Mengurai Tantangan Pembiayaan Transisi Energi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengurai Tantangan Pembiayaan Transisi Energi

Selasa, 01 Agu 2023 10:15 WIB
Ahmad Rahma Wardhana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
PLN Gandeng JBIC Kerja Sama Investasi Transisi Energi
Foto: Dok. PLN
Jakarta -

Setelah perhelatan G20 tahun lalu, terdapat kabar menggembirakan terkait bagaimana Indonesia akan mendapatkan pembiayaan untuk agenda transisi energinya: sebagian dari USD 649 juta berasal dari Millenium Challenge Corporation (MCC) Amerika Serikat; USD 4,5 miliar dari Asian Development Bank (ADB) berjudul Energy Transition Mechanism (ETM); USD 20 miliar dari Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia, dan Inggris dengan tajuk Just Energy Transition Partnership (JETP).

Ketiga sumber pembiayaan tersebut memiliki benang merah yang spesifik soal transisi energi, yakni mempensiundinikan pembangkit listrik batu bara dan menggantikannya dengan pembangkit listrik energi terbarukan.

Tantangan Multidimensi

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pembiayaan yang signifikan tersebut dihadapkan pada tantangan yang multidimensi. Ditinjau dari perspektif teknis, misalnya, transisi energi menuju listrik yang bersih bermakna mengurangi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, yang dominasinya pada akhir 2022 mencapai 54,94% (46,04 GW) di antara pembangkit yang lain. Sementara pembangkit energi terbarukan, antitesis dari batu bara dan yang akan menggantikannya, kapasitasnya berada di angka 15,02% (12,59 GW) (Pusdatin KESDM RI, 2023).

Angka tersebut masih sangat jauh dari target yang diamanatkan oleh PP No. 79/2014 (Kebijakan Energi Nasional/KEN), Perpres No. 22/2017 (Rencana Umum Energi Nasional/RUEN), maupun klausul dalam joint statement negara donor JETP. Masih dari sudut pandang teknis, ketidakmampuan Indonesia untuk mencapai targetnya sendiri adalah karena track record perencanaan Indonesia yang konsisten overestimated dalam menghitung kemampuan dirinya. Kritik ini disampaikan oleh International Energy Agency (IEA) dalam laporannya berjudul Enhancing Indonesia's Power System yang terbit 2022.

ADVERTISEMENT

Lebih dari itu, kekeliruan estimasi tersebut dibarengi dengan policy enforcement yang tidak sinergis lintas kementerian/lembaga, sehingga pembangkit baru yang sedianya dibarengi dengan tumbuhnya kawasan industri malah menghasilkan oversupply listrik. Pada sistem take or pay dalam perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pembangkit listrik swasta, masalah oversupply memiliki dampak lanjutan karena akan membebani neraca keuangan PLN. Pada 8 Februari 2023 silam, PLN menyatakan telah melakukan negosiasi dan menjadikan pembangkit listrik PLN sebagai pemasok cadangan sehingga dapat mencegah beban Rp 40 triliun akibat take or pay.

Lemahnya policy enforcement lintas kementerian/lembaga dalam tata kelola listrik kita dikonfirmasi oleh Sekaringtias dkk (2023) dalam risetnya yang berjudul Untangling the socio-political knots: A systems view on Indonesia's inclusive energy transitions. Riset ini menyebut adanya tiga masalah yang menjadi tantangan dalam transisi energi. Pertama, banyak institusi yang saling bertentangan dalam pembuatan kebijakan. Kedua, substansi kebijakan yang tumpang tindih dan tidak konsisten. Ketiga, kurangnya kapasitas di tingkat implementasi.

Bahkan, realitas dominasi pembangkit listrik batu bara, menurut Ordonez dkk (2021) dalam kajiannya berjudul Coal, power and coal-powered politics in Indonesia, meniscayakan adanya resistensi politik yang solid karena ada elite politik yang menerima keuntungan dari penggunaan batu bara. Resistensi tersebut mengarah pada upaya transisi energi yang di antaranya adalah akan menggugat dominasi batu bara.

Episentrum yang Menjembatani

Tata kelola dan alur kerja JETP menunjukkan bahwa Sekretariat JETP diletakkan sebagai episentrum yang menjembatani tiga aspek. Pertama, kebijakan, yang diampu oleh pemerintah sebagai satu kesatuan, bersama dengan negara donor yang tergabung dalam International Partners Group (IPG).

Kedua, proposal teknis transisi energi, yang dikoordinasikan oleh PLN bersama Independent Power Producer (IPP atau pembangkit listrik swasta), pembangkit listrik swasta untuk keperluan sendiri (Power Plant Captive Owner/PPCO), serta perusahaan manufaktur energi terbarukan dan entitas bisnis bidang dekarbonisasi. Ketiga, pembiayaan, yang dipimpin oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) bersama institusi perbankan di bawah Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Fungsi Sekretariat JETP sebagai sebuah hub terhadap tiga aspek (beserta kelembagaannya) tersebut membawa konsekuensi atas hadirnya risiko lain: hanya dapat menciptakan encouragement ke sekian banyak pihak tanpa melakukan eksekusi teknis karena kewenangannya yang terbatas dan bahkan boleh jadi, tanpa kewenangan sama sekali.

Terhadap substansi aspek proposal teknis transisi misalnya, Sekretariat JETP boleh jadi hanya memiliki kuasa untuk memastikan bahwa target proposal dapat berkontribusi dalam memenuhi total target yang disasar JETP. Namun proses lanjutan tentang bagaimana PLN bersama IPP dan PPCO mengeksekusinya, tentu saja Sekretariat JETP tak dapat berbuat banyak karena tak memiliki kewenangan mengatur PLN.

Hal serupa berlangsung pada relasi antara Sekretariat JETP terhadap aspek finansial, di mana Sekretariat JETP tak punya kuasa mengatur negosiasi antara PT SMI dengan GFANZ dan lembaga keuangan lain. Sama halnya dengan relasi dan negosiasi aspek teknis transisi dengan finansial antara PLN dengan PT SMI: Sekretariat JETP sangat mungkin hanya mampu melakukan supervisi dan monitoring tanpa wewenang intervensi.

Relasi antara Sekretariat JETP dengan pemerintah di aspek kebijakan juga sebanding dengan aspek lainnya, yakni tak memiliki kuasa apapun. Padahal, pemerintah yang memiliki track record dalam formulasi dan implementasi kebijakan yang tidak menggembirakan haruslah dimaknai sebagai dibutuhkannya langkah-langkah kebijakan yang adaptif dan lincah (agile), namun tetap berada dalam koridor ketaatan hukum.

Bahkan ketika kesepakatan antara aspek teknis transisi dan finansial dicapai, tetapi eksekusinya membutuhkan perubahan kebijakan secara taktis dan cepat, lagi-lagi sangat mungkin Sekretariat JETP hanya mampu memberikan dorongan kepada pemerintah. Uraian saya tentang Sekretariat JETP yang beberapa kali menggunakan frasa "boleh jadi" dan "sangat mungkin" merupakan gambaran masih sedikitnya informasi tentang Sekretariat JETP di publik terkait tugas, fungsi, dan wewenangnya.

Tesis saya ini salah satu indikasinya dikonfirmasi oleh riset Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Di dalam Laporan Survei Nasional Opini Publik terkait JETP, CELIOS menyatakan bahwa 76% responden tidak mengetahui mengenai pendanaan transisi energi dengan skema JETP di Indonesia (CELIOS dan UniTrend, 2023). CELIOS juga memberikan kritik konstruktif substansial terhadap JETP, yakni agar; pertama, mendorong keterlibatan masyarakat, utamanya yang terdampak langsung dari transisi energi.

Kedua, menguatkan peran civil society organization untuk menghasilkan solusi kebijakan yang lebih inklusif, efektif, dan berdampak. Ketiga, pemensiunan dini pembangkit batu bara yang bertahap dengan kompensasi dan insentif yang akurat kepada masyarakat yang paling terdampak. Keempat, mendorong capacity building bagi masyarakat terdampak, khususnya di pedesaan, dengan perspektif gender yang implementatif (CELIOS dan UniTrend, 2023).

CELIOS melalui dua artikelnya (Concerns Amid JETP Funding for Indonesia in Climate Change Mitigation di Australian Institute for Internasional Affairs dan Skema Pinjaman di JETP Lebih Dominan, Ekonom: Jadi Beban Baru Keuangan Negara di tempo.co) juga mengingatkan kita tentang potensi lebih besarnya porsi pinjaman dibandingkan hibah dalam pembiayaan JETP. Besarnya pinjaman dibandingkan hibah akan membebani keuangan negara di masa mendatang sekaligus gambaran potensi bagi negara maju untuk menghindar dari tanggung jawab lingkungannya.

Bagi saya, analisis CELIOS tersebut membuktikan betapa cerdiknya IPG dalam mendinamisasi posisi tawar mereka dan kita, sebagaimana tercermin pada poin keempat joint statement JETP yang masih abu-abu karena belum berbentuk perjanjian internasional: The Joint Statement constitutes political commitments of the Government of Indonesia and the members of the International Partners Group and is not a binding international agreement.

Posisi Tawar Terbaik

JETP adalah anugerah besar bagi Indonesia bukan hanya karena pembiayaannya yang cukup besar, tetapi juga karena hikmahnya yang menampakkan secara gamblang betapa carut-marutnya tata kelola listrik kita. Formulasi kebijakan di sektor energi dan implementasinya yang tak terorkestrasi dengan baik akibat masih kuatnya egosektoral harus dilibas. Pun dengan motif-motif politik jangka pendek berbasis industri ekstraktif seperti batu bara, yang menjadi antitesis arah transisi menuju energi terbarukan yang berkelanjutan, wajib dilepas dari jiwa politisi dan pelaku usaha Indonesia.

Perlu pula diperhatikan sumbang saran dari masyarakat sipil bahwa just (berkeadilan), yang menjadi tajuk utama JETP, dapat benar-benar tercermin di tahapan proses hingga implementasi. Hadirnya ketiga dimensi tersebut --formulasi hingga implementasi kebijakan yang adaptif dan lincah, musnahnya politik non-ekologis, serta mewujudnya keadilan-- niscaya akan menjadi posisi tawar terbaik bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan negara donor, tanpa perlu merendahkan diri.

Pada konteks dalam negeri, jika tugas dan fungsi Sekretariat JETP diperkuat wewenangnya, bukan tidak mungkin dapat menjadi harapan baru tentang pengelolaan transisi energi dalam sebuah pipeline tunggal yang diperjuangkan bersama yang sinergis.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads