Problematika Anggaran Birokrasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Problematika Anggaran Birokrasi

Jumat, 21 Jul 2023 15:30 WIB
Abd Gafur
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi fokus (bukan buat insert) Kontroversi Anggaran DKI (Ilustrator: Luthfy Syahban/detikcom)
Ilustrasi: Luthfy Syahban/detikcom
Jakarta -
Persoalan anggaran birokrasi semisal honorarium, rapat, dan perjalanan dinas selalu saja menjadi isu yang memantik kegeraman Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Terakhir Jokowi kembali mengkritisi anggaran penurunan stunting di suatu daerah yang dianggap tidak tepat sasaran. Bagaimana tidak, dari anggaran Rp 10 miliar yang teralokasi, separuh lebih hanya untuk keperluan rapat, perjalanan dinas dan honorarium. Sementara anggaran pembelian telur, susu, dan lain-lain yang berdampak langsung ke masyarakat justru tersisa sedikit saja.

Dalam dunia birokrasi, sudah jamak diketahui bahwa anggaran rapat, perjalanan dinas, dan honorarium merupakan biaya-biaya yang timbul dalam pelaksanaan sebuah kegiatan. Misalnya saja penyelenggaraan kegiatan di hotel, maka di situ akan ada biaya akomodasi penyelenggaraan rapat dan konsumsi, merambat ke biaya perjalanan dinas karena penyelenggaraan di luar kantor, dan biaya honorarium untuk panitia dan narasumber.

Semakin banyak kegiatan, artinya semakin banyak pula anggaran yang dikeluarkan. Sayangnya hal ini seringkali membentuk paradigma sebagian besar budaya birokrat di mana setiap pekerjaan tambahan atau aktivitas dil uar kantor harus selalu dimaknai dengan sebagai insentif tambahan. Semakin banyak kegiatan, maka semakin besar pula peluang insentif tambahan bagi para PNS. Maka tidak heran, jika dijumpai begitu banyak penyelenggaraan kegiatan-kegiatan birokrat diselenggarakan di luar kantor atau bahkan di luar daerah.

Akhirnya anggaran yang dikeluarkan tak menyentuh langsung pada pokok permasalahan. Target outcome pun sulit dicapai. Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada kenyataan bahwa kebutuhan pembangunan prioritas lainnya juga membutuhkan dana yang besar, sementara anggaran sangat terbatas. Tentu kita tidak ingin pemerintah kembali membuka keran utang selebar-lebarnya demi membiayai kebutuhan pembangunan. Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimana solusinya?

Membangun Budaya Efisiensi

Kampanye tentang efektifitas dan efisiensi anggaran sudah gencar dilakukan beberapa tahun terakhir. Masih hangat dalam ingatan kita saat pemerintah harus berjibaku mengencangkan ikat pinggang, menghemat anggaran demi penyelamatan ekonomi akibat hantaman pandemi Covid-19 beberapa tahun yang lalu.
Pada APBN 2020 misalnya, pemerintah harus memangkas anggaran belanja barang Rp 33,7 triliun di mana terdapat Rp 26,8 triliun belanja perjalanan dinas dan Rp 6,9 triliun belanja honorarium. Nyatanya, dengan pemangkasan itu aktivitas birokrasi tetap dapat berjalan seperti biasa. Dengan dukungan teknologi informasi, berbagai macam kendala yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.
Masa pandemi seharusnya menjadi momentum balik untuk membentuk budaya pengelolaan anggaran yang lebih efisien. Sayangnya pascapandemi, budaya itu pelan-pelan kembali memudar, kembali ke model birokrasi prapandemi. Hotel-hotel kembali dipenuhi kegiatan-kegiatan birokrat.

Tidak kita pungkiri pentingnya rapat dalam rangka koordinasi serta dampak ekonomi penyelenggaraan kegiatan di hotel. Namun di tengah kondisi keuangan negara saat ini, rasanya perlu langkah-langkah efisiensi khususnya kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di luar kantor. Langkah-langkah efisiensi tersebut bukan berarti harus berkompromi terhadap kualitas output dan outcome yang harus dicapai, tetapi bagaimana mencapai sebuah tujuan dengan penggunaan sumber daya terbaik.

Banyak upaya efisiensi yang dapat dilakukan, antara lain; pertama, memilah-milah secara tepat kegiatan dan belanja yang dapat dilakukan efisiensi dengan mencoret kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap pencapaian target. Kedua, membatasi frekuensi dan jumlah peserta perjalanan dinas dan kegiatan-kegiatan di luar kantor. Ketiga, mengefektifkan kembali penggunaan teknologi informasi untuk keperluan rapat dan koordinasi seperti saat pandemi. Keempat, memperkuat sistem pengawasan yang lebih efektif dari unit kepatuhan internal.

Selanjutnya anggaran dari hasil efisiensi dapat direalokasi ke belanja yang lebih produktif. Misalnya saja belanja perbaikan infrastruktur gedung pertemuan kantor. Anggaran hasil efisiensi tersebut rasanya sangat cukup untuk merevitalisasi ruang pertemuan yang jauh lebih representatif dan memadai layaknya fasilitas di hotel. Ruang pertemuan tersebut nantinya dapat difungsikan apabila diperlukan kegiatan-kegiatan secara luring.

Apabila ruang pertemuan kantor dianggap masih kurang memadai, maka opsi yang dapat dilakukan berikutnya adalah memanfaatkan sarana dan prasarana pada instansi pemerintah lain yang memiliki fasilitas yang lebih bagus dan memadai. Dengan memaksimalkan penggunaan aset sendiri, maka manfaat yang dapat diperoleh, antara lain; pertama, penghematan anggaran paket meeting, perjalanan dinas, dan honorarium yang signifikan. Kedua, pemanfaatan BMN untuk menghasilkan PNBP semisal sewa gedung kepada pihak ketiga. Ketiga, perluasan akses pemberdayaan UMKM yang berasal dari pengadaan konsumsi dan kebutuhan alat tulis rapat.

Dimulai dengan Kesadaran
Menumbuhkan budaya birokrasi yang efisien dimulai dengan kesadaran terhadap pentingnya nilai etika dan kepantasan dalam menggunakan anggaran. Semuanya akan bermuara kepada pola pikir dan kebiasaan tanpa harus melihat besar atau kecilnya anggaran. Belanja yang kita anggap kecil, jika terkonsolidasi secara nasional, akan memberi dampak signifikan terhadap keuangan negara.

Sebagai ilustrasi, jika 5 persen saja dari Rp 375 triliun pagu Belanja Barang APBN 2023 yang bisa dihemat, maka akan ada space anggaran Rp 18,75 triliun yang dapat digunakan untuk kepentingan rakyat yang lebih prioritas. Kelihatan sepele, namun ternyata memberi arti yang luar biasa bagi rakyat Indonesia.

Namun ini hanya sekadar angan jika tetap tidak terbangun kesadaran untuk memulai dan menjadikan hal ini sebagai budaya kerja baru dalam dunia birokrasi. Terakhir, mari camkan kembali pesan Menteri Keuangan bahwa di setiap satu rupiah yang kita belanjakan secara tidak efisien, sesungguhnya akan menghilangkan kesempatan untuk membangun republik ini.
Abd Gafur, S.E, M.A.P ASN Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads