Tiga Bacapres di Pos Bloc
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tiga Bacapres di Pos Bloc

Rabu, 16 Agu 2023 11:10 WIB
Ganda Febri Kurniawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ganjar Pranowo di Pos Bloc (Anggi/detikcom).
Ganjar Pranowo di Pos Bloc (Anggi/detikcom)
Jakarta -

Tiga bakal calon presiden (bacapres) yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan, menghadiri Festival Belajaraya di Pos Bloc, Jakarta Pusat, pada Sabtu 29 Juli 2023 lalu. Dalam acara itu, ketiganya memaparkan pengetahuan dan gagasan terkait masa depan pendidikan Indonesia. Sayangnya, ketiga bacapres terlihat masih sangat 'canggung' untuk menciptakan polemik terkait gagasan yang akan diusung di pilpres mendatang.

Bila diamati, ada keunikan di antara ketiganya dalam menyoroti persoalan pendidikan; terkait guru dan praktik pembelajaran. Namun, belum tampak apa yang diharapkan banyak insan pendidik, bahwa dari berbagai dimensi pendidikan yang akan digarap oleh bacapres, apa prioritas yang pertama kali ingin disentuh. Sederhananya, bagian mana yang akan terlebih dahulu digarap dalam mengawali pembenahan sistem pendidikan Indonesia saat ini.

Masalah Kronis Pendidikan

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah pendidikan yang terjadi di Indonesia sangatlah kompleks, namun seperti dalam dunia pengobatan, baiknya kita mengetahui 'luka' atau 'sakit' mana yang bersifat kronis dan mana yang masih tergolong ringan. Saya sendiri meyakini bahwa politik memberikan dampak yang besar dalam menimbulkan 'penyakit' pada suatu masyarakat, jika kebijakan publik dicetuskan tanpa memperhatikan aspek kebutuhan dan sasaran yang jelas.

Masalah kronis pertama, selama ini pergantian kurikulum yang dibayangkan dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi guru dan siswa, nyatanya selalu menimbulkan permasalahan baru, dari guru yang sulit beradaptasi hingga siswa yang sekadar menjadi 'objek', yang pada akhirnya tersudut tanpa memiliki ruang berekspresi. Menunggu hingga kebijakan dapat terinternalisasi secara maksimal di Indonesia, akan memakan waktu yang cukup panjang, sehingga baiknya kebijakan pendidikan ini tidak dicetuskan secara terpusat.

ADVERTISEMENT

Masalah kronis kedua yaitu kunci perubahan ada pada dukungan kolektif. Selama ini dukungan kolektif tidak didapatkan oleh pemerintah akibat kebijakan pendidikan yang menciptakan 'kekagetan' di kalangan pelaksana kebijakan, hampir selalu kebijakan itu gagal tersosialisasi sampai ke akar rumput, ambil saja contoh kebijakan Sekolah Penggerak, setelah hampir dua tahun berjalan, apakah efek dari kebijakan ini sudah dapat dirasakan, bagaimana guru penggerak di sekolah-sekolah dapat menciptakan pengaruh bagi koleganya yang bukan guru penggerak. Setidaknya hal itu belum pernah diukur hingga sekarang, simpati terhadap perubahan kebijakan yang drastis masih sangat sulit dibangun.

Kesejahteraan guru, pembelajaran yang monoton, dan siswa yang frustrasi saya golongkan ke dalam masalah kronis ketiga. Ketiganya memiliki pertalian yang cukup kuat, saling mempengaruhi dalam satu interval yang sama. Saya kutipkan pendapat pepatah lama: kreativitas timbul dari perut yang terisi, tidak harus kenyang, tapi cukup terisi. Apa yang dimakan mempengaruhi cara berpikir terhadap sesuatu, apakah guru dengan tingkat kesejahteraan yang minimum dapat bergerak secara optimal dalam mengerjakan tugas-tugasnya, jika berkaca dari bunyi sajak sang pepatah, hal itu akan sulit terjadi. Artinya, semua harus diawali dari sistem yang sehat dan manusiawi, guru dibayarkan sebesar kebutuhan kerja-kerja profesinya, keuangan guru harus sehat untuk secara bertahap mencapai tujuan pembelajaran yang direncanakan.

Pendidikan bagi calon guru adalah masalah kronis keempat. Kita tidak lagi memerlukan program studi 'pendidikan' karena semua program studi sekarang bisa menjadi guru melalui pendidikan profesi guru. Persoalannya, apakah guru yang berlatar belakang sarjana non pendidikan dapat dengan mudah menyesuaikan pemahaman tentang pendidikan yang begitu kompleks, pendidikan profesi tidak menyediakan matrikulasi yang mengawal transisi itu. Hasilnya sarjana non pendidikan yang hendak menjadi guru berangkat dengan pengetahuan sebagai 'ilmuwan superhebat' yang siap menceramahi murid-muridnya, sangat bertolak belakang dengan realitas kebutuhan pendidikan global saat ini, yang menekankan kemandirian siswa.

Keempat masalah kronis di atas menjadi tantangan di depan mata para bacapres yang akan berkontestasi di pemilihan politik tahun depan, namun apakah ketiganya sudah siap membereskan masalah kronis itu, kesimpulan awal saya, belum ada bacapres yang secara serius dan fokus memikirkan pembenahan sistem pendidikan Indonesia.

Ideologis, Humanis, Akademis

Saya melihat ketiga bacapres ini memiliki karakter masing-masing yang mereka bawa dari latar belakang kehidupan sosial sebelum terjun ke politik. Prabowo dalam penjelasannya bercerita tentang pengalaman ketika bersekolah, menurutnya guru yang baik adalah guru yang "galak dan cerewet". Menurut Prabowo, guru yang demikian mudah diingat dan dapat menjadikan seseorang sukses di masa depan. Ia menambahkan mata pelajaran sejarah penting bagi anak-anak bangsa.

Pemikiran Prabowo ini sangat khas pendidikan zaman sebelum Reformasi; saya pernah mendengar cerita di masa itu, guru yang mengajar dengan memegang tongkat, yang siap digunakan untuk menghukum siswa yang tidak disiplin. Kalau kondisi ini dikembalikan di masa sekarang, maka dapat dipastikan akan banyak guru yang dikasuskan karena perilakunya. Prabowo lahir tahun 1951, ada gap yang terpaut jauh dengan generasi saat ini.

Kemudian tentang pelajaran sejarah, timbul kesan Prabowo masih memandang pendidikan sebagai proses indoktrinasi, barangkali ia terbayang pendidikannya sewaktu di AKABRI masa Orde Baru. Sejarah menarik, tapi ilmu-ilmu lain juga dibutuhkan.

Pendidikan menurut Ganjar adalah suatu proses dalam melahirkan manusia yang berbudaya. Etika dan nilai dari suatu masyarakat yang harus diterjemahkan ke dalam aktivitas pendidikan. Ia juga menyelipkan pangalamannya tentang guru dan buku. Banyak guru-guru kreatif yang harus diwadahi dan diberi ruang berkarya melalui kebijakan pendidikan. Keberhasilan mewadahi kreativitas guru dapat berdampak pada penciptaan karakter manusia yang baik.

Ganjar cukup humanis dalam melihat pendidikan, namun banyak yang abstrak dari apa yang disampaikan. Maksud baik tidak cukup dijelaskan dalam retorika yang memikat, tetapi perlu langkah konkret, terobosan, dan pilihan strategi untuk menggapai apa yang kita harapkan. Ganjar sama sekali tidak menyinggung isu keguruan, pandangan yang sangat umum ini dinilai tidak cukup memuaskan.

Gagasan persuasif dalam pembangunan pendidikan dijelaskan oleh Anies, ia memberi analisis yang kompleks dari sisi sejarah, kondisi terkini, dan pengalaman yang pernah dilakukan selama menjadi perumus kebijakan. Dari apa yang pernah dialaminya, sikap persuasif muncul mencerminkan pandangan yang akademis; problem - analisis - solusi - gerakan.

Anies kritis melihat kebijakan pendidikan pemerintah saat ini, sikap oposannya sangat tercermin dari kritik yang disampaikan. Sayangnya, nuansa retoris masih sangat terasa, muncul kesan 'bermain kata-kata', kondisi ini tidak menempatkan Anies dalam posisi yang mudah diterima gagasan-gagasannya, "too good to be true", sangat tertata dan baik tapi sulit diterima akal sehat.

Isu Strategis

Pendidikan selalu menjadi isu strategis untuk mendongkrak elektabilitas, apalagi dengan senjata pamungkas; menggratiskan biaya pendidikan, yang di banyak tempat justru menjadi simalakama. Kita tidak bisa berharap banyak dengan kebijakan menggratiskan biaya pendidikan, jika empat masalah kronis di atas tidak terlebih dahulu disentuh. Saya menduga ketidakmampuan kita memahami pendidikan sebagai "proses wajar" telah menjebak puluhan generasi dalam situasi yang gamang tentang pendidikan itu sendiri, termasuk para perumus kebijakannya.

Saya teringat satu kutipan dari buku John Lock tahun 1712, Some Thoughts Concerning Education" pendidikan sebagai proses menempa, "a sound mind in a found body, is a short, but full description of a happy state in this world." Pendidikan adalah satu proses untuk menempa pikiran yang sehat di antara warga bangsa, dan maka itu dunia dalam keadaan bahagia.

Saya membayangkan kebahagiaan itu bukan lahir karena para bacapres merasa paling mampu memberikan rasa bahagia kepada rakyatnya, karena sudah pasti itu adalah asumsi yang salah. Kebahagiaan tidak bisa ditransaksikan, sebagaimana pendidikan yang tidak mungkin bisa diukur dari murah atau mahalnya biaya yang harus dibayarkan.

Empat masalah kronis dengan seribu gagasan penyelesaian kita nantikan, jangan sampai kita memiliki presiden yang irit berpikir, maka biarkan mereka berkontestasi, dengan terlebih dahulu memeras isi kepala --sampai titik 'pikiran' penghabisan.

Ganda Febri Kurniawan pengajar Sejarah Politik di FISIP UNNES, peneliti Pusat Studi Memori dan Pedagogi (PSMP)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads