Silang Sengkarut Sistem Zonasi, Kenapa Tak Libatkan BIG?

Silang Sengkarut Sistem Zonasi, Kenapa Tak Libatkan BIG?

Agung Christianto - detikNews
Senin, 31 Jul 2023 11:27 WIB
Tiga murid mengikuti kegiatan belajar di SDN 23 Lolong Padang, Sumatera Barat, Kamis (13/7/2023). Awal tahun ajaran baru, murid kelas 1 di sekolah tersebut hanya berjumlah tiga orang, meliputi dua murid baru dan satu murid tinggal kelas, akibat adanya kebijakan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena di sana terdapat SDN lain yang berdekatan dan lokasi sekolah yang dekat dengan pantai.  ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/hp.
Foto: Ilustrasi sekolah terdampak sistem zonasi (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
Jakarta -

Sejak bayi hadir di muka bumi, padanya turut serta 'data' tentang dirinya. Data itu menyangkut waktu dan tempat kelahiran, jenis kelamin, bobot maupun ukuran tubuhnya maupun orang tua pemilik bayi. Data selanjutnya berkembang seiring kehidupan yang ditempuh, jadi informasi menyangkut identitas.

Yang disebut identitas termasuk status kesehatan, orang tua yang mengasuh, alamat tempat tinggal, agama yang dianut, pendidikan yang ditempuh, pekerjaan yang ditekuni, karya yang dihasilkan. Juga perjalanan-perjalanan yang dilakukan. Seluruh informasi bertambah sepanjang hidup. Berhenti manakala manusia mati. Informasi soal identitas, yang sering disebut sebagai data pribadi, saat ini jadi komoditas yang diperebutkan di dunia digital.

Lokasi merupakan satu jenis data yang melekat pada manusia, akibat keterikatannya dengan ruang tertentu. Data ini dikaitkan dengan posisi manusia di atas permukaan bumi. Dengan mengandaikan ruang yang ditempatinya berbentuk datar, seorang manusia ada di koordinat kartesian sumbu x dan y.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan jika ia ada di ruang 3 dimensi, maka ditempatilah sumbu x, y dan z. Ketiga jenis data itu akan bertambah, saat manusia bergerak. Komponen datanya menjadi x, y, z, dan t, sebagai dimensi waktu.

Pemahaman terhadap data berbasis lokasi harusnya dapat mencegah polemik yang selalu menyertai sistem zonasi penerimaan siswa baru. Sistem zonasi merupakan salah satu jalur yang digunakan pemerintah dalam PPDB, Penerimaan Peserta Didik Baru. Sistem yang sesungguhnya telah digunakan 5 tahun berselang, namun nampaknya belum menemukan praktik terbaiknya.

ADVERTISEMENT

Dalam kewajiban negara terhadap warganya, data tiap individu harusnya dicatat di lembaga kependudukan maupun catatan sipil. Ini mulai tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten atau kota. Data ini disebut sebagai data kependudukan. Data kependudukan mengandung pernyataan lokasi individu: alamat rumah di wilayah administrasi kelurahan, kecamatan, maupun kota tertentu. Dengan bermodal data kependudukan ini, calon peserta didik dapat mendaftarkan diri ke sekolah yang dikelola oleh negara.

Dari data kependudukan yang tersedia, permasalahan muncul dengan tak tertuangnya satu sistem informasi lokasi. Yang ada pada KK maupun KTP sebatas nomor rumah, RT/RW, nama jalan, kelurahan atau desa. Tidak terdapat koordinat lokasi pada sumbu x dan y tertentu. Ini pada pelajaran geografi disebut sebagai garis lintang dan bujur.
Pencantuman koordinat geografis pada KK maupun KTP, bisa jadi ide baru dan unik, yang mampu jadi solusi persoalan PPDB.

Terlebih manakala eksositem digital makin tumbuh. Dengan satu rumah satu koordinat, berikut atribut yang menyertainya, jadi informasi yang sangat berharga dan penting. Rumah sebagai basis data lokasi, yang diikuti informasi kepemilikannya, tak cukup untuk menggambarkan aktifitas individu penghuninya.

Ini pernah diuji Walikota Bogor, Bima Arya, saat melakukan penelusuran alamat pendaftar PPDB. Beberapa rumah yang didatanginya tak berpenghuni. Artinya rumah ada pemiliknya, namun tak ditinggali. Demikian pula, terdapat adanya KK yang berbeda dengan nama pemilik rumah disebutkan.

Keberadaannya juga tak dikenali warga sekitar. Dalam penerapan sistem zonasi, manakala pengelola PPDB maupun pendaftar menggunakan Google Maps untuk menentukan jarak sekolah dengan rumah calon peserta didik, muncul kesimpangsiuran. Pasalnya, tak ada titik acuan pasti yang disebut sebagai titik sekolah. Apakah di tengah halaman sekolah, gerbang sekolah, pagar sekolah, atau pojok pagar sekolah? Demikian pula manakala pendaftar meletakan titik yang disebut sebagai 'rumah' nya. Dengan tujuan menghasilkan jarak terdekat dengan sekolah, dipilih titik sembarang, yang sesungguhnya tak sesuai dengan rumah yang ditinggalinya.

Proses PPDB seperti main gundu, yang jaraknya paling dekat memperoleh giliran lebih dulu. Penerapan sistem zonasi pada PPDB harusnya melibatkan BIG (Badan Informasi Geospasial). Lembaga negara punya wewenang dan perangkat, dalam penyelenggaraan informasi geografis. Sayangnya, belum dilirik dalam proses yang telah berlangsung lama ini.

Satu Data, Senjata Bereskan Akal-Akalan PPDB

Dapat dipahami, penerapan sistem zonasi dalam PPDB bertujuan mewujudkan pendidikan yang merata. Sistem ini hendak menghapus sekolah 'favorit', yang sesungguhnya bermula dari ketimpangan layanan pendidikan. Adanya sekolah favorit, memunculkan diskriminasi dalam proses pendidikan.

Sebelum diterapkannya sistem ini, calon siswa yang tinggal di dekat sekolah favorit, tapi nilainya kurang bagus, tak dapat diterima di sekolah itu. Muhadjir Effendi sebagai pencetus ide sistem zonasi, punya visi: tiap siswa dapat bersekolah di fasiltas pendidikan dekat rumahnya.

Tak perlu pilih-pilih, sebab semua sekolah sama kualitasnya. Karenanya, ketika kenyataan itu belum terwujud Menteri ini berharap pemerintah daerah dapat memperbaiki kualitas sekolah di wilayahnya masing-masing. Meratanya kualitas jadi tujuan sistem zonasi.

Dalam upaya mencapai tujuan itu, ego sektoral antar institusi penyelenggara layanan publik, jadi penghalang. Pengelola pendidikan yang tak terkait data kependudukan ~yang jadi pertimbangan utama sistem zonasi~ enggan bermitra. Sinkronisasi data antar insitusi, nihil. Ini ilustrasinya, saat suatu SMA negeri favorit menetapkan menerima siswa baru dengan jarak radius terjauh 200 m. Sekolah itu terletak di jalan protokol yang lebarnya 15 m. Di seberangnya terdapat kebun raya, dan pada radius 300 m di belakang sekolah, terdapat rel kereta, dan perkantoran maupun pertokoan di sekitarnya.

Jika seluruh data ini dihitung dengan benar, pada radius 200 m ~pada wilayah yang luasnnya mencapai 40.000 m2 ~, dapat menerima 160 siswa. Ini artinya tiap siswa dan keluarganya menempati ruang tidak lebih dari 84m2. Betapa padatnya permukiman yang mengelilingi sekolah itu. Karena bukan hanya siswa dan keluarganya saja yang tinggal di tempat itu.

Jika kondisi ini berlangsung selama 3 hingga 4 tahun sebelumnya, artinya tiap tahun siswa yang diterima rata-rata 160 orang, tiap tahun terjadi secara berulang. Maka pertanyaannya, apakah penghuni di sekitar sekolah tersebut di kurun waktu itu berusia sekolah semua?

Karenanya, dengan adanya kemitraan antar penyelenggara layanan publik, lewat satu data dan satu peta, hiruk pikuk PPDB dapat dihentikan. Keadaan sekolah berikut lingkungannya dapat dianalisa. Juga rasio dan tingkat kepadatan penduduknya. Dari data kependudukan diperoleh informasi usia potensi sekolah. Dengan pertimbangan kapasitas sekolah, dapat diproyeksi jumlah siswa yang diterima di tahun pertama untuk wilayah tertentu dari jarak sekolah. Data ini diperbaharui secara berkala, sehingga terus mampu menggambarkan keadaan berbasis lokasi.

Pelaksanaan kebijakan Satu Data Indonesia (SDI) dalam penerapan sistem zonasi PPDB, sebaiknya segera diterapkan. SDI yang masih terbatas pada beberapa lembaga, harus menjangkau Kementerian Pendidikan dan Kebudayan. Ini agar pengelolaan layanan pendidikan menjadi lebih baik.

Hal yang juga diperlukan adalah niat baik dari pemegang amanah rakyat, terutama di daerah. Pemegang amanah ini tahu persis masalah di wilayahnya. Sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang tepat, agar calon siswa memperoleh layanan pendidikan yang diinginkan. Layanan pendidikan yang diperoleh dengan tanpa mengakali data kependudukannya.

Ramai-ramai memindah alamatnya di KK agar dekat dengan sekolah yang diinginkan. Pemerintah harus membuktikan, ketika layanan pendidikan telah merata tidak ada lagi sekolah 'mercusuar' yang dianakemaskan. Sehingga, masyarakat makin dewasa dan memahami, standar layanan pendidikan antara satu sekolah dengan lainnya, sesungguhnya sama. Manfatkan peta BIG, hiruk pikuk PPDB berhenti.

Agung Christianto. Geograf pada BIG (Badan Informasi Geospasial).

(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads