Anak-Anak Skena yang Sangat Kalcer
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Jeda

Anak-Anak Skena yang Sangat Kalcer

Sabtu, 05 Agu 2023 11:20 WIB
Mumu Aloha
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
mumu aloha
Mumu Aloha (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Salah satu kata yang paling sakral, angker, dan berwibawa dalam peradaban umat manusia belakangan ini menjadi bahan olok-olok yang paling sarkas di kalangan anak-anak muda Jakarta (Selatan) yang secara ironis mengelompokkan diri mereka ke dalam apa mereka sendiri sebut sebagai "anak skena". Kata culture, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi budaya atau kadang juga disebut kultur, kini dijadikan sebuah label untuk disematkan sekaligus ditertawakan dengan cara mengucapkannya "kalcer".

Skena. Kalcer. Skenal kalcer. Kalcer skena. Dua kata ini ditukar-tukarkan dan digabungkan secara suka-suka untuk menandai munculnya satu fenomena yang sama dalam budaya anak muda. Skena merupakan "pengindonesiaan" dari kata scene yang sebenarnya memiliki rujukan yang luas pada komunitas-komunitas (subkultur) yang berbeda-beda, namun biasanya secara khusus dimaksudkan untuk mewakili subkultur pecinta musik, khususnya musik "indie".

Sedangkan, "kalcer" jika dikembalikan ke asal katanya, culture, kultur, jauh lebih luas lagi, memiliki rujukan klasik pada cara hidup tertentu yang mengekspresikan makna dan nilai, tidak hanya mencakup seni dan sastra, melainkan juga perilaku sehari-hari.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini kata culture dan scene, yang telah dicampuradukkan secara bebas, diplesetkan untuk mengacu pada sebuah komunitas yang menyandang "outfit" tertentu, nongkrong di tempat-tempat tertentu, di wilayah-wilayah tertentu pula. Bayangkan seorang anak muda mengatakan kalimat ini, "Orang-orang yang nongkrong di sana tuh pada kalcer abis." Apa maksudnya?

Secara gampang, mereka adalah para pemburu "coffee shop kerikil", pecinta musik indie, rambutnya merah, punya tato kecil-kecil, dan pakai sepatu Docmart. Cegat secara acak anak-anak muda yang berkeliaran di M Bloc atau Lilttle Tokyo Blok M, dan tanyakan ke mereka, apa atau siapa itu anak kalcer atau anak skena atau anak skena kalcer atau anak kalcer skena? Jawabannya bisa makin panjang: update undangan party di instastory, pagi-pagi naik fixie ke coffee shop, siangnya kerja di agensi, malamnya ke pesta-pesta.

ADVERTISEMENT

Di coffee shop, penting untuk: duduk sendirian, buka laptop penuh stiker, pasang headphone, merokok garpit, dan memesan kopi hitam yang diseduh V60 atau kopi susu gula aren. Cewek: rambut bondol, kacamata frame tebal, pakai sepatu New Balance specifically warna abu-abu. Cowok: celana Dickies, kaos over size warna hitam atau polos, dan mencangklong tote bag.

Semua harus dipastikan mereknya, brand-nya, logonya. Untuk tote bag misalnya, tote bag "mekdi" yang ngetren di kalangan komunitas dan kelas tertentu, tidak diterima di kalangan anak-anak skena, karena sangat tidak kalcer. Tips tambahan: kalau mau (saling) berkenalan, tunjukkan bahwa dirimu punya family issue yang menyebabkan mental health.

***

Kedengarannya sumbang dan berkonotasi negatif? Di media sosial, video-video tentang anak skena/kalcer didominasi dengan konten-konten parodis: mereka menertawakan diri sendiri, atau saling menertawakan, atau menjadikan fenomena itu sebagai bahan ejekan dan objek untuk lucu-lucuan.

Bagi saya, generasi X, melihat fenomena anak-anak muda ini selalu mengusik kegelisahan yang kontradiktif: terlalu jauh dari jangkauan tapi juga terlalu dekat, baru sekaligus familier, sinis tapi diam-diam juga senang --sosok-sosok yang serba sedap dipandang mata ini sangat membangkitkan mood, menggugah hasrat-hasrat terpendam, betapapun aneh, asing, dan tetap menyisakan banyak pertanyaan.

Di masa lalu, saya merasa pernah ada di sana, tapi ketika dilihat lagi lebih dekat, ternyata sudah tidak ada yang sama lagi. Jaket kulit rocker kini telah digantikan dengan kardigan, dan celana pipa talang telah menjadi usang; yang dianggap kalcer sekarang adalah celana kargo atau celana megar dengan ujung yang tidak dijahit. Jadi, ini memang hanya soal gaya, yang selalu kembali, merebut momen dan ruangnya.

Tapi, bicara gaya bukanlah "hanya". Kita akan selalu dibuat tergoda untuk menengok kembali pada tema ini karena pada dasarnya kita tak pernah bisa berpaling dari benda-benda, terpesona pada objek-objek yang sepele (tote bag kanvas, baju 'kebesaran') dan mengotak-atik fungsi alaminya agar keluar dari norma (sepatu lari untuk ngantor, memadukan kemeja batik dengan celana jins ketat) untuk kita sesuaikan dengan hasrat kita.

Pada gaya yang selalu kita bongkar, susun kembali, geser dari tempatnya, ubah dari tujuannya, kita tidak hanya menemukan kesenangan dan memaknai waktu senggang, tapi juga merekonstruksi kemolekan tubuh untuk menarik perhatian, memberi kejutan, mengganggu tatanan, dan membuat pernyataan.

Dalam berbagai kajian tentang "kalcer" anak muda, gaya tak pernah dianggap remeh seperti kelihatannya; gaya selalu ditafsirkan sebagai tanggapan melalui kode atas perubahan yang dialami di tingkat komunitas. Barangkali sudah terlalu klise jika dikatakan kembali bahwa di balik kekhasannya yang terpola, gaya anak muda senantiasa bisa dilihat sebagai simbol perlawanan, dan sebagai gejala tontonan yang menyerukan sikap pembangkangan yang lebih luas.

Sejauh menyangkut anak muda, saya selalu tertarik untuk mengamati apa yang mereka kenakan, sekaligus apa yang mereka tolak, untuk menyatakan diri mereka lewat gaya. Maksud di balik gaya adalah mengkomunikasikan perbedaan sambil mengkomunikasikan identitas kelompok. Seluruh pemaknaan lain berangkat dari sini, dan melaluinya semua pesan lain berbicara. Misalnya penegasan kelas atau penonjolan secara tersamar identitas seksual.

Dari sini kita kemudian dapat kembali menguji struktur internalnya: jika gaya adalah komunikasi, maka sesungguhnya apa yang dikomunikasikan? Anak-anak muda yang bergerombol dalam paduan gaya yang disepakati bersama ini, yang kadang membuat resah kaum tua (seperti saya) dan mengusik penguasa dan otoritas-otoritas moral, sesungguhnya memiliki kesamaan tampilan umum. Bahwa mereka semua kebanyakan berasal dari kelas pekerja dan berkaitan dengan kultur konsumsi yang melimpah.

Melalui ritus konsumsi yang khas ini --anak punk dengan segala pernak-pernik bondage-nya, anak skena dengan kaos-kaos band-nya-- mereka serentak mengungkapkan identitas rahasianya melalui gaya sambil mengkomunikasikan makna terlarangnya. Cara komoditas ini dipakai dalam kelompok menegaskan perbedaan anggotanya dari formasi gaya lama, meskipun kalau dilihat dari dekat sebenarnya tidak pernah ada yang "baru-baru amat".

Dalam bahasa fafifu wasweswas ndakik-ndakik, yang terjadi adalah dialektika, dan inilah momen yang ada di hadapan kita sekarang ketika melihat kehidupan anak muda. Melalui dialektika itu, gaya anak muda diciptakan kembali, diadaptasi, dan akhirnya dilampaui atau kadang digantikan. Yang dulu dianggap gaul dan modis, sekarang telah menjadi norak dan menjijikkan.

Silih bergantinya gaya anak muda meliputi serentetan "alih-ubah" suatu rangkaian item (baju, musik, kuliner), yang mewujud melalui susunan internal polaritas (mod vs rocker, skinhead vs hippie, hippie vs punk, punk vs teddy boy), dan pada akhirnya didefinisikan berlawanan dengan alih-ubah yang "lurus" dan konservatif (high fashion, budaya orangtua).

Kendati tidak melabeli diri secara spesifik, sebagaimana anak punk misalnya, melainkan berusaha untuk lebih samar dan lebih umum dengan menyebut diri "anak skena (yang kalcer abis)", gaya mereka tetap terlihat mengekspresikan identitas kelompok yang sangat terstruktur, tampak jelas, dan terjalin dengan "aturan-aturan" yang ketat.

Sementara, di level individu, setiap anak muda tentu saja membawa masuk komitmen yang berbeda-beda ke dalam kelompok, misalnya ada yang menganggapnya sebagai dimensi utama kehidupan mereka, sementara bagi yang lain, bisa saja semata sebagai semacam selingan kecil yang melegakan dari rutinitas sekolah, kuliah, rumah, atau kantor --yang meskipun sangat penting tapi menjemukan.

Ia dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana untuk melarikan diri, suatu pemutusan hubungan dari lingkungan sekitar, atau sebaliknya sebagai cara untuk menyesuaikan diri ke dalam kehidupan normal, misalnya setelah pandemi, atau untuk membuka katup pelepasan, lepas dari segala tata terbit dan moral sosial yang menekan.

***

Masih menyisakan teka-teki bagi saya, bagaimana anak-anak skena/kalcer yang lahir dari budaya kedai kopi artisan, Synchronize dan Pestapora, serta didukung oleh infrastruktur angkutan umum kota yang lebih baik itu, dengan sengaja melekatkan diri pada barang-barang, objek-objek, dan tempat-tempat tertentu untuk mengumumkan gaya "baru" mereka? Alih-alih menghindari logo-logo komoditas massal, sebagaimana para pendahulu mereka, misalnya anak-anak punk yang mengais "objek-objek hina" (peniti, rantai, celana sobek), mereka justru menjadi juru bicara dan peraga gratis bagi merek-merek terkenal (tote bag Good Dept, iPhone, MacBook, sepatu Vans).

Dengan kata lain, di balik keglamoran gaya baru anak-anak skena/kalcer di panggung subkultur anak muda (yang lahir kembali) di era media sosial ini, mereka tidak memunculkan identitas baru yang bersifat subversif. Sebaliknya, olok-olok kejam mereka terhadap merebaknya tote bag "mekdi" misalnya, memperlihatkan betapa mereka sedang berupaya meneguhkan identitas yang sebenarnya terfragmentasi --tampak jauh dari semangat solidaritas kelas (pekerja) dan perlawanan.

Namun, apakah ini serta merta juga menunjukkan bahwa kelompok anak muda makmur ini telah kehilangan kapasitas politiknya? Saya tidak berlebihan jika mengungkit dimensi politik dari gaya anak muda, di samping dimensi simbolisnya sebagai cara pengasingan diri dan pembeda. Rambut spiky, busana tambal-tambal, dan dansa pogo pada anak punk misalnya, barangkali hanyalah "penyimpangan" yang sangat enteng. Tapi, di balik itu selalu ada sinyal penolakan.

Bertentangan dengan mitos popular dan prasangka yang menyatakan bahwa anak-anak yang suka bergerombol dengan dandanan aneh itu adalah suatu forma tanpa aturan, para pesolek yang terobsesi dengan rincian kecil busana itu sebenarnya justru selalu memperlihatkan sebuah keteraturan ekstrem: setiap bagiannya secara organik berkaitan dengan bagian lain dan melalui kecocokan antarbagian inilah anggota kelompok mengartikan dunia.

Obat-obat pembangkit halusinasi dan acid rock membuat anak-anak hippies dimengerti bahwa itulah cara hidup yang utuh. Anak-anak punk yang kelihatannya sangat chaos pada setiap detail penampilannya, sebenarnya sangat tertata dalam keutuhan yang bermakna. Kita dapat mencoba memecahkan paradoks tersebut ketika melihat anak-anak skena sekarang ini, yang terlihat serba manis, serba tertib, dan serba bersih, bahwa di balik tumbler berisi amer, musik senja, dan Gudang Garam International, tersimpan lebih dari sekadar kepedihan diam-diam sebuah generasi yang harus menanggung secara finansial orangtua dan adik-adiknya.

Saya tetap ingin berharap bahwa setiap munculnya fenomena baru gaya anak muda, hal itu merupakan pertanda bahwa kelompok yang selalu dipandang remeh dan dangkal ini selalu punya cara untuk menunjukkan jalan-jalan baru "perlawanan". Siapa tahu, dengan segala ironinya, dengan berbagai prasangka yang telah melekat erat (generasi lembek, mudah menyerah, tak punya loyalitas pada pekerjaan), mereka justru dapat menciptakan kondisi yang jauh lebih sulit untuk dimanipulasi dan dikontrol.

Bagaimanapun, anak-anak muda yang sekarang memenuhi ruang-ruang skena/kalcer ini tumbuh dalam kultur politik tanpa oposisi. Bagi mereka, kata "perjuangan" rasanya begitu absurd, dan satu-satunya yang harus mereka lawan adalah perasaan-perasaan tertekan melihat sebaya mereka dari keluarga privilese pamer kekayaan orangtuanya, melakukan kekerasan, tak terjangkau hukum; dan, generasi pendahulu yang duduk di jabatan-jabatan publik tiada henti dengan vulgar menjadikan korupsi sebagai tontonan.

Mereka bukan generasi pascaperang yang harus menciptakan ikon-ikon untuk memulihkan trauma dan rasa muak. Mereka bukan generasi yang dikekang oleh rezim penguasa diktator dan harus menciptakan jargon-jargon untuk melawan. Mereka adalah anak-anak muda yang tumbuh di era start-up, sebagian besar mungkin mengenal dunia kerja pertama kali sebagai karyawan-karyawan yang diberikan kebebasan untuk remote working, bertransaksi keuangan dengan QRIS, lebih sering berinteraksi dengan orang asing di aplikasi kencan ketimbang dengan tetangga dekat rumah, dan menonton film-film series tentang kehidupan orang-orang gagal yang bahagia.

Begitulah, setiap generasi memikul luka masing-masing. Bagi anak-anak skena/kalcer ini, yang mereka butuhkan barangkali hanya secangkir kopi hitam tanpa gula untuk menghayati pahitnya kenyataan --cicilan awal bulan, rumah yang makin mustahil terbeli. Dan, mendengarkan lagu-lagu yang menenggelamkan dalam suasana melankolis --habis diputusin pacar, atau teman kencan yang baru ketemuan kemarin tak lagi merespons pesan.

Yang mereka butuhkan adalah satu-dua baris kutipan klise yang mengawang-ngawang --tapi menghibur dan cukup untuk sejenak melupakan pengapnya udara karena polusi gila-gilaan, cuaca tak menentu karena krisis iklim yang tak kunjung jadi agenda serius kebijakan oligarki, kemacetan lalu lintas yang makin tak kenal waktu, ancaman PHK setiap saat karena perusahaan rintisan tempat bekerja ternyata tak seglamor kelihatannya-- untuk caption foto terbaru di feed Instagram agar terlihat rapi, untuk menyembunyikan hidup mereka yang berantakan....

Mumu Aloha wartawan, penulis, editor

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads