Meski belum resmi, pilpres ke depan tidak akan keluar dari tiga nama calon presiden. Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Ketiganya sudah pasang "kuda-kuda". Pun dengan poros politik sudah mulai mengerucut.
Ibarat tinju, ketiganya sudah mulai berlatih, sudah mulai psywar. Wajar dan perlu, meskipun sejauh ini masih monolog, belum ada yang secara tajam saling berbalas ide dan argumen. Perdebatan belum menghangat.
Apabila dikategorisasikan, pilpres ke depan tak akan keluar dari percakapan melanjutkan apa yang sudah Presiden Jokowi lakukan atau sebaliknya. Situasi yang demikian dapat dimengerti mengingat Presiden Jokowi mendapatkan approval rating 80 persen lebih, terbesar di dunia, mungkin hanya kalah dengan Kim Jong Un. Kepuasan yang besar dari rakyat bukan turun dari langit, tapi kemampuan Jokowi dalam meletakkan fondasi pembangunan yang penting
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejauh yang saya amati, Presiden Jokowi mampu memenuhi syarat yang ditulis Francis Fukuyama dalam The Origin of Political Order di mana Fukuyama menemukan bahwa sebuah imperium bertahan karena pemimpin dapat memenuhi tiga syarat. Strong state, rule of law, dan accuntabiltiy of the government.
Di bawah kepemimpinan Jokowi, kekuatan politik terkonsolidasi dan menguatkan kepemimpinan. Yang paling gampang kita lihat pada kebijakan hilirisasi sumber daya alam. Protes tidak hanya datang dari akademisi, oposisi, tapi juga dari negara-negara advanced industrial country, bahkan IMF dan World Bank juga ikut "ngerecoki" tapi Jokowi jalan terus. Dibawa ke WTO, lawan! Kalah, tak mundur, go ahead.
Begitu juga rule of law. Orang boleh berdebat, tapi keberanian menegakkan hukum salah satunya untuk BLBI jadi bukti. Ini perkara bukan kaleng-kaleng. Butuh keberanian. Rakyat pun mafhum ketika ada pemimpin yang tak mampu mengurusi BLBI, tapi tidak dengan Jokowi; beliau mampu memberesi perkara BLBI. Dan, yang terakhir accountability of government, bayangkan bagaimana rakyat tak memberikan 80 persen dukungan ketika Presiden datang ke Lampung, mencoba mobil kepresidenan untuk "off road" dan detik itu juga diberesi.
Rasa-rasanya dapat dimengerti secara matematis dan politis ketika brand dan narasi keberlanjutan pembangunan harus diperebutkan karena untuk apa memperebutkan 20 persen yang tidak setuju dengan pendekatan pembangunan Jokowi. Asosiasinya akan dipersepsikan oleh rakyat tidak akan melanjutkan pembangunan infrastruktur yang masif, tidak melanjutkan hilirisasi industri, dan sebagainya.
Maka dapat kita lihat hari ini bahwa yang dapat berkah dari tingginya approval rating Presiden Jokowi adalah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Keduanya mengklaim sebagai penerus Jokowi. Ibarat membeli sneaker, semua mengklaim original. Barang legit. Mengujinya perlu alat ukur dan pengamatan pola.
Mengujinya cukup sederhana. Sanat ideologis yang sama dengan Presiden Jokowi di antara keduanya, ya Ganjar Pranowo. Sama-sama kader moncong putih. Sama-sama pengamal ajaran Bung Karno. Kedua, pengujiannya dapat dari kebijakan. Kalau Anda sering ke Jawa Tengah, pasti akan merasakan masifnya pembangunan infrastruktur terutama jalan, atau kalau Anda lewat Batang dan Kendal, tentu ada akan menyimpulkan, "Oh, begini pentingnya kita membuka investasi". Atau, kalau Anda makan di angkringan atau kaki lima di hampir semua daerah di Jawa Tengah, Anda akan mengerti pentingnya kebijakan stabilitas inflasi.
Pembangunan infrastruktur, inflasi, investasi, dan penurunan kemiskinan merupakan inti dari inti, core of the core dari kebijakan Jokowi dan Ganjar Pranowo. Dari sini seharusnya tak ada keraguan sedikit pun siapa penerus kebijakan Jokowi.
Selain keberhasilan pemerintah dalam mengakselerasi ekonomi dan stabilitas politik, Presiden Jokowi juga meletakkan fondasi Indonesia sebagai kekuatan middle power yang memiliki pengaruh di kawasan. G20 dan yang terbaru diplomasi di Afrika. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi mengingatkan apa yang dilakukan Bung Karno dengan Gerakan Non Blok. Keduanya menempatkan Indonesia sebagai aktor yang berpengaruh dalam arsitektur politik global
Di sisi yang lain, baik Jokowi dan Bung Karno juga sangat populer dan merakyat. Kalau ada yang pernah mengikuti kunjungan kerja Presiden, maka akan paham bagaimana Presiden benar-benar dicintai rakyat. Menyalami ribuan rakyat dan berbicara dengan bahasa rakyat.
Keduanya mampu berbicara dengan diksi high politics maupun low politics. Dan, kalau diperhatikan rekam jejak yang panjang, Ganjar yang memiliki kualifikasi yang demikian. Mampu berbicara dengan diksi high politics tapi juga bisa bersanda gurau dengan emak-emak.
Keteladanan kepemimpinan Bung Karno dan Jokowi tentu ada pada Ganjar, mau dilihat dari segi mana pun. Jadi kalau ada yang menghadap-hadapkan tentu kita dapat mencurigai sebagai bagian dari kepentingan elektoral. Kalau sudah demikian, apa yang dikatakan Ganjar benar bahwa ke depan Indonesia hanya butuh al mukhafadhutu ala khadimisshaleh wal akhdu bil jadidi wal aslah (mempertahankan nilai yang lama yang masih baik dan menerima nilai baru yang lebih baik).
Kalau sudah demikian tak ada keraguan tentang keberlanjutan keberhasilan pemerintah Jokowi dit angan Ganjar Pranowo. Keduanya diikat oleh ajaran Bung Karno, sama-sama belajar di Kandang Banteng. Jadi kalau masih ada yang mengklaim penerus kebijakan Jokowi, anggap saja cari perhatian. Selebihnya, biar rakyat yang membuktikan
Sunanto mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Ketua OKK DPP Taruna Merah Putih, Juru Bicara Ganjar Pranowo
(mmu/mmu)