Kekerasan seksual, diakui atau tidak, masih menjadi persoalan serius yang menghantui kampus. Sampai saat ini, kasus kekerasan seksual kerap muncul ke tengah publik.
Kondisi ini sejatinya seperti fenomena gunung es. Apa yang tampak di permukaan hanya sedikit gambaran dari realitas besar yang sebenarnya terjadi dalam kenyataan.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan misalnya, kekerasan terhadap perempuan di lembaga pendidikan selama tahun 2015-2021 mayoritas (35%) terjadi di perguruan tinggi. Selebihnya terjadi di level pendidikan lainnya, seperti pesantren, SMA/SMK, dan seterusnya. Kekerasan terhadap perempuan ini faktanya didominasi oleh kasus kekerasan seksual (85%).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini tentu saja paradoks dengan visi misi kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi tempat persemaian ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi bagi generasi bangsa yang sehat, nyaman, dan aman dari berbagai tindak kekerasan atau pelecehan seksual.
Demi mengatasi persoalan ini, sebenarnya Kemendikbudristek telah melakukan langkah serius melalui Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Permendikbudristek ini mengatur tegas sanksi bagi pelaku pelecehan seksual, mulai dari sanksi administratif ringan, sedang, hingga sanksi administrasi berat.
Sanksi berat dalam Permendikbudristek tersebut diatur dalam Pasal 14 ayat (4), yakni berupa pemberhentian tetap bagi mahasiswa, dosen, tenaga pendidik, dan warga kampus berdasarkan rekomendasi satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS) yang dibentuk di tingkat perguruan tinggi.
Tindak kekerasan seksual sebagai tindak pidana hadir dalam beragam bentuk. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kekerasan seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain perbuatan tersebut, kekerasan seksual juga termasuk perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; hingga tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual.
Meski telah ada aturan jelas dan tegas mengancam pelaku tindak kekerasan seksual di kampus, sampai saat ini kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi tidak otomatis menjadi turun. Kondisi ini tentu perlu pemikiran, langkah, dan kebijakan penanggulangan kekerasan seksual di kampus yang lebih komprehensif dari pengelola perguruan tinggi. Langkah penanggulangan harus dilakukan, baik melalui pendekatan struktural maupun kultural.
Relasi Kuasa dan Kekerasan Seksual
Masih banyaknya kasus kekerasan seksual di kampus hingga saat ini salah satunya dapat dianalisis melalui pendekatan sosial budaya. Rata-rata kasus kekerasan seksual di kampus umumnya terjadi karena memanfaatkan relasi kuasa antara pihak pelaku yang merasa memiliki kekuasaan superior dengan korban yang diposisikan sebagai pihak yang inferior.
Dosen yang dianggap memiliki kekuasaan dalam pemberian nilai perkuliahan atau bimbingan skripsi dengan mahasiswa yang menjadi peserta mata kuliah atau bimbingannya. Bisa juga antara dosen yang memiliki jabatan struktural dengan korban yang diposisikan bergantung atas kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku.
Dalam kasus relasi kuasa dosen dan mahasiswa, yang dibungkus dalam budaya patriarki dan feodalisme situasi ini dapat dikatakan rentan dimanfaatkan pelaku tindak kekerasan seksual. Modus pembimbingan skripsi dan penelitian mahasiswa dapat dijadikan alasan untuk menciptakan situasi yang rawan terhadap tindak kekerasan seksual.
Mengajak korban untuk melakukan bimbingan ke luar kampus, ke luar kota, atau di tempat-tempat privat di luar kampus dapat menjadi modus pelaku. Bahkan relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa yang dimanfaatkan untuk melakukan pelecehan seksual, baik verbal maupun nonverbal, bisa juga terjadi di ruang-ruang tertutup di dalam kampus.
Selain potensi kekerasan yang melibatkan dosen-mahasiswi serta pejabat kampus dan non pejabat, kekerasan seksual di perguruan tinggi juga berpotensi dilakukan dalam kerangka relasi kuasa antara senior-junior di kalangan mahasiswa. Baik dalam organisasi intra maupun ekstra kampus.
Oleh sebab itu, perlu upaya serius dari kampus untuk membatasi pemanfaatan relasi kuasa yang dapat menimbulkan potensi kekerasan seksual di kampus ini melalui aturan dan kebijakan soal relasi antar civitas akademika yang lebih setara. Termasuk juga aturan yang soal tempat bimbingan atau proses pembelajaran akademik yang lebih aman dan transparan.
Misalnya, pemberlakuan kebijakan untuk pelayanan kemahasiswaan harus dilakukan di kampus dan tidak diperbolehkan di luar kampus. Termasuk waktu layanan kemahasiswaan yang ditentukan dengan tegas.
Hal demikian sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek 30 Tahun 2021, pada pasal 7 soal upaya pencegahan kekerasan seksual yang berpotensi dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Di sini diatur pembatasan pertemuan dengan mahasiswa secara individu di luar area kampus, di luar jam operasional kampus; dan/atau untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran, tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan, atau atasan yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan potensi tindakan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Kekerasan Seksual di Era Internet
Selain itu peraturan perundang-undangan telah mengatur larangan yang dapat menjangkau pelaku kekerasan seksual. Di era internet saat ini juga rawan melahirkan modus terbaru yang dipakai pelaku kekerasan seksual berupa revenge pornography atau yang lebih dikenal dengan revenge porn.
Pelaku biasanya merekam aktivitas seksual ilegal dan menjadikan hasil rekaman tersebut sebagai alat paksa terhadap korban untuk memenuhi keinginan yang pada umumnya merupakan hasrat seksual ataupun pemerasan dalam bentuk materi.
Ancaman penyebaran rekaman pornografi tersebut kerap membuat korban tidak berdaya dan menuruti kemauan pelaku. Dalam hal ini korban kekerasan seksual utamanya di perguruan tinggi perlu mengetahui bahwa pelaku penyebaran materi pornografi telah diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal tersebut mengatur bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman pidana penjara bagi pelaku revenge porn adalah enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Pada akhirnya, upaya untuk menanggulangi kekerasan di kampus memang harus dilakukan dengan beragam pendekatan secara masif dan berkesinambungan. Sosialisasi dan edukasi harus terus disuarakan agar pelaku potensial kekerasan seksual tersadarkan atau paling tidak membatasi dan tidak memiliki ruang gerak hingga mengurungkan tindakan tercelanya. Termasuk tindakan keras terhadap pelaku agar dapat menjadi pembelajaran sekaligus dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan warga kampus yang lain.
Ahmad Sihabudin, Guru Besar Komunikasi Antarbudaya, Dekan FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
(akn/ega)