Nikah Beda Agama dan Problem Unifikasi Hukum
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Nikah Beda Agama dan Problem Unifikasi Hukum

Kamis, 27 Jul 2023 13:42 WIB
Andi Saputra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
andi saputra
Andi Saputra (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

UU Perkawinan mensyaratkan pernikahan dilakukan sepasang calon yang seagama dan sekeyakinan. Sedangkan dalam UU Administrasi Kependudukan (Adminduk), negara bisa mencatat pernikahan yang dilakukan pasangan beda agama sepanjang diizinkan pengadilan. Terbaru, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) melarang hakim mengabulkan permohonan pernikahan beda agama. Problem hukum tidak terelakkan.

Sejatinya, UU Perkawinan yang diberlakukan sejak 1974 merupakan unifikasi hukum yaitu berupa proses penyatuan atau penyeragaman berbagai hukum menjadi satu kesatuan hukum secara sistematis yang berlaku bagi seluruh warga negara di suatu negara. Sebelum tahun tersebut, hukum perkawinan tersebar dalam berbagai ragam keyakinan, adat dan di internal agama masing-masing.

Namun unifikasi hukum bukan perkara mudah karena tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membuat peraturan yang tunggal untuk ratusan juta orang bukan hal gampang. Apalagi negara baru hadir pada 1945, sedangkan masyarakat telah ada ratusan tahun sebelumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernikahan beda agama akhirnya menjadi peristiwa yang lazim hidup di masyarakat dan mengakibatkan terjadi kekosongan hukum. Maka pada 20 Januari 1989 atau 15 tahun sejak UU Perkawinan disahkan, Ketua Mahkamah Agung (MA) Ali Said mengizinkan pernikahan beda agama antara perempuan muslim Andi Vonny dengan pria WN Belanda yang non muslim.

Polemik terus berlangsung dan unifikasi hukum perkawinan tidak kunjung berhasil. Puncaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengesahkan UU Adminduk pada 2006 atau setelah 32 tahun unifikasi hukum perkawinan dilakukan yaitu negara bisa mencatat pernikahan beda agama.

ADVERTISEMENT

Pada 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 semakin mengukuhkan eksistensi pencatatan pernikahan beda agama. MK menyatakan:

Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan yang dimaksud perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama. Karena negara dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran.

Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran, maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya.

Sebagai sebuah peristiwa kependudukan, kepentingan negara, in casu pemerintah, adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi, dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut [vide Konsiderans Menimbang huruf b UU 23/2006], termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan.

UU Adminduk di atas juga menjadi payung hukum di berbagai pengadilan untuk mengesahkan pernikahan beda agama sepanjang bisa dibuktikan sudah disahkan oleh lembaga agama. Putusan hakim yang seharusnya dihormati semua pihak malah dikritik oleh anggota parlemen, lembaga yang membuat UU Adminduk.

Dalam waktu singkat, MA membuat Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. MA dan hakim yang seharusnya independen, goyah setelah mendapat tekanan dari politikus di Senayan yang meminta pembatalan penetapan pernikahan beda agama di berbagai tempat.

Jalan Tengah

Indonesia sejatinya masih menganut pluralitas hukum seperti tercermin dalam hukum waris seperti mengakui Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, Hukum Waris Tionghoa, dan Hukum Waris Perdata. Baik hukum perkawinan dan hukum waris merupakan hukum yang sama-sama bersumber dari Tuhan/keyakinan masyarakat, dan bukan dari negara. Berbeda dengan hukum perkawinan, hukum waris tidak dilakukan unifikasi hukum hingga hari ini.

Perkembangan zaman juga memunculkan pluralisme hukum baru di bidang ekonomi yaitu pengakuan negara terhadap ekonomi syariah yang bersumber dari Alquran dan Hadits. Salah satu simbol pengakuannya yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini memberikan alternatif bagi muslim di Indonesia dalam menjalankan aktivitas ekonomi sesuai keyakinannya, seperti yang meyakini bunga bank/pinjaman adalah haram. Di sisi lain, KUH Perdata yang menjadi sumber hukum adanya bunga bank tetap berlaku.

Unifikasi hukum bukanlah jalan mudah, apalagi diberlakukan di negara yang sangat plural dan multikultur di Indonesia dengan penduduk 270 juta jiwa lebih. Alih-alih mendisiplinkan masyarakat, unifikasi hukum malah membuat masalah baru. Selain itu, parlemen seharusnya menjadikan politik sebagai sarana solusi atas masalah bangsa, dan tidak sepantasnya melempar kesalahan ke pengadilan. Apalagi menjadikan lembaga yudikatif layaknya tong sampah.

Lalu, mengapa UU Adminduk sebagai payung hukum bagi hakim mengizinkan pernikahan beda agama baru diributkan sekarang?

Andi Saputra advokat

Simak juga 'Permintaan Ma'ruf soal Aturan Anak dari Pernikahan Beda Agama':

[Gambas:Video 20detik]




(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads