Demikian ujaran Bung Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden Indonesia Pertama. Sebuah pesan yang tentu masih sangat relevan dengan kondisi kebangsaan saat ini. Sebagai sebuah bangsa, kita masih dan terus memperjuangkan hadirnya kebahagiaan, kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal yang tentu juga berlaku di sektor kelautan dan perikanan.
Saat ini, melalui kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang sedang digodok aturan implementasinya, Pemerintah bukan hanya sedang merancang era baru transformasi tata kelola perikanan tangkap tapi juga mewujudkan komitmen untuk menghadirkan perlindungan terhadap nelayan kecil. PIT memberikan ruang besar melalui keistimewaan hak akses pemanfaatan sumber daya dan pemberdayaan nelayan kecil serta kemudahan administratif dan teknis. Sebuah konsep keberpihakan yang secara eksplisit disampaikan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2023.
Sebelum dan pasca diundangkannya Peraturan Pemerintah tersebut, arus besar kritik dan kekhawatiran publik masih saja bermunculan terhadap gagasan transformasi tata kelola perikanan tangkap melalui kebijakan PIT ini. Salah satunya, skeptisme dampak kebijakan ini bagi perbaikan nasib nelayan kecil di tengah upaya penguatan industri perikanan tangkap yang sedang dilakukan oleh Pemerintah. Kekhawatiran yang tentu dapat dipahami sebagai bentuk perhatian besar kita terhadap nelayan kecil.
Kita semua tentu tak menginginkan, nelayan kecil hanya menjadi penonton atau bahkan terpinggirkan di tengah upaya kita untuk memperkuat sektor perikanan tangkap dari hulu sampai hilir. Meskipun, jika kita membaca substansi pengaturan terkait dengan nelayan kecil di dalam Peraturan Pemerintah ini, semestinya kita dapat melihat secara jelas semangat perlindungan nelayan kecil melalui berbagai 'privilege', khususnya yang terkait dengan keistimewaan hak akses sumber daya ikan dan pemberdayaan nelayan serta serta kemudahan administratif dan teknis.
Siapa yang kita maksud sebagai nelayan kecil? Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan. Demikian definisi yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah tersebut (Pasal 1 angka 8) yang juga merujuk pada definisi di Undang-Undang Cipta Kerja.
Salah satu perubahan yang cukup mendasar definisi nelayan kecil dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 adalah digunakannya frasa "maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan", yang membangun pemahaman baru bahwa nelayan kecil tidak diasosiasikan secara mutlak dengan kapal penangkap ikan.
Jika merujuk pada pengaturan lebih lanjut terkait dengan penyelenggaraan perizinannya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang menetapkan jenis usaha dari sisi penilaian tingkat bahaya, penilaian potensi terjadinya bahaya, tingkat risiko, dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, maka nelayan kecil termasuk dalam kategori kegiatan usaha skala usaha mikro dengan parameter menggunakan kapal dengan ukuran kumulatif maksimal 5 GT atau tidak menggunakan kapal.
Dengan demikian, perizinan berusaha yang dipersyaratkan adalah Nomor Induk Berusaha (NIB) dan sertifikat standar. Perubahan terminologi hukum ini penting untuk dipahami agar kita dapat melihat secara jelas, siapa dan bagaimana penyelenggaraan perizinan untuk nelayan kecil, serta kepada siapa keistimewaan hak akses serta kemudahan administrasi dan teknis dalam penyelenggaraan kebijakan PIT ini akan diberikan.
Keistimewaan Hak Akses dan Pemberdayaan Nelayan Kecil
Pengaturan penangkapan ikan terukur memberikan keistimewaan hak akses pemanfaatan sumber daya perikanan kepada nelayan kecil di tengah upaya pemerintah untuk mengatur pemanfaatan sumber daya ikan agar tetap lestari. Hal tersebut dapat dilihat dari izin memanfaatkan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Terbatas, keleluasaan beroperasi antar zona penangkapan ikan dan daerah penangkapan ikan.
Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Terbatas adalah tempat penangkapan ikan di Daerah Penangkapan Ikan yang diperuntukkan bagi ukuran kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan, dan/atau waktu tertentu (Pasal 1 angka 5). Penetapan DPI terbatas ini merupakan upaya dan semangat Pemerintah untuk menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan di suatu wilayah yang karena kondisi tertentu sehingga memerlukan intervensi melalui pembatasan pemanfaatan.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, DPI terbatas ini akan ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tertentu seperti sumber daya ikan, lingkungan, sosial ekonomi perikanan maupun tata kelola perikanan. Adapun konsepsi pemanfaatannya tentu akan mempertimbangkan ukuran kapal penangkap ikan, alat penangkap ikan dan waktu atau periode melakukan penangkapan ikan. Siapa yang bisa memanfaatkan sumber daya ikan di DPI Terbatas ini?
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1), nelayan kecil menjadi salah satu yang diizinkan melakukan pemanfaatan selain kegiatan penangkapan ikan bukan untuk tujuan komersial yang dilakukan oleh orang, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemanfaatan DPI Terbatas oleh nelayan kecil ini dapat dimaknai sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak nelayan kecil yang secara tradisional sudah melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah DPI Terbatas tersebut. Meskipun tak persis sama, kebijakan ini memiliki kedekatan konsep dengan pelaksanaan customary fishing yang berlaku di beberapa negara seperti Australia dan New Zealand.
Di Australia misalnya, customary fishing ini diberikan kepada nelayan Aborigin yang secara tradisional memiliki ikatan kuat dengan daerah penangkapan ikan sebagai bagian dari tradisi, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bukan untuk tujuan komersial. Dalam konteks ini, kita melihat ada niat baik dari Pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan DPI terbatas yang perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati, dengan hak pemanfaatan oleh Nelayan Kecil.
Nelayan kecil juga memiliki 'keleluasaan' melakukan penangkapan ikan antar zona penangkapan ikan karena tidak dibatasi di satu zona penangkapan ikan terukur sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1). Hal ini menjadikan Nelayan Kecil sebagai armada yang bisa bergerak antar satu zona penangkapan ikan ke zona penangkapan ikan yang lain. Sebagaimana diketahui, kebijakan PIT sendiri membagi zona penangkapan ikan menjadi 6 zona yaitu Zona 01 (WPP 711), Zona 02 (WPP 716 dan WPP 717), Zona 03 (WPP 715, WPP 718 dan WPP 714), Zona 04 (WPP 572 dan WPP 573), Zona 05 (WPP 571) dan Zona 06 (WPP 712 dan WPP 713).
Selain itu, nelayan kecil juga dapat diberikan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) di atas 12 mil laut sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat (2). Hal ini berarti ada perlakuan khusus penerapan batas wilayah administrasi yang diterapkan untuk nelayan kecil. Lazimnya, kapal yang beroperasi di atas 12 mil laut merupakan kapal penangkap ikan di atas 30 GT dan/atau perizinan berusahanya diterbitkan oleh Menteri.
Sekali lagi, hal ini menggambarkan betapa Pemerintah memberikan ruang besar bagi nelayan kecil. Meskipun tentu saja, pekerjaan rumah yang harus juga disiapkan adalah mengatur dan memastikan penerapan standar kelaikan teknis agar aspek keselamatan nelayan kecil dapat tetap terjamin ketika beroperasi antarzona, atau bahkan di atas 12 mil laut.
Selain itu, keistimewaan hak akses sumber daya ikan, konsep implementasi kuota penangkapan ikan yang menjadi instrumen penting dalam kebijakan PIT juga secara gamblang menyampaikan pesan pemberdayaan dan perlindungan terhadap nelayan kecil. Hal tersebut dapat dilihat pendekatan ekonomi kerakyatan yang didorong melalui koperasi serta kewajiban Pemerintah sebagai fasilitator bagi nelayan kecil.
Pemanfaatan kuota oleh nelayan kecil didorong dan diutamakan bagi nelayan kecil yang tergabung dalam koperasi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (3) dan Pasal 9 Ayat (3). Hal ini tentu menunjukkan itikad baik penguatan ekonomi kerakyatan dan peningkatan kesejahteraan secara kolektif. Melalui pendekatan ini, Pemerintah tampaknya berupaya memberdayakan nelayan dalam suatu sistem ekonomi berdikari melalui koperasi. Hal ini juga sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian yang memposisikan koperasi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan Anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.
Dalam upaya menjamin pelaksanaan pemanfaatan kuota untuk Nelayan Kecil, Peraturan Pemerintah ini juga memberikan mandat kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk memfasilitasi pemberian kuota nelayan lokal kepada nelayan kecil, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (9) dan Pasal 9 Ayat (8). Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi pemberian kuota industri kepada nelayan kecil, dan kuota Nelayan Lokal kepada orang perseorangan yang merupakan Nelayan Kecil.
Hal yang tentu menjadi penting kaitannya dengan kehadiran negara untuk memastikan Nelayan Kecil mendapatkan ruang yang memadai dalam pelaksanaan kuota penangkapan ikan terukur. Hal yang mudah-mudahan menghilangkan kekhawatiran banyak pihak bahwa Nelayan Kecil akan terpinggirkan dengan kebijakan penangkapan ikan terukur ini.
Kemudahan Administratif dan Teknis
Kebijakan penangkapan ikan terukur juga menunjukkan keseriusan Pemerintah untuk memberikan kemudahan dari aspek administratif dan teknis penangkapan ikan melalui pembebasan segala bentuk pungutan perikanan dan pemasangan sistem pemantauan kapal perikanan, serta fleksibilitas untuk mendaratkan di sentra nelayan.
Nelayan kecil dibebaskan dari segala bentuk pungutan perikanan baik berupa penerimaan negara bukan pajak maupun retribusi perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Ayat (2). Pembebasan pungutan perikanan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa Pemerintah sangat memahami konsepsi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak selayaknya dijadikan objek pungutan perikanan oleh negara, dan ini standing point yang penting dalam kerangka perlindungan terhadap nelayan kecil. Dalam konteks inilah, Pemerintah secara tepat meletakkan prinsip-prinsip keadilan dalam pengelolaan sumber daya perikanan melalui kebijakan PIT ini.
Nelayan kecil juga dikecualikan dari kewajiban untuk pemasangan dan pengaktifan transmitter Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (3). Pengecualian ini tentu diambil dengan berdasarkan pada pertimbangan teknis dan non-teknis yang matang. Secara teknis, memang saat ini teknologi pemantauan kapal perikanan yang dipasang di kapal-kapal ikan di atas 30 Gross Tonnage (GT) tidak akan bisa diberlakukan untuk kapal-kapal Nelayan Kecil.
Selain itu, komponen pembiayaan air time tentu akan menjadi persoalan dan memberikan beban tersendiri bagi Nelayan Kecil. Dalam konteks ini, keputusan pengecualian tersebut bisa dipahami sebagai upaya untuk tidak memberikan beban teknis dan administratif kepada Nelayan Kecil.
Namun demikian, ke depan tentu perlu dipikirkan teknologi yang murah dan terjangkau bagi pemantauan kapal-kapal nelayan kecil. Mengapa hal tersebut diperlukan?
Sistem pemantauan kapal perikanan tentu tidak semata-mata terkait dengan aspek kepatuhan operasional saja. Ada banyak kepentingan tata kelola perlunya penerapan teknologi pemantauan kapal perikanan, termasuk untuk melihat bagaimana tingkat ekploitasi di zona penangkapan ikan terukur yang tentunya penting kaitannya dengan monitoring status kuota yang dimanfaatkan dan keberlanjutan pengelolaan kuota. Selain itu, dalam banyak kasus, sistem pemantauan ini juga menjadi salah satu instrumen yang cukup membantu untuk memberikan pertolongan dan tindakan lebih lanjut ketika kapal mengalami kondisi darurat di laut seperti kecelakaan, tenggelam, dan kondisi darurat lainnya.
Nelayan kecil juga diberikan kelonggaran dalam pelaksanaan kewajiban mendaratkan hasil tangkapan di Pelabuhan Pangkalan. Melalui pengaturan dalam Pasal 18 pada ayat (1), Pemerintah memberikan kelonggaran bahwa kewajiban mendaratkan ikan di Pelabuhan Pangkalan bagi nelayan kecil dapat dilakukan di sentra nelayan. Adapun sentra nelayan ini sendiri dijelaskan sebagai lokasi pendaratan ikan yang belum memenuhi kriteria Pelabuhan Perikanan.
Toleransi ini tentu didasari oleh banyak pertimbangan, termasuk ketersediaan pelabuhan pangkalan yang cukup aman aman untuk armada kapal nelayan kecil serta sebaran armada nelayan kecil yang sangat luas sehingga akan sangat sulit apabila dikonsentrasikan di satu titik pelabuhan pangkalan. Tentu ini adalah fleksibilitas yang luar biasa. Namun demikian, dalam konteks pentingnya pencatatan data hasil tangkapan sebagai bagian dari pengelolaan kuota penangkapan ikan, menjadi penting tentunya untuk mengantisipasi potensi hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dari kebijakan fleksibel ini.
Dengan berbagai kerangka hukum yang saat ini telah diatur dalam PP Nomor 11 tahun 2023, sejatinya kita bisa melihat ada niat serius dari Pemerintah untuk memperkuat perlindungan nelayan kecil. Tentu pengaturan yang lebih teknis melalui Peraturan Menteri yang saat ini sedang digodok oleh KKP, akan semakin memperjelas bagaimana dan seperti implementasinya. Namun, pada tataran konsepsi yang dibangun dalam Peraturan Pemerintah tersebut, kita selayaknya menggantungkan harapan bahwa PIT merupakan upaya memerdekakan nelayan kecil untuk masa depan dan kehidupan yang lebih sejahtera. Merdeka!
Didik Agus Suwarsono, Praktisi Sektor Kelautan dan Perikanan, Analis Senior pada Pusat Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PUSARAN), tulisan ini merupakan pandangan pribadi. (ncm/ega)