untuk tetap survive di tengah pengaruh gaya hidup yang membanjiri media sosial.

Hidup seharusnya tidak bisa dikuantifikasi karena setiap orang memiliki preferensi dan latar belakang yang berbeda. Ada yang berangkat dari minus, ada yang benar-benar nol, tetapi ada juga yang terlahir dari orangtua yang kaya raya sehingga memiliki modal yang besar untuk memulai sebuah usaha atau bahkan mewarisi usaha orangtua.
Pandangan dari pemilik akun yang menulis tentang tabungan satu miliar, mungkin saja benar bagi dirinya, tetapi tidak boleh dipaksakan berlaku universal karena di sekitar dia banyak remaja usia 30-an yang bahkan harus menjadi tulang punggung keluarganya.

Selain faktor latar belakang, ada juga sebagian remaja yang terlahir dari keluarga orang kaya, tetapi memilih untuk hidup biasa-biasa saja dengan berbagai pertimbangan salah satunya karena ingin menikmati hidup terlepas dari predikat sebagai orang kaya. Jadi tidak logis untuk kemudian menjustifikasi semua orang yang tidak memiliki tabungan yang banyak karena sejatinya bahwa tabungan, dalam hal ini uang hanya sekadar alat yang tidak akan mampu menggantikan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.

Ada juga sebagian orang yang memilih untuk mendermakan harta mereka untuk kepentingan orang banyak, alih-alih menumpuk tabungan sampai mencapai angka satu miliar kemudian hanya dibanggakan dan di-posting di media sosial. Jika demikian, maka mereka hanya memberi makan ego yang tidak akan pernah terpuaskan.

Morgan Housel dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Money memaparkan bahwa pada dasarnya ada dua jenis kondisi keuangan, yaitu kekayaan yang berbentuk simpanan sehingga tidak terlihat oleh orang banyak yang disebut wealth, sementara ada juga kekayaan yang bisa dilihat seperti benda-benda yang diistilahkan dengan kata rich. Atas hal tersebut, beberapa miliarder di dunia ini terlihat sangat sederhana dalam berpenampilan karena mereka tidak butuh pengakuan dari orang lain, sementara ada orang yang memaksakan untuk menampilkan kekayaan yang mungkin berasal dari utang hanya untuk mendapatkan pengakuan status sosial.

Ada benang merah antara cuitan di awal kalimat yang mengolok-olok remaja yang tidak memiliki tabungan satu miliar di usia 30-an dengan kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh mahasiswa karena kalah dalam investasi kripto. Ajakan untuk ikut dalam bidang investasi semakin menyasar kelompok remaja.

Mereka yang berusia awal 20-an semakin terobsesi untuk mendapatkan cuan yang besar dari berbagai cara demi untuk menaikkan status sosial mereka sebagai remaja yang mampu mencapai kondisi bebas finansial ketika berumur 30-an. Paradigma yang sangat membahayakan karena di usia 20-an, mereka seharusnya meningkatkan kompetensi mereka termasuk mental untuk menghadapi segala dinamika kehidupan, bukan fokus menghasilkan cuan.

Mungkin tidak secara langsung, tetapi fenomena tersebut menjadi sangat jamak di dunia mahasiswa saat ini. Mereka berambisi untuk menjadi investor atau trader dengan berbagai pilihan investasi yang ditawarkan dengan syarat mudah, tetapi melupakan satu hal yang krusial bahwa usia mereka masih dalam usia pelajar. Menjadi investor atau trader sama sekali tidak dilarang, tetapi seharusnya mereka menjadikan hal tersebut sebagai proses pembelajaran tanpa berambisi untuk mendapatkan keuntungan dengan bayang-bayang memiliki tabungan satu miliar.

Godaan gaya hidup di media sosial yang semakin meningkat menjadi peluang terbuka bagi perusahaan sekuritas untuk menawarkan berbagai portofolio saham yang sesuai dengan keuangan mahasiswa. Sebagai perusahaan yang tujuan akhirnya adalah profit, tentu mereka tidak memiliki tanggung jawab moral untuk mengedukasi para mahasiswa dalam hal pemilihan investasi. Selama mahasiswa tertarik, maka menjadi keuntungan bagi mereka.

Pada titik inilah, ada benang kusut yang harus diurai dari berbagai fenomena yang ada karena jika gagal untuk memetakan masalah, maka mahasiswa yang akan menjadi korbannya. Mahasiswa harus mampu menakar diri mereka dalam hal bisnis karena menjalankan sebuah bisnis termasuk terjun dalam dunia investasi, bukan dunia main-main, tetapi harus dipelajari secara serius, jika tidak maka dampaknya sangat sistematik.

Pengaruh media sosial juga menjadi salah satu alasan utama kenapa kultur di dunia mahasiswa sekarang berubah drastis. Beberapa tahun silam, dunia mahasiswa dipenuhi dengan kesibukan berorganisasi, diskusi dan berbagai kegiatan yang tendensinya ilmu pengetahuan tetapi saat ini, beberapa mahasiswa lebih sibuk memikirkan bagaimana menghasilkan uang banyak sebelum selesai kuliah.

Investasi Terbaik

Dalam salah satu videonya, Dr Rhenald Kasali menyatakan bahwa seharusnya di umur 20-an, para remaja seharusnya melakukan investasi pada bidang pengetahuan, pendidikan, relasi serta keterampilan. Mereka seharusnya belum waktunya untuk memikirkan financial freedom karena seharusnya hal tersebut dicapai di umur 40-an. Argumen Rhenald Kasali tersebut merespons remaja termasuk mahasiswa yang alih-alih meningkatkan keterampilan untuk modal masa depan, bahkan mereka sibuk mencari uang termasuk berinvestasi sehingga yang mendominasi pikiran mereka adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang besar.

Lebih lanjut, Rhenald Kasali mengidentifikasi bahwa setidaknya ada 10 toxic word yang meracuni sebagian generasi saat ini yaitu cuan, quarter life crisis, insecure, passion, hustle culture, toxic workplace, work life balance, passive income, dan privilege. Hal ini mengkhawatirkan karena seakan dianggap tren sementara dampaknya cukup mengganggu terhadap perkembangan mental generasi muda.

Sebenarnya semua kata di atas memiliki makna yang sesuai konteksnya, namun pada kenyataannya generasi muda sekarang menggunakan secara serampangan. Misalnya kata cuan terlalu sering digunakan dalam berbagai pekerjaan sementara, remaja yang masih dalam proses pengembangan kompetensi yang mereka miliki seharusnya tidak terlalu menjadikan cuan sebagai tujuan akhir. Mereka harus memikirkan bagaimana proses mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Demikian juga kata yang lain yang seperti insecure. Kata ini seakan sebuah tren yang digunakan remaja untuk menunjukkan diri mereka yang tidak ada apa-apanya ketika berhadapan dengan orang yang mungkin berada di level yang berbeda dengan mereka dalam hal apa saja. Sementara mereka tidak menyadari bahwa semua orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika tidak dimitigasi sejak awal maka perasaan insecure akan melahirkan generasi yang putus asa dan self-esteem yang rendah.

Literasi keuangan

Di lain waktu, ketika saya dan beberapa rekan pengajar mendampingi mahasiswa melakukan kunjungan ke BEI, kami mengikuti sosialisasi di ruang pertemuan terkait potensi investasi bagi para mahasiswa. Program ini didesain dengan dasar pemikiran untuk memperkenalkan mahasiswa mengenai dunia saham karena relevan dengan program studi perdagangan internasional.

Pada saat pemaparan materi, salah seorang narasumber mengiming-imingi mahasiswa bahwa dengan ikut aktif menjadi seorang investor atau memilih menjadi trader, maka mahasiswa tidak akan lagi membebani para orangtua. Mahasiswa juga tidak perlu terlalu khawatir ketika selesai kuliah dan harus bekerja di mana. Lebih jauh lagi, jika hendak menikah, maka mahasiswa sudah memiliki modal menikah karena sedari awal menjadi investor atau trader.

Iming-iming yang disampaikan oleh narasumber tersebut diafirmasi dengan data yang ditampilkan bahwa tren dalam dunia investasi sudah berubah dibandingkan pada 1990-an. Saat ini, investor sudah didominasi oleh para remaja yang bahkan belum berumur 30 tahun.

Saat mendengar penjelasan dari narasumber, saya bisa memaklumi karena mereka merupakan bagian dari sebuah perusahaan yang ditargetkan untuk mencari investor baru dengan tujuan akhir mendapatkan profit. Tetapi, kemudian muncul kekhawatiran di benak saya bahwa ketika tidak diimbangi dengan berbagai landasan pengetahuan yang kuat, kemungkinan mahasiswa akan ikut berinvestasi karena impian cuan yang besar akan salah arah.

Salah satu mekanisme kontrol yang saya lakukan adalah setiap berada di dalam kelas, saya selalu mengingatkan bahwa mahasiswa boleh ikut menjadi investor atau trader, tetapi fokusnya jangan bermimpi untuk langsung kaya atau mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.

Jika memilih untuk terjun dalam dunia investasi saat mahasiswa, maka jadikan itu sebagai proses pembelajaran dengan cara mempelajari seluruh mekanisme yang ada. Jangan serta merta mengeluarkan modal yang besar tanpa disertai literasi finansial yang memadai karena jika itu terjadi, fenomena sosial seperti yang terjadi pada mahasiswa UI akan terjadi juga pada mahasiswa-mahasiswa lain. Pada titik inilah pentingnya literasi keuangan.

Literasi keuangan secara sederhana diartikan sebagai kemampuan seseorang mengelola keuangan pribadi secara efektif yang meliputi berbagai hal termasuk pengetahuan tentang konsep keuangan, pengelolaan anggaran, penggunaan keuangan, bagaimana melindungi aset dan hal-hal lain yang terkait dengan keuangan.

Secara khusus, literasi keuangan bagi para mahasiswa harus memahami hal-hal spesifik misalnya dari mana sumber keuangan yang mereka peroleh, digunakan untuk apa dan Termasuk juga keputusan-keputusan untuk ikut dalam dunia investasi serta pekerjaan apa yang bisa dilakukan sebagai sumber pemasukan tambahan. Sebaiknya, pekerjaan sampingan yang dipilih oleh mahasiswa, sebisa mungkin berhubungan dengan kompetensi dan jurusannya.

Dinamika kehidupan memang sangat fleksibel, tidak bisa dikontekstualisasikan dengan zaman sebelum perkembangan teknologi yang sangat pesat, tetapi adalah nilai-nilai universal yang seharusnya tetap dipertahankan bagi generasi muda bahwa ada proses yang mendahului hasil. Di umur 20-an, mereka seharusnya fokus pada pengembangan kompetensi diri, jika mendapatkan keuntungan berbentuk finansial, maka anggap saja hanya bonus, selebihnya tujuan awal adalah pengembangan diri.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads