Haruskah Suuzan pada Politikus?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Haruskah Suuzan pada Politikus?

Senin, 07 Agu 2023 16:00 WIB
Danu Damarjati
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
danu damar
Danu Damarjati (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Langsung saja tanpa berpanjang kalimat, jawaban dari judul 'click bait' di atas: harus. Kenapa kita harus suuzan kepada politikus? Begini penjelasannya.

Suuzan atau sering ditulis su'udzon/su'udzan adalah terminologi yang awalnya muncul sebagai istilah keagamaan Islami, meski kemudian penggunaannya meluas lebih universal ke ranah-ranah non-agama. Terlepas dari etimologi Arabnya, arti suuzan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima adalah prasangka buruk. Lawan katanya adalah husnuzan atau prasangka baik.

Untuk memudahkan pemahaman dalam tulisan ini, mari kita sepakati saja bahwa suuzan sama dengan berprasangka buruk, sebagaimana makna yang lazim dirujuk masyarakat ketika menggunakan istilah itu. Misalnya, "Jangan suuzan ke tetangga sendiri", atau, "Ketimbang suuzan, lebih baik husnuzan", dan sebagainya. Dalam pemahaman yang lazim di masyarakat, suuzan bernilai negatif ketimbang husnuzan yang dipandang sebagai sikap mulia. Sehingga, suuzan harus dihindari.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, sikap husnuzan atau berprasangka baik kepada politikus adalah sikap yang tidak bijaksana. Kenaifan memandang bahwa politikus adalah manusia-manusia tulus malah berpotensi berbahaya. Ini sudah disadari oleh pemikir abad silam.

Power tends to corrupt

ADVERTISEMENT

Kalimat yang sudah sering dikutip tersebut berasal dari Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Bila dialihbahasakan, kalimat dari politikus Inggris abad ke-19 itu kira-kira, "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup."

Istilah "corrupt" di sini tak terbatas pada "korupsi" saja seperti mengambil duit negara atau suap-menyuap pejabat. Istilah "corrupt" bisa dimaknai sebagai "menyimpang", "tidak jujur", "tidak murni", "jahat", "buruk", dan "rusak".

Saya menyarikan penjelasan Profesor Brian Klass dalam kanal YouTube Big Think. Kutipan populer "power tends to corrupt" berasal dari pembahasan mengenai sejarah Inkuisisi Spanyol, yakni semacam "kebijakan" pengusiran hingga persekusi Muslim dan Yahudi dari tanah Spanyol. Inkuisisi Spanyol dijalankan setelah suksesnya Reconquista atau perebutan kembali negeri Spanyol oleh kerajaan Kristen dari pendudukan bangsa Moor yang beragama Islam.

Auto-da-fe dari Inkuisisi Spanyol: Hukuman pembakaran orang-orang yang dianggap menyimpang digelar di pasar. Karya ukir kayo oleh H.D. Linton setelah Bocourt setelah T Robert-Fleury, 1800-1899. (Public Domain via Wellcome Collection)Auto-da-fe dari Inkuisisi Spanyol: Hukuman pembakaran orang-orang yang dianggap menyimpang digelar di pasar. Karya ukir kayu oleh H.D. Linton setelah Bocourt setelah T Robert-Fleury, karya antara tahun 1800-1899. (Public Domain via Wellcome Collection)

Inkuisisi Spanyol tersebut dijalankan dengan kejam dan sarat pemaksaan berdarah terhadap non-Kristen Spanyol. Lord Acton tidak membenarkan Inkuisisi Spanyol itu. Inkuisisi Spanyol yang kejam itu bisa terjadi dalam sejarah lantaran penguasa Spanyol saat itu punya kekuasaan absolut. Lord Acton punya ide agar sejarah kelam itu tidak terjadi lagi, caranya adalah pengendalian kekuasaan agar tidak tercipta kekuasaan absolut, karena kekuasaan absolut cenderung mengerikan bak Inkuisisi Spanyol.

Kenyataan dunia politik yang cenderung korup memang begitu adanya. Terima saja, memang politik cenderung korup. Sifat alamiah yang cenderung korup itulah yang membuat kita tidak bisa begitu saja berprasangka baik terhadap oknum-oknum riil dalam kekuasaan, yakni mereka yang sama seperti mamalia lainnya, terdiri dari daging dan darah (plus nyawa jika Anda percaya): politikus. Sifat alamiah kekuasaan yang cenderung korup ini harus diafirmasi terlebih dahulu sebelum kita merumuskan sikap.

Suuzan/skeptis

Suuzan atau berprasangka buruk perlu dikedepankan. Atau, bila Anda suka, setidak-tidaknya adalah mengedepankan sikap skeptis terhadap politikus. Apalagi ini sudah masuk tahun politik. Pemilu 2024 di depan mata.

Gejala kesadaran masyarakat akan sifat dasariah politikus yang cenderung korup sudah muncul. Simtom-simtomnya dapat dilihat dari meme populer, "Anda sopan, kami curiga. Anda pasti caleg." Meme ini bukannya baru, tapi refleksi terhadap gejala komikal itu tidak terlalu remeh untuk direnungkan.

Ada dua opsi skeptisisme terhadap politikus: Skeptisisme absolut atau skeptisisme metodis. Skeptisisme absolut berarti meragukan segala hal yang berhubungan dengan politikus. Bila Anda menempuh metode radikal ini, ada potensi Anda jadi anarki, jadi apatis terhadap politikus, atau golput. Namun bila Anda memilih jalan skeptisisme metodis, kemungkinan Anda akan menyikapi realitas politik secara lebih konstruktif. Skeptisisme ala Rene Descartes, meragukan segala sesuatu kecuali dirinya sendiri yang berpikir, layak menjadi rujukan meski bakal buntu juga bila kita bermain secara ekstrem.

Mari kita ambil yang gampang-gampang saja, begini sikap skeptis yang proporsional: Seorang warga negara hanya percaya bahwa dia berhak atas hidup yang layak dan meragukan semua politikus. Seorang warga negara tidak boleh terhipnotis sehingga percaya bahwa politikus itu benar-benar baik hati, tulus, membela orang kecil, saleh, antikorupsi, dan hal-hal baik lainnya. Skeptisisme atau sikap meragukan segala sesuatu ini dikedepankan sebagai metode politik oleh warga negara.

Apakah seorang warga negara yang skeptis terhadap politikus hanya percaya terhadap dirinya sendiri alias "merasa paling benar sendiri"? Tidak. Pelaku skeptisisme yang merasa bahwa "hanya pandangannya sendiri yang paling benar" otomatis batal menjadi seorang skeptis. Seorang skeptis harus suuzan juga terhadap pandangannya sendiri. Dia harus juga meragukan pandangannya sendiri. Terdengar absurd memang. Inilah jebakan intensionalitas.

Arti "intensionalitas" di sini bukanlah "kesengajaan" sebagaimana makna sehari-hari. Dalam filsafat, istilah "intensionalitas" berarti "keterarahan". Sikap skeptis mengandalkan subjek yang berpikir (res cogitans) dan objek yang dipikirkan (res extenza). Res cogitans yakni subjek punya keterarahan ke res extenza yakni objek. Subjek yang berpikir meragukan objek yang dipikirkan. Jangan-jangan objek yang dipikirkan itu cuma politikus tukang bohong.

Jadi, politikus yang dia pikirkan itu memang meragukan dan layak dicurigai. Satu-satunya yang tidak meragukan dan bersifat pasti adalah "saya yang berpikir" atau res cogitans. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada! Tapi, sebentar. Kok Anda tidak meragukan diri Anda sendiri? Pede banget Anda?

Sekali-sekali, subjek yang berpikir ini perlu didorong ke depan untuk dijadikan sebagai objek yang dipikirkan. Lantas siapa yang bakal menjadi subjek bila subjek itu sendiri sudah menjadi objek? Siapa lagi yang bisa menjadi meta-subjek yang mengamati subjek-subjek baru itu? Tidak perlu overthinking. Masyarakat bisa menjadi subjek dan objek satu sama lain. Untuk itulah, perlu sikap keterbukaan menerima kritik dalam roleplay demokrasi.

Seorang warga negara yang skeptis terhadap asumsi-asumsi pribadinya sendiri bakal senantiasa memeriksa pemahaman pribadinya lewat sikap terbuka, bahwa bisa jadi pandangan yang selama ini dia yakini sebagai kebenaran ternyata salah. Tentu perlu kedewasaan tingkat tinggi untuk bersikap seperti itu. Bakalan sulit untuk bersikap terbuka apabila sikap politik seorang warga negara dipandang setara seperti keyakinan beragama.

Keterbukaan memeriksa kembali sikap politik disalahartikan sebagai revisi keyakinan beragama. Maka perlu ada penyadaran bahwa politik dalam demokrasi adalah perkara profan saja, bukan perkara sakral. Secara metodologis, suuzan terhadap pemegang kekuasaan dapat dimanifestasikan menjadi sikap skeptis, sikap skeptis dapat direalisasikan menjadi sikap kritis. Jangan mudah percaya kepada politikus. Kritislah, karena power tends to corrupt.

Danu Damarjati wartawan detikcom; tulisan ini pendapat pribadi dan tidak mewakili sikap redaksi

Simak juga 'Tudingan Politikus PDIP Sebut PSI Bohong Dukung Ganjar':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads