Anak generasi post millennials Z tidak perlu diragukan lagi tingkat kreativitasnya karena mereka hidup di era informasi yang mudah sekali mendapatkan informasi berlimpah hanya menggunakan satu jarinya. Modal kecakapan ini sejatinya tidak berhenti di titik ini saja. Sebagai pendidik, kita dapat membawanya lagi ke level yang lebih tinggi dengan membiasakan "berpikir praktis."
Berpikir praktis (practical thinking) maksudnya bukan berpikir secara sederhana satu arah yang dalam konteks berpikir sistem disebut berpikir linear. Tetapi berpikir yang dapat mendorong anak terbiasa memunculkan berbagai ide atau gagasan kreatif, menganalisis keputusan, dan pemecahan masalahnya. Ini penting bagi pendidik dan orangtua sehingga harus terus diedukasi.
Berpikir praktis merupakan keterampilan penting yang wajib ditanamkan pada anak agar terbiasa berkontribusi memberikan solusi atas berbagai permasalahan pada kehidupan sosial yang lebih kecil saat ini dan kelak yang lebih luas di masyarakat dan lingkungan kerjanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berpikir sebagai aktivitas yang tidak bisa dihindari dari pengaruh sebuah keyakinan, nilai, ideologi, paradigma, model atau teori yang melandasinya. Manusia memiliki kelebihan berpikir dibandingkan makhluk lain seperti hewan sehingga di tengah kehidupan yang begitu kompleks dapat mengoptimalkan perannya.
Faktanya, dalam kondisi kompleksitas masalah yang dihadapi di kehidupan ini seringkali tidak bisa diselesaikan hanya dengan berpikir secara kreatif (divergen) atau terfokus (konvergen). Karenanya, nilai karakter yang mengkombinasikan corak kedua berpikir tersebut seharusnya ditanamkan pendidik kepada peserta didik secara integratif pada semua mata pelajaran.
Di lingkungan kerja dan sosial, banyak sekali orang yang kreatif dalam menghasilkan berbagai ide-ide baru hasil dari memadu dan memadankan (mix and match) atau analisis morfologis dari berbagai atribut yang berbeda sehingga menjadi sesuatu yang baru atau modifikasinya dari sesuatu yang sudah ada. Hal ini bagus karena memberikan kontribusi pemikiran dari yang belum terpikirkan orang lain untuk konteks kekinian dan kedisinian.
Namun, ide atau gagasan kreatif saja belum cukup. Sehingga sering dianggap hanya masih sebatas "retorika" atau "omong kosong" saja karena belum ada tindak lanjutnya bagaimana ide kreatifnya dapat dikonversi dan diterapkan menjadi sebuah solusi sesuai dengan kondisi dan ketersediaan sumber daya yang tidak sama dengan di tempat dan budaya lain.
Oleh karena itu perlu dipahami bahwa berpikir kreatif baru menjadi salah satu tahapan proses berpikir praktis yang mesti diterapkan secara bersama dengan berpikir pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Misalnya, dalam pendidikan lingkungan hidup. Rendahnya kesadaran ekologis masyarakat dalam menanam pohon contohnya. Padahal, pohon banyak memberikan manfaat bagi kehidupan sebagai penghasil oksigen yang dibutuhkan manusia,
Untuk kasus ini, peserta didik dapat ditantang untuk berpikir kreatif menghasilkan ide-ide bagaimana proyek atau kegiatan yang sesuai. Dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, beberapa proyek kreatif penanaman nilai etika Islam yang muncul dari modifikasi atribut dari beberapa kegiatan seperti membuat bahan edukasi di sosial media, penyuluhan lapangan, seminar, membuat poster, pemberian bibit tanaman, pengajian, donasi, dan lainnya.
Selanjutnya, proses pengambilan keputusan untuk menentukan proyek apa yang dipilih sesuai dengan pertimbangan ketersediaan dan kemampuan sumber daya yang dimiliki peserta didik serta budaya yang dihadapi di tempatnya. Dalam kondisi ini biasanya melibatkan kriteria pilihan yang penting, fisibel, dan urgen untuk dilakukan dari beberapa pilihan yang sudah dibangkitkan secara kreatif.
Dari sini, anak belajar mengalami langsung kondisi dalam pengambilan keputusan yang tidak selalu ideal atau pasti (certainty) yang hasilnya sudah diketahui. Anak dapat belajar menemukan solusinya dari kondisi yang penuh risiko walaupun dapat diestimasi peluangnya, ketidakpastian (uncertainty) akibat jumlah informasi tersedia yang bersifat terbatas, dan bahkan konflik karena ada pihak lain yang menghalanginya.
Akhirnya, jika ketiga keterampilan ini diberikan secara lengkap dan terintegrasi dalam pembelajarannya, maka sebagai pendidik telah berusaha memberikan bekal berharga kepada anak ketika sudah terjun di lingkungan kerja dan sosialnya masing-masing dengan kemampuan "berpikir praktis."
Rohmatulloh dosen Magister Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam An Nur Lampung, praktisi coaching