Buku-Buku yang Tersapu Kurikulum Baru
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Buku-Buku yang Tersapu Kurikulum Baru

Rabu, 16 Agu 2023 16:00 WIB
hanifatul Hijriati
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
hanifatul
Hanifatul Hijriati (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Tumpukan ratusan buku paket yang telah dipinjam siswa selama satu tahun memenuhi pojok perpustakaan sekolah saya, yang mana saya juga belum bisa menentukan tempat penyimpanan atau bisa dibilang tempat pembuangan buku sementara. Lho kenapa dibuang? Memangnya mau dipakai lagi di saat tumpukan ratusan buku itu adalah buku-buku yang tidak akan dipakai lagi sebagai imbas pemberlakuan kurikulum baru yang disebut dengan Kurikulum Merdeka?

Saya ingat saat Kurikulum 2013 (kurtilas) baru diberlakukan. Saat itu buku-buku baru dipesan dan memenuhi penjuru perpustakaan sekolah yang luasnya hanya separuh dari ruang kantor guru. Buku-buku itu pun menggeser buku paket kurikulum lama yang tentu saja memenuhi gudang hingga akhirnya dijadikan pakan rayap.

Padahal di sekolah saya ada 1000-an siswa semua angkatan. Jika satu siswa saja memiliki 18 buku paket yang dipinjamkan, dikalikan saja jumlahnya. Bisa sekitar 18.000 buku paket yang akhirnya menjadi pakan rayap! Sungguh sejahtera sekali rayap-rayap yang beranak pinak di belakang kebun sekolah saya. Andai saja rayap-rayap itu bernilai jutaan jelas sangat bisa mengembalikan ratusan juta dana BOS yang digunakan untuk membeli buku-buku itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peristiwa itu kembali terjadi. Ya, apalagi jika bukan pergantian kurikulum yang kemudian berimbas pada terbuangnya ribuan paket buku kurtilas. Padahal, Kurikulum 2013 sempat diperbaharui sebanyak tiga kali. Dan, sebanyak itu pula buku direvisi yang berarti sekolah harus memesan buku baru lagi.

Di bagian dalam gudang penyimpanan perpustakaan sekolah saya, terdapat tumpukan buku kurtilas revisi terakhir yang masih di dalam plastik dalam keadaan mulus dan mengkilat. Buku yang benar-benar baru dan belum tersentuh bukaan lembaran halaman oleh tangan manusia. Namun, buku-buku mulus itu bernasib sama seperti buku kurtilas lainnya. Tak akan digunakan. Buku akan dimasukkan dalam gudang dan entah kemudian dijadikan pakan rayap. Bisa dibilang mengenaskan.

ADVERTISEMENT

Dari mana uang untuk membeli ribuan buku itu? Jawabannya jelas dari dana BOS. Dan, dari mana asal dana ini? Tentu saja dari uang negara yang bisa bersumber dari pajak, hibah hingga utang luar negeri. Saya tidak mau terlalu ambil pusing dari mana aliran dana berasal. Saya hanya memikirkan bagaimana ribuan buku-buku itu akhirnya harus mengakhiri riwayatnya justru jauh dari simbol penghargaan intelektual.

Saat saya mencoba membuka-buka buku klimis yang tampak mulus namun sudah tidak bisa digunakan sesuai kurikulum itu, saya menemukan banyak materi yang sebenarnya hampir sama dengan Kurikulum Merdeka. Isi materi tak jauh beda dengan Kurikulum 2013. Namun, lagi-lagi, semirip apa pun materinya, buku-buku paket itu harus memasuki masa pensiunnya bahkan sebelum buku-buku itu sampai ke tangan siswa.

Masalah serupa ini dihadapi hampir di semua sekolah. Pemusnahan buku-buku paket yang dianggap sudah tak layak dipakai juga bukan urusan mudah. Harus melalaui beberapa prosedur karena buku-buku itu dibeli dari dana BOS yang menuntut pertanggungjawaban. Harus ada berita acara hingga harus jelas adanya. Jika buku-buku paket yang tidak terpakai itu berakhir di pusat pembuangan akhir yaitu oleh pihak ketiga dengan menghasilkan berupa nominal uang, uang itu harus kembali ke negara.

Tapi jangan bayangkan ini semudah mengembalikan uang emak buat jajan es krim tapi tidak jadi karena es krim yang dibeli akhirnya kita jual lagi ke teman yang lain karena ia lebih ngiler lihat es krim kita. Pengembalian uang ini harus melalui birokrasi ribet nan rumit. Hanya untuk mengembalikan uang negara yang jumlah nominalnya mungkin hanya bisa digantikan dengan sejumlah mangkok bakso untuk siswa sekelas, harus melalui berbagai tahap bahkan memakan waktu yang lama. Entah mengapa di era yang katanya serba digital ini, proses birokrasi masih saja harus dilalui dengan kerumitan ala-ala era kemerdekaan. Apalagi saya mengajar di sekolah Negeri.

Karena kerumitannya, banyak sekolah akhirnya membiarkan buku-buku paket tak berguna yang jumlahnya bisa mencapai ribuan itu tersimpan di gudang, gedung kosong sekolah, atau hanya dibiarkan saja di kebun belakang sekolah. Sampai kapan? Ya, sampai buku-buku itu musnah sendiri dengan bantuan sekawanan rayap.

Karena buku pun tak bisa dihancurkan dengan sengaja seperti dibakar atau dikubur, datangnya jutaan kawanan rayap adalah peristiwa yang lebih dianggap tidak melanggar hukum daripada dengan sengaja menghancurkannya. Tentu aturan ini berlaku karena buku-buku dibeli dari dana BOS. Ya, kedatangan rayap jelas bukan sebuah kesengajaan, bukan?

Saya membayangkan jika ke depan terjadi perubahan kurikulum lagi, maka buku-buku paket yang belum lama-lama amat itu juga harus menghadapi nasib sama layaknya pendahulu mereka. Menyedihkan.

Terbuangnya buku-buku paket yang bisa membentuk gunungan buku mungkin tak pernah terpikirkan oleh pemegang kebijakan hingga pencetus kurikulum baru. Terbakarnya dana ratusan juta mungkin cuma dianggap masalah kecil karena tidak terlalu sulit untuk meneken persetujuan pengucuran dana BOS kepada Menteri Keuangan. Apalagi dana BOS mengucur tiap tahun. Padahal jika dipikir-pikir lagi, ada jutaan pohon-pohon yang harus mati demi buku-buku paket yang disalurkan ke sekolah penjuru negeri.

Padahal bagi pustakawan perpustakaan sekolah hingga kepala perpustakaan setiap sekolah, menumpuknya buku-buku tak terpakai ini adalah masalah yang bisa dibilang tidak mudah. Saya malah curiga jangan-jangan terbuangnya buku-buku ini tidak dianggap masalah serius. Apalagi masalah gundulnya hutan-hutan, hilangnya pepohonan hingga berkurangnya sumber daya alam lainnya tampaknya memang belum dianggap serius.

Lantas bisakah buku paket cetak itu dipakai sebagai sumber belajar apa pun kurikulumnya? Seharusnya bisa. Namun, jika mengingat pergantian kurikulum masih dianggap sebagai sebuah proyek besar, setidaknya di negeri ini, maka selayaknya proyek besar ini harus berimplikasi pada bergeraknya perekonomian dari ranah atas ke bawah. Salah satunya ke industri perbukuan.

Pergantian kurikulum berarti penerbit kembali bekerja dengan rebutan proyek pemerintah demi mencetak buku-buku kurikulum baru. Meskipun ini tidak memberi dampak besar karena sisa produksi buku-buku paket kurtilas yang akhirnya belum sempat tersalurkan masih meninggalkan kerugian. Tetapi setidaknya para penerbit buku bisa bergegas ikutan mengambil jatah kue proyek pergantian kurikulum ini.

Lalu bagaimana dengan nasib ribuan buku dari hasil tebangan jutaan pohon itu? Mereka layaknya dijadikan tumbal proyek pergantian kurikulum ini. Masalah alam? Ya, itu biar orang lain yang urus kan? Masalah terbuangnya uang hingga ratusan juta, anggap saja itu sebagai ongkos yang harus dikeluarkan dari terbitnya kebijakan baru yang seolah-olah sebagai pendobrak sistem lama yang dianggap tidak lebih baik. Tetapi kebijakan baru pun tak memberikan solusi apa pun pada teronggoknya buku-buku paket itu.

Hanifatul Hijriati guru SMA Negeri 1 Gemolong Sragen dan Kepala Perpustakaan Sekolah

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads