Ketika ditanya banyak politisi pendukung pemerintah soal 2024, semuanya memiliki jawaban yang hampir seragam, yakni "Ikut Jokowi". Jika mengikuti nalar umum, jawaban tersebut tampak kurang masuk akal.
Kenapa jawaban politisi-politisi tersebut anomali? Sebab, usia kekuasaan Presiden Jokowi yang diakui konstitusi akan segera berakhir. Dalam situasi seperti ini, kekuatan politik harusnya sudah memiliki independensi yang semakin besar dalam menentukan masa depannya.
Suka tidak suka, Presiden Jokowi menghadirkan pola yang tidak umum tersebut dalam konstalasi politik nasional. Bahkan, magis Jokowi tidak berkurang meski umur kepresidenannya segera berakhir. Kutukan bebek lumpuh tidak menginfeksi tubuh kekuasaannya hingga saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sumber kekuasaan Jokowi sangat perlu dicermati. Hingga saat ini, mayoritas kekuatan penopang kekuasaan Jokowi tetap berada di dalam orbit. Jokowi berhasil menggunakan kekuasaan persuasif untuk menjaga itu semua.
Sosiolog Manuel Castells mengungkapkan kekuasaan persuasif sebagai instrumen paling berpengaruh. Dengan membangun kesadaran mental melalui persepsi, kekuasaan akan berdiri dengan sangat kokoh.
Di sisi lain, kekuasaan represif tidak terlalu relevan dengan alam demokrasi. Lagi pula, melakukan tindakan represif membutuhkan biaya yang tinggi. Kita sudah belajar dari jatuhnya rezim Orde Baru yang sudah tidak mampu membiayai otoritarianisme.
Selain itu, kekuasaan represif juga tidak akan bisa menggerakkan banyak orang dalam medium komunikasi yang semakin terbuka. Setiap orang mungkin beropini melalui berbagai medium, maka tidak masuk akal mengawasi gerak-gerik setiap warga negara.
Kekuatan Presiden Jokowi adalah persepsi dukungan rakyat yang besar. Berbagai hasil jajak pendapat menunjukkan angka kepuasan terhadap Presiden Jokowi secara konsisten berada pada kisaran 70%-80%. Capaian tersebut merupakan sebuah anomali, malah bisa dikatakan sebagai salah satu yang tertinggi di dunia.
Kenapa bisa mencapai angka yang fantastis tersebut? Presiden Jokowi merupakan representasi dari demand politik hari ini. Pendekatan kepemimpinan Presiden Jokowi dianggap sangat tepat. Komunikasi publik Presiden Jokowi sangat responsif terhadap berbagai perubahan tren. Kepastian hanyalah perubahan itu sendiri.
Kita perlu melihat ke masa lalu. Di masa awal industrialisasi, masyarakat mengonsumsi apa yang diciptakan oleh pabrik-pabrik. Namun, kenyataan hari ini sangat berbeda. Pabrik adalah pencipta dari apa-apa yang diinginkan oleh masyarakat.
Lima puluh tahun yang lalu, kita hanya mengenal baju pesta. Namun hari ini, pabrik membuat baju yang dapat dipakai untuk pesta malam, pesta pagi, pesta keluarga, dan pesta pantai. Semuanya berkembang untuk merespon alam kebudayaan manusia yang berkembang.
Kepemimpinan Presiden Jokowi kira-kira tidak jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh perubahan cara berproduksi tersebut. Tentunya, banyak sekali contoh dari kemahiran tersebut, mulai dari pembangunan infrastruktur, sampai pada kebijakan pembukaan lapangan kerja. Kemampuan merespons adalah prasyarat untuk bertahan. Kita lihat banyak raksasa di masa lalu harus bertekuk lutut hari ini. Sebab, gagal merespons keinginan publik.
Paling tidak, dua kandidat presiden hari ini bermetamorfosa dan berupaya untuk menjadi Jokowi. Bahkan, dua tokoh tersebut dengan terang-terangan menggunakan gambar Presiden Jokowi pada alat peraga kampanye.
Pertama, Prabowo Subianto yang merupakan bekas lawan tanding Presiden Jokowi di dua edisi Pilpres belakangan berubah 180 derajat. Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo tampak mengeksploitasi momen kebersamaan dengan Presiden. Bahkan di berbagai akun media sosial, momen kesopanan Prabowo kepada Presiden Jokowi berkali-kali dimunculkan.
Prabowo juga memasang banyak foto kebersamaannya dengan Presiden Jokowi di alat peraga kampanye ruangan. Upaya keras melabelkan dirinya sebagai "orang dalam" Presiden Jokowi begitu kasat mata.
Sejauh ini, strategi tersebut memberikan manfaat banyak bagi Prabowo, yang mana angka elektabilitasnya berangsur naik. Sebagai bakal kandidat, Menhan Prabowo tampak seperti menghisap kekuatan Presiden Jokowi.
Di sisi lain, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menempuh cara yang berbeda untuk menjadi Jokowi. Secara karakter, Ganjar memang memiliki pendekatan yang mirip dengan Jokowi. Dua tokoh ini memiliki pengalaman yang relatif serupa.
Jejak masa lalu Ganjar dan Jokowi tampak begitu mirip. Mereka menyelesaikan kuliah di kampus yang sama, lahir di provinsi yang sama, menapaki jenjang politik nasional dari kepemimpinan di daerah. Ditambah lagi, keduanya merupakan kader partai yang sama pula.
Jika Ganjar menggunakan foto Presiden Jokowi di berbagai alat kampanyenya, publik tentu sangat mudah mencernanya. Ikatan historis antara Ganjar dan Jokowi bukan ujuk-ujuk terjadi jelang pemilu semata.
Tentunya, kita menunggu siapa yang dianggap paling Jokowi. Lagi-lagi, kita harus mengacu kembali pada permintaan publik. Calon penerus Jokowi seperti apa yang ingin dipilih? Tokoh yang menonjolkan kedekatan atau tokoh yang memiliki kemampuan serupa yang masih mungkin berkembang melebihi Jokowi?
Jika angka elektabilitas Prabowo terus menanjak, artinya publik lebih menyukai keberlanjutan Jokowi dari sisi eksploitasi kedekatan. Di sisi yang lain, meningkatnya dukungan terhadap Ganjar memiliki makna keinginan untuk mencari tokoh dengan kemampuan yang serupa dengan Presiden Jokowi.
Roby Muhamad
Sosiolog
PhD dari Columbia University, Amerika Serikat