Dalam sebuah pemberitaan disebutkan bahwa pemerintah tengah mengkaji rencana kenaikan iuran Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Juli 2025. Hal ini lantaran adanya kemungkinan terjadi defisit sebesar Rp 11 triliun.
Seorang anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengatakan keuangan BPJS Kesehatan masih aman hingga 2024. Namun defisit kemungkinan baru akan terjadi pada Agustus-September 2025.
Sejak virus COVID-19 terkendali dan pemerintah telah menetapkan status endemi, jumlah kunjungan pasien JKN ke fasilitas kesehatan terus meningkat. Tentunya hal ini berdampak pada peningkatan pembiayaan JKN ke rumah sakit, baik pembiayaan rawat jalan maupun rawat inap.
Hal ini didukung juga dengan lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2023 yang menaikkan nilai kapitasi dan INA CBGs. Serta menambah paket skrining yang semuanya akan lebih meningkatkan pembiayaan JKN ke rumah sakit dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Pendapatan iuran pada tahun 2022 tidak signifikan naiknya dibandingkan pendapatan iuran 2021. Demikian juga pendapatan iuran tahun 2021 dibandingkan tahun 2020.
Pendapatan iuran tahun 2020 sebesar Rp 139,85 triliun, naik 2,48 persen di 2021 menjadi Rp 143,32 triliun. Tahun 2022 pendapatan iuran hanya naik 0,05 persen menjadi Rp 144,04 triliun.
Ketentuan tentang kenaikan iuran Program JKN diatur pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 jo. Pasal 38 ayat (1), Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang mengamanatkan besaran iuran ditinjau paling lama 2 (dua) tahun, dengan menggunakan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum dan sekurang-kurangnya memperhatikan inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan, dan kemampuan membayar iuran.
Kenaikan iuran JKN terakhir terjadi di 2020 dengan lahirnya Perpres no. 64 Tahun 2020. Namun hingga saat ini tidak ada lagi kenaikan iuran walaupun selama 2 tahun ini inflasi cukup tinggi dan sejak 2023 awal ada peningkatan nilai Kapitasi dan INA CBGs serta penambahan manfaat skrining. Tentunya kemampuan bayar iuran harus juga diperhatikan. Pemerintah merencanakan kenaikan iuran pada pertengahan Juli 2025.
Tentunya sensitivitas kenaikan iuran JKN ini mirip dengan kenaikan harga BBM yang berpotensi mendapat penolakan dari masyarakat. Oleh karena itu, kenaikan iuran JKN selalu bersifat politis apalagi menjelang pemilihan umum.
Kondisi tidak adanya kenaikan iuran tapi pembiayaan JKN semakin meningkat akan berdampak pada kemampuan pembiayaan JKN, karena pendapatan dikontribusi 97,28% dari pendapatan iuran. Hal ini yang harus diantisipasi pemerintah dan BPJS kesehatan agar pembiayaan JKN tidak kembali mengalami defisit di kemudian hari.
Walaupun aset bersih DJS JKN per akhir 2022 sebesar Rp 56,51 triliun, aset bersih tersebut berpotensi digunakan untuk menutupi peningkatan biaya kesehatan JKN di tahun 2023 hingga 2025. Namun kemampuan aset bersih untuk mengatasi peningkatan pembiayaan JKN tersebut juga sangat terbatas.
Dalam kondisi seperti ini, saya mendorong agar BPJS Kesehatan dan pemerintah mendukung peningkatan pendapatan iuran dengan memastikan seluruh rakyat Indonesia terdaftar dan membayar iuran JKN. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 harus dievaluasi pelaksanaannya oleh Presiden, sehingga 30 kementerian/lembaga dan seluruh pemerintah daerah benar-benar mendukung optimalisasi pelaksanaan JKN khususnya masalah kepesertaan JKN.
Bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menambah alokasi APBN dan APBD untuk membayar iuran JKN bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Dalam kondisi daya beli masyarakat turun, pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung malah menurunkan pembayaran iuran JKN bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Di tahun 2022 saja rata-rata jumlah orang miskin dan tidak mampu yang iuran JKN-nya dibiayai APBN sebanyak 86,6 juta orang. Turun dari tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 90 juta orang.
Semoga pemerintah pusat benar-benar merealisasikan janjinya di Perpres Nomor 36 tahun 2023 yang akan membiayai iuran JKN untuk 111 juta orang miskin dan tidak mampu di tahun 2023, dan 113 juta orang pada tahun 2024. Dengan demikian, pemerintah dapat mendukung peningkatan pendapatan iuran JKN guna mengatasi peningkatan pembiayaan JKN yang signifikan naiknya. Tidak ada lagi penonaktifan peserta PBI secara sepihak, sehingga masyarakat miskin dan tidak mampu benar-benar dijamin melalui Program JKN.
Untuk peserta mandiri yang menunggak iuran, seharusnya pemerintah memberikan diskresi seperti pemberian diskon dan cicilan iuran. Dengan begitu, peserta mandiri mampu membayar tunggakan iurannya yang akan menjadi pendapatan riil di JKN. Selama ini nilai tunggakan iuran peserta mandiri terus meningkat dan peserta mandiri cenderung tidak mampu membayarnya.
Selain itu peserta pada segmen pekerja penerima upah swasta, pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan penegakkan hukum bagi pengusaha yang belum mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan atau yang menunggak iuran. Masih banyak pekerja swasta yang belum terdaftar sebagai peserta JKN dan potensi besar ini akan signifikan meningkatkan pendapatan iuran JKN.
Tentunya kendali biaya pun harus dilakukan BPJS Kesehatan dan pemerintah, sehingga biaya yang dikeluarkan bisa tepat sasaran sesuai indikasi medis. Biaya operasi caesar yang besar harus dikendalikan, demikian juga fraud-fraud yang dilakukan oleh oknum rumah sakit harus benar-benar dapat diatasi secara sistemik. Sehingga pembiayaan JKN bisa terkendali tanpa menurunkan kualitas pelayanan kepada peserta JKN.
Semoga upaya peningkatan pendapatan iuran dan pengendalian pembiayaan JKN dilakukan dengan baik yang akan mendukung terciptanya surplus, sehingga menghindari Program JKN dari defisit pembiayaan di tahun ini dan tahun-tahun berikutnya.
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch
(akn/ega)