Berangkat dari polemik putusan-putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan perkawinan berbeda agama, Mahkamah Agung (MA) melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 2023 (SEMA No.2/2023) memberikan instruksi kepada seluruh pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan perkawinan berbeda agama.
Agar lebih jelas, berikut isi SEMA No.2/2023 yang menyatakan: Untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan beda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf F Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Agar lebih jelas, berikut isi SEMA No.2/2023 yang menyatakan: Untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan beda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf F Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Dengan demikian, apabila ada permohonan terhadap pengesahan perkawinan berbeda agama, maka pengadilan in casu hakim harus menolak permohonan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa MA tidak membenarkan perkawinan berbeda agama, sama halnya dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan judicial review perihal perkawinan berbeda agama.
Perspektif HAM
Dalam optik hak asasi manusia (HAM'), hak beragama mempunyai dua dimensi, yakni: (i) Forum eksternum (ruang publik) dan (ii) forum internum (ruang privat). Forum eksternum adalah hak untuk mengekspresikan beragama melalui pernyataan dan sikap di hadapan publik. Sedangkan forum internum adalah hak dan kebebasan dalam memilih agama dan mempraktikkannya berdasarkan pilihan secara privat.
Apabila ada pasangan warga negara yang berbeda agama, kemudian memutuskan untuk melakukan perkawinan, maka hal tersebut termasuk ke dalam forum internum. Sebab, setiap pasangan memiliki hak dan kebebasan tersendiri untuk menentukan pasangannya berdasarkan pilihan dan kehendaknya sendiri. Dalam konteks ini, perkawinan berbeda agama tersebut sah-sah saja dan tidak ada masalah. Apalagi soal memilih pasangan adalah menyangkut persoalan selera, de gustibus non est disputandum yang berarti perihal selera tidak dapat disengketakan. Negara tidak bisa serta merta masuk ke ranah ini.
Sementara perkawinan merupakan salah satu bentuk ibadah dalam beragama dan termasuk ke dalam forum eksternum. Kehadiran negara dalam perkawinan berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) juncto UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) hanya sebatas pencatatan sipil, karena perkawinan termasuk ke dalam peristiwa penting yang wajib dicatatkan. Pencatatan perkawinan ini sangat erat kaitannya dengan legitimasi yuridis-sosiologis dan aksesibilitas hak-hak masyarakat dalam pelayanan publik.
Namun, dalam optik konstitusi dan UU Perkawinan, meskipun memilih pasangan untuk diajak menikah itu merupakan hak asasi, tetapi konstitusi menegaskan bahwa Indonesia tidak menganut asas kebebasan HAM mutlak. Sesuai dengan Pasal 28J UUD 1945, segala persoalan yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar UU yang berlaku, in casu tunduk pada UU Perkawinan, yang menyatakan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sehingga perkawinan berbeda agama dalam perspektif konstitusi dan UU tidak dapat dibenarkan.
Kompetensi Pengadilan
Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.141/Pdt.P/2023/PN.Yyk merupakan salah satu keputusan hakim yang mengabulkan permohonan perkawinan berbeda agama dengan pertimbangan mencegah terjadinya kumpul kebo sehingga hukum harus memberi jalan keluar dengan memberi perlindungan dan pengakuan status pribadi dan status hukum dalam setiap peristiwa penting dalam masyarakat dalam hal perkawinan.
Apakah salah apabila pengadilan mengeluarkan penetapan mengabulkan permohonan pernikahan berbeda agama? Pertama, jika dilihat dari jenis perkaranya, maka permohonan penetapan perkawinan berbeda agama termasuk ke dalam gugatan voluntair atau permohonan yang bersifat sepihak, tanpa sengketa, dan produknya berupa penetapan pengadilan. Prinsip permohonannya adalah meminta kepastian hukum kepada pengadilan untuk memperoleh "izin" melakukan perbuatan perdata tertentu.
Kedua, sebenarnya Pasal 35 UU Adminduk memberikan dasar hukum bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan perkawinan berbeda agama tersebut. Tetapi hanya terbatas pada persoalan "izin'' pencatatan peristiwa penting in casu perkawinan pada dinas kependudukan dan catatan sipil, bukan untuk pengesahan perkawinan yang merupakan kompetensi agama masing-masing.
Penetapan pengadilan di sini hanya memberikan kepastian hukum terkait ''izin'' atau administrasi pencatatan perkawinan saja di catatan sipil. Sesuai dengan berbagai Putusan MK terkait relasi agama-negara dalam hal perkawinan, berdasarkan: (i) Putusan No. 24/PUU-XX/2022; (ii) Putusan No.68/PUU-XII/2014; (iii) Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010; dan (iv) Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017, tugas negara adalah menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum. Sedangkan terkait keabsahan perkawinan ditetapkan oleh agama.
Sehingga penetapan pengadilan yang seperti itu tidaklah bertentangan dengan UU Perkawinan. Sebab, Pasal 34 UU Adminduk menyatakan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut UU yang berlaku. UU Adminduk tetap merujuk pada UU Perkawinan terkait persoalan keabsahan perkawinan. Sehingga kompetensi keabsahan perkawinan merupakan kompetensi UU Perkawinan yang berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing, bukan kompetensi UU Adminduk.
Lalu bagaimana dengan permohonan perkawinan berbeda agama yang diajukan ke pengadilan pasca berlakunya SEMA No.2/2023 yang melarang pengadilan mengabulkan permohonan perkawinan berbeda agama? Kembali lagi jika permohonan tersebut hanya sebatas untuk tujuan pencatatan sipil, maka penetapan pengadilan tersebut tidaklah bertentangan dengan SEMA No.2/2023. Lagi pula "surat edaran'' bukanlah produk UU walaupun berlaku dan mengikat ke dalam bagi hakim. Tetapi pertimbangan dan pengambilan keputusan hakim tidaklah merujuk pada SEMA.
Hakim dalam memutus berdasarkan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman (yang hierarkinya lebih tinggi daripada SEMA) wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut asas opinio juris sive necessitatis, hakim adalah sebagai pembentuk opini untuk menetapkan apakah suatu tindakan yang terjadi di dalam suatu kasus konkret merupakan bagian dari kewajiban hukum atau sekadar keniscayaan praktis.
Bagaimanapun secara faktual dalam sosial-kultur masyarakat kita, yang dianggap sebagai pasangan suami-istri dan dapat hidup bersama adalah mereka yang dapat menunjukkan bukti dokumen perkawinan. Sebaliknya, pasangan suami-istri yang tidak dapat menunjukkan dokumen perkawinannya dapat dicurigai sebagai pelaku kumpul kebo atau buruknya berzina oleh masyarakat.
Oleh karena itu keberadaan penetapan pengadilan yang hanya sebatas pengabulan atas pencatatan perkawinan tersebut selain untuk kepastian hukum, juga semata-mata untuk menjaga ketertiban umum, demi menghindari dan mencegah penyimpangan sosial dan mungkin perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) oleh masyarakat.
Agung Hermansyah, Arif Sastra Wijaya, Jessica Caroline advokat, konsultan, dan peneliti hukum di Jakarta