Tampaknya, ancaman akibat kehadiran artificial intelligence (AI) tak hanya pengalihan tenaga kerja manusia oleh mesin-mesin cerdas. Kesendirian dan hidup terpisah dari manusia lain, juga mengancam.
Ini tak kurang mengerikannya. Tony Case, 2023, dalam artikelnya yang dimuat di worklife.com berjudul 'There's an Epidemic of Loneliness: Will AI Make it Worse?', mengungkap sinyal-sinyal itu. Case dengan mengutip Vivek H Murthy yang pendapatnya dimuat di The New York Times memperingatkan, relasi manusia dengan mesin-mesin cerdas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia.
Dimulai dengan kerenggangan, bahkan putusnya hubungan antar manusia rasa nyaman yang terbentuk dari relasi, lalu hilang. Rasa nyaman itu absen, namun tak selalu disadari. Seluruhnya mendatangkan tekanan, maupun rasa tak menentu: cemas, sepi, tak berguna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam situasi tanpa penanganan yang tepat, itu memicu aneka gangguan kesehatan. Oleh sebab itu, Murthy mengingatkan perlunya mengkaji kembali hubungan manusia dengan teknologi. Kajian yang dapat mencegah manifestasi berbagai risiko gangguan, yang mengubah gangguan perasaan itu jadi penyakit jantung, demensia stroke, bahkan kematian lebih dini.
Epidemi kesepian yang melanda Amerika diperkirakan bersamaan waktunya dengan merebaknya Pandemi Covid-19. Isolasi untuk menekan penularan virus, menggiring manusia beraktivitas di dalam rumah. Hal ini juga memaksa pergantian moda relasi dengan perantara perangkat berteknologi. Tak seluruhnya mampu menciptakan perasaan antar manusia yang utuh. Kesepian melanda.
Data yang diungkapkan Gallup menunjukkan, 17% orang dewasa Amerika, ini setara dengan 44 juta warga negara, mengalami kesepian yang signifikan. Situasi ini masih berlangsung hingga saat ini.
Namun tak selamanya kesepian itu mengerikan. Setidaknya ketika itu dirasakan oleh manusia yang justru terganggu oleh kehadiran 'Sang Lain'. Dalam keadaan yang memuncak, gangguan berubah jadi siksaan. Jack Reynolod (2005) yang menulis 'Understanding Existensialism', saat memperkenalkan Jean Paul Sartre (1905-1980), filsuf Eksistensialis asal Perancis, penulis karya sastra yang juga aktivis politik, mengungkap tentang siksaan itu.
Ia menukil drama yang ditulis Sartre, 'No Exit', siksaan itu digambarkan sebagai: 'Hell is other people'. Neraka adalah orang lain. Hadirnya orang lain bukannya membuka peluang menciptakan relasi yang membahagiakan, justru siksaan yang mendera.
Reynolds menafsir penggambaran itu, benar adanya: orang lain adalah gangguan. Lantaran ada orang lain, justru tercipta konflik. 'Conflict is the Original Meaning of Being-for-Others'. Manusia yang semula 'dikutuk' menjelma makhluk yang bebas, terunggut keistimewaannya. Orang lain jadi neraka. Walaupun terdengar sarkatis, namun tak sepenuhnya salah.
Ilustrasi sempurna untuk menjauhnya manusia dari relasi antar sesamanya--dan justru menuju pada kesendirian--hadir lewat Film 'Her' yang masyhur itu. Film yang disutradarai Spike Jonze, 2013 ini, mengisahkan kehidupan Theodore, laki-laki yang menyenangi kata-kata indah dan menjadikannnya sebagai surat maupun ucapan puitis.
Atas kesenangannya itu, Theodore terlibat dalam bisnis di perusahaan penulisan surat pribadi dan kartu ucapan. Di dunia nyata, perusahaan ini terwujud semacam Hallmark, produsen kartu ucapan yang mendunia.
Kehidupan Theodore diwarnai sepi yang dingin. Ini terjadi pasca perceraian dengan istrinya, perempuan yang telah dikenal Theodore sejak kecil. Mengatasi rasa sepinya, ia mengobati dengan penggunaan aplikasi berbasis AI. Aplikasi yang semula berfungsi sebagai asisten pribadi, dan dinamainya Samantha. Nama yang dipilih dari buku-buku pemberian nama bayi yang dibacanya.
Kendati demikian, Theodore tak memperlakukan Samantha, sebatas sebagai asisten pribadi yang pekerjaannya menyortir, menjawab e-mail, mengatur file. Samantha juga difungsikan sebagai pendamping sehari-harinya. Theodore mengajaknya berbincang, membuat pertimbangan, bahkan saling berbagi perasaan. Ini mengantarnya mencapai tingkat rumit sebuah relasi: jatuh cinta. Selain sekedar sebagai aplikasi yang mampu jadi asisten pribadi, Samantha juga mampu membentuk relasi antar manusia.
Dalam jalan ceritanya, relasi yang awalnya bersifat permukaan, membicarakan hal-hal ringan: mulai nama, kisah-kisah harian, kesenangan, ketidaksenangan, beranjak jadi perbincangan yang kian intim. Seluruhnya dalam relasi nyata antar manusia, dikonseptualisasi sebagai perkenalan. Berangkat dari perkenalan itu, relasi berkembang ibarat lapisan-lapisan tipis bawang yang terkelupas. Kenyataan pihak-pihak yang berelasi, terungkap selapis demi selapis. Ciri perbincangannya melebar dan mendalam, dengan spektrum tema yang makin bervariasi dan intensitas yang kian mendalam.
Penggambaran relasi manusia dengan aplikasi AI itu, ketika diproyeksikan menggunakan teori "Social Penetration", baik Theodore maupun Samantha mengalami lintasan hubungan yang bertahap. Hubungan yang dialami keduanya berkembang dari saling tak mengenal, berubah makin intim. Bahkan Thodore merasa nyaman dan jatuh cinta pada Samantha. Perasaan nyaman yang lebih besar, dari pengalaman bersama mantan istrinya. Social penetration Theory ini, merupakan seperangkat penjelasan yang membahas perkembangan hubungan antar manusia, digagas Altman & Taylor, 1973. Pikiran-pikiran keduanya, termuat dalam buku, "Social Penetration: The Development of Interpersonal Relationships".
Namun relasi Theodore dengan Samantha, sesungguhnya bukan relasi identik yang dialami antar manusia. Relasi keduanya adalah formulasi algoritma hasil pembelajaran mesin. Saat Theodore melangsungkan interaksi, tak lain ini adalah penyematan data pada mesin. AI meresponnya dengan melakukan pembelajaran. Learning. Data-data Theodore dibangun polanya. Reaksi negatif maupun positif dipelajari formulasinya. Seluruhnya kemudian disebarkan melalui neuron network. Dalam proses yang berlangsung ini, deep learning membangun algoritma.
Korpus kehendak Theodore terbentuk, teraplikasi ketika mesin dengan memuaskan memberi respon sesuai harapan. Dalam penglihatan kasat mata, terbaca sebagai: Samantha yang mampu memahami seluruh kehendak Theodore. Bahkan hingga keinginan terdalamnya.
Keunggulan mesin berbasis AI dibanding manusia, tergambar jelas saat Samantha menyarankan Theodore membangun hubungan nyata dengan manusia seutuhnya.
Theodore benar-benar berkencan dengan perempuan pilihannya. Sayangnya yang diperoleh justru relasi yang tak sepenuhnya menarik. Theodore malas melanjutkan hubungan, dan Sang Perempuan melakukan penghindaran. Relasi itu jauh berbeda, dengan yang dialami bersama Samantha. Relasi yang justru menghadirkan rasa nyaman, yang ingin terus dirasakannya. Namun kenyamanan, bahkan yang mungkin meningkat jadi kebahagiaan yang dialami Theodore saat berelasi dengan Samantha tak nyata adanya.
J. Mark Bishop (2021) dalam 'Artificial Intelligence Is Stupid and Causal Reasoning Will Not Fix It', menyebut semua pencapaian yang mengesankan dari machine learning hanya sekedar adaptasi pengenalannya terhadap pola. Mesin mereplikasi pengenalan pola untuk diterapkan pada situasi yang serupa.
Namun seluruhnya tanpa menyertakan konteks maupun kasualitas. Dalam kasus relasi pada Her, tentu Samantha tak akan mampu jika datang pertanyaan: mengapa respon yang diberikan 'seperti itu' dan bukan 'yang ini'. Samantha sebagai mesin, tak memahami kasualitas atas gejala.
Demikian pula ketika dalam keadaan yang berbeda namun tantangan yang diberikan serupa, respon Samantha bakal sama dengan respon sebelumnya. AI tak mengenal konteks.
Bishop menguraikan penjelasannya dengan pernyataannya yang reflektif: adanya kendaraan otonom tanpa pengemudi, yang terprogram cerdas namun mengalami kecelakaan. Juga chatbot yang diluncurkan perusahaan teknologi digital raksasa, namun berakhir sebagai mesin penjawab yang rasis, misogonis dan berkata-kata kasar. Demikian pula adanya peristiwa yang menyebabkan kerugian finansial, hukum, sosial maupun konsekuensi pada brand. Seluruhnya terjadi akibat kesalahan pemahaman machine learning terhadap pola. Ini karena, sistem komputer yang dikembangkan baru mampu mendeteksi pola statistik dalam kumpulan data. Keadaan ini baru dapat teratasi, ketika sistem komputer yang dibangun, mampu mengenali 3 hal: waktu, ruang, dan kausalitas.
Itu pula yang terjadi pada kecanggihan yang didemonstrasikan Samantha. Respons yang dibangun berdasar replikasi terhadap pengenalan pola. Juga terbatas pada pemahaman kausalitas maupun konteks. Kalaupun seluruhnya seolah menciptakan kebahagiaan, bahkan rasa cinta, itu datang dari "manipulasi" mesin yang berperilaku nyata seakan manusia.
Relakah waktu terbuang untuk perasaan yang timbul dari manipulasi algoritmik? Atau ini jalan keluar dari kesepian yang justru melahirkan kesepian yang kian mendalam? Apa kira-kira kata Sartre, lebih neraka manusia lain atau AI?
Firman Kurniawan S. Dosen, pemerhati budaya dan komunikasi digital. Pendiri LITEROS.org.