Dua Miliar Rupiah dan Arti Menjadi Dewasa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dua Miliar Rupiah dan Arti Menjadi Dewasa

Jumat, 01 Sep 2023 10:50 WIB
Rakhmad Hidayatulloh P
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
rakhmad
Rakhmad Hidayatulloh P (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

"Di usia segini, baru sadar kalau cuma butuh duit Rp 2 miliar, Ya Allah."

Keluhan berkelakar seperti itu, setahun belakangan ini kerap saya temukan berseliweran di timeline media sosial hingga story WA teman-teman saya. Ujaran itu, seolah merangkum kegelisahan banyak orang tentang menjadi dewasa.

Kenyataan bahwa setiap masalah hidup (selalu) diselesaikan dengan uang mungkin terkesan klise. Ya, karena apa di dunia ini yang tak membutuhkan uang? Tapi mengapa banyak orang merasa telat menyadarinya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya tak tahu pasti jawabannya. Tapi saya punya dugaan bahwa ini semata-mata soal imajinasi kita soal menjadi dewasa. Menjadi dewasa kerap diimajinasikan sebagai fase yang menggembirakan karena menjadi momen terbukanya gerbang kebebasan.

Saat menginjak paruh akhir usia 20-an, saya mulai banyak menyadari bahwa waktu kecil salah saat membayangkan nikmatnya menjadi dewasa. Dulu, saya membayangkan menjadi dewasa itu perkara privilese untuk mengakses hal-hal yang tak boleh dilakukan anak kecil. Mulai dari menonton film dewasa, bermain game tanpa kenal waktu, berpetualang ke tempat-tempat jauh, hingga membeli barang apapun dengan uang sendiri.

ADVERTISEMENT

Saya bahkan juga pernah mengira bahwa pekerjaan dengan gaji layak bakal secara otomatis didapatkan jika bisa menyelesaikan kuliah S1, semuanya otomatis tersedia ketika menjadi dewasa. Padahal, proses untuk mendapatkan pekerjaan sangatlah berliku. Sampai-sampai, saya sempat membayangkan menganggur sepanjang usia.

Proses menjadi dewasa sungguh panjang dan tak mudah. Ada rasa sakit yang harus ditahan. Menjadi dewasa, meminjam judul cerpen Putu Wijaya, harus "bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata". Kesiapan itu harus semakin tebal lagi ketika menyongsong usia 30 tahun.

Bayangkan saja, hidupmu tak lagi ditopang oleh orangtuamu. Kamu kini memiliki tanggung jawab penuh atas hidupmu. Mulai mencicil rumah, mengatur keuangan agar cukup sampai tanggal gajian, hingga membiayai adik yang masih kuliah.

Kondisi-kondisi ini bisa begitu mengejutkan ketika kamu tahu tiba-tiba alat elektronikmu tiba-tiba rusak, tagihan listrikmu mendadak mahal, atau kamu kehilangan uang di saat tanggal tua.

Belum lagi saat kondisi kesehatanmu sedang tidak fit. Tubuh yang menua akan semakin ringkih dan sensitif terhadap banyak hal. Belum lagi, jika rutinitasmu adalah pekerja di kota yang belakangan ini polusi udaranya luar biasa parah. Minimal kamu harus menyiapkan stok masker atau vitamin agar tak gampang pilek.

Sialnya, semua masalah-masalah ini selalu berujung pada uang. Tapi, uang tak selalu mencukupi.

Kamu pun terus memutar otak agar semua tetap bisa berjalan dengan baik-baik saja. Dari mulai mencari sambilan pekerjaan hingga melatih skill berburu voucher diskon di lokapasar. Skill baru bisa membuka peluangmu mendapat kerjaan sambilan dan voucher diskon bisa sedikit menghemat kantongmu.

Di saat-saat seperti ini, menjadi dewasa memang membutuhkan kreativitas. Maka dari itu, saya suka melarikan diri (escape) dengan menikmati produk budaya populer --film dan buku. Tentu saja bukan sekadar untuk menjadi paling "kalcer" di tongkrongan, tapi menonton film atau membaca buku merupakan upaya kecil saya untuk menakar kembali kehidupan. Memunguti makna rutinitas kehidupan yang kadang begitu menjemukan.

Selain menikmati produk budaya, agama sebagai pegangan personal juga menjadi penolong. Wejangan-wejangan dari orang saleh, misalnya seperti Gus Baha, bisa cukup membuat hidup tetap menyisakan cahaya harapan. Wejangan itu tentu saja tidak menggurui atau menghakimi. Maka benarlah jika Karen Armstrong menganggap agama dan seni memiliki kait kelindan.

"Sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasatnya," kata Karen dalam bukunya yang paling masyhur, Sejarah Tuhan.

Agama dan seni pun menjadi penopang hidup yang membuat kita bisa menjadi sekreatif mungkin. Kreativitas ini yang juga membuat kita, orang-orang dewasa ini, menjadi kuat.

Maka rasanya tak salah jika saya menyimpulkan bahwa menjadi dewasa adalah bergelut dengan masalah-masalah riil di dunia nyata.

Kau tak punya cukup waktu untuk terlibat dalam keributan fafifu wasweswos ndakik-ndakik di Twitter. Apalagi harus menyiapkan mental untuk menghadapi akun-akun anonim demi berdebat soal masalah-masalah elitis di Twitter.

Menjadi dewasa adalah berusaha sekreatif mungkin untuk menyiasati problematika kehidupan yang tak lagi ditopang oleh orang tuamu. Menjadi dewasa adalah berusaha menjadi lebih kuat, lebih kuat lagi, hingga semuanya terlewati. Barangkali itulah fungsi sesungguhnya dari doa: bukan mengharapkan yang kita mau, hanya berharap menjadi lebih kuat.

Lalu, apakah di umur segini kamu baru sadar bahwa cuma butuh duit Rp 2 miliar? Rasanya duit segitu tidak cukup. Sebab, menjadi dewasa adalah perjalanan yang panjang....

Rakhmad Hidayatulloh P wartawan detikcom

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads