Sampai artikel ini saya tulis belum satu pun para capres mengumumkan cawapresnya, termasuk Anies Baswedan yang konon sudah mengantongi satu nama. Walhasil elektabilitas hasil survei tampaknya tidak lagi menjadi satu-satunya ukuran untuk memilih cawapres.
Prabowo misalnya, masih mondar mandir melakukan pertemuan-pertemuan dengan berbagai tokoh potensial. Padahal Cak Imin adalah orang pertama yang diisukan bakal menjadi cawapresnya Prabowo, tetapi rencana itu belakangan mentah seiring dengan munculnya isu lain bahwa Prabowo akan disandingkan dengan Erick Thohir.
Prabowo misalnya, masih mondar mandir melakukan pertemuan-pertemuan dengan berbagai tokoh potensial. Padahal Cak Imin adalah orang pertama yang diisukan bakal menjadi cawapresnya Prabowo, tetapi rencana itu belakangan mentah seiring dengan munculnya isu lain bahwa Prabowo akan disandingkan dengan Erick Thohir.
Yang paling gres adalah munculnya isu bahwa bukan Erick Thohir ternyata yang akan digandengkan Prabowo, tetapi Gibran. Isu ini muncul bersamaan dengan sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres/cawapres menjadi 35 tahun. Jadi, bukan elektabilitas, kapasitas, etikabilitas, apalagi intelektualitas lagi yang menjadi pertimbangan, melainkan "pragmatisme".
Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang belum genap tiga tahun menjabat tentu selain masih muda juga masih perlu pengalaman jika mau ditampilkan di panggung nasional. Jika ambang batas usia capres yang dimohonkan ke MK semata-mata dimaksudkan untuk mengegolkan Gibran menjadi cawapres, sungguh ini sesuatu yang "absurd"
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dibilang bahwa inilah pragmatisme dalam pencawapresan. Satu-satunya alasan kenapa Gibran diisukan menjadi bakal calon wapresnya Prabowo yaitu karena Gibran adalah anak Presiden yang masih berkuasa.
Walaupun MK belum memutuskan saat artikel ini ditulis, namun perbincangan di medsos soal ini sudah ramai, dan seperti biasa terdapat pro-kontra. Presiden pun seperti biasa membantah bahwa upaya menurunkan batas usia itu adalah keinginannya. Jika bukan keinginan Presiden, lantas keinginan siapa ? Mungkin sejarah nanti yang akan menjawab.
Bagaimana dengan Ganjar Pranowo? Barangkali Ganjar satu satunya capres yang tidak dapat memilih cawapresnya sendiri, karena jauh hari Megawati sudah mengatakan bahwa cawapres Ganjar ditentukan oleh Ketua Umum PDIP. Memang agak konyol bagi Ganjar, capres yang tidak memiliki kebebasan sendiri memilih wakilnya. Ini mungkin karena predikat "petugas partai" yang dilekatkan pada setiap kader PDIP yang menjabat jabatan publik.
Tidak mengherankan jika kemudian Megawati melalui Puan Maharani mondar mandir melakukan penjajagan, yang pada akhirnya tidak jelas siapa sebenarnya cawapres yang dikehendaki PDIP. Sandiaga Uno yang sudah telanjur keluar dari Gerindra dan bergabung dengan PPP juga tidak jelas apakah akan "diambil" oleh PDIP sebagai cawapresnya Ganjar atau tidak. Demikian juga nama-nama lain yang sudah beredar dan disebut oleh elite PDIP, misalnya Erick Thohir, Mahfud MD, Cak Imin.
Semua serba tidak jelas. Ketidakjelasan itu bisa dipahami, karena semua capres saling menunggu capres yang lain mengumumkan lebih dulu. Mungkin ini bagian dari strategi, mungkin juga karena mengalami "kebingungan" dalam arti dilematis antara orang yang dapat mendulang suara dengan orang yang memiliki kemampuan finansial.
Si A misalnya adalah orang yang berpotensi tinggi mendulang suara, terutama di provinsi-provinsi kunci di Jawa, tetapi si A ini tidak punya dana. Sebaliknya si B punya dana besar tetapi kecil potensi mendulang suaranya. Pada akhirnya pilihan pragmatislah yang akan digunakan.
Lebih konyol lagi PDIP seolah ditinggal sendirian; ketika Golkar dan PAN telah menyatakan mendukung Prabowo dengan bergabung dengan Koalisi Indonesia Raya, maka pilihan-pilihan untuk mencari cawapres akan semakin pragmatis.
Anies Baswedan adalah capres yang tampak lebih tenang, tidak grusa grusu dan mondar mandir seperti halnya Prabowo dan Puan. Bahkan konon Anies sudah mengantongi satu nama, tinggal menunggu momen yang tepat untuk diumumkan. Namun demikian, belakangan ada kabar bahwa Yenny Wahid siap mendampingi Anies. Entah siapa yang meng-endorse, tetapi yang jelas Yenny adalah putri Gus Dur yang pasti kental ke-NU-annya.
Sementara itu Partai Demokrat (PD) sejak awal mengajukan AHY untuk menjadi cawapresnya Anies. Apakah satu nama yang ada di kantong Anies itu bisa berubah? Saya kira tiga partai pengusung Anies (Nasdem, PKS, dan PD) harus kembali dan patuh kepada kesepakatan yang mungkin sudah dibahas dan ditandatangani oleh tim 8, kecuali ada kesepakatan baru.
Sangat disayangkan jika Anies dan partai pengusung ini nanti terjebak juga pada pragmatisme. Jangan sampai ketika gangguan terhadap upaya penjegalan terhadap pencapresan Anies semakin kecil, justru kegamangan dan gangguan datang dari internal.
Ditolaknya Peninjauan Kembali Moeldoko oleh Mahkamah Agung dan semakin kecilnya kemungkinan KPK menersangkakan Anies dalam kasus Formula E seharusnya menjadi energi positif untuk menguatkan komitmen partai pendukung.
Pragmatisme masih akan berlangsung sampai menjelang pendaftran resmi di Komisi Pemilihan Umum pada Oktober nanti, dan masih akan seru berkaitan dengan pencawapresan. Siapa cawapres Prabowo? Erlangga, Cak Imin, atau Erick Thohir yang disurung oleh PAN?
Kejumudan proses pencapresan dan pencawapresan enam bulan terakhir ini pasti tidak akan terjadi jika presidential threshold bukan 20%, melainkan 0%. Hal ini sudah pernah saya bahas dalam tulisan saya beberapa waktu yang lalu. Inilah akar persoalan sebenarnya, sehingga betapa alotnya partai politik mencari mitra koalisi, sehingga sampai menguras energi.
Setyo Widagdo Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini