Buat para aktivis lingkungan, perubahan iklim, deforestasi dan sampah plastik menjadi tiga masalah utama yang saat ini menjadi fokus advokasi mereka. Perubahan iklim sebagai pembakaran yang dilakukan manusia khususnya pasca revolusi industri, dan deforestasi akibat perkembangan kota-kota baru dan pembukaan lahan pertanian dan peternakan bisa dibilang mengalami laju yang sangat cepat dalam dua ratus terakhir ini.
Plastik adalah material baru dalam peradaban manusia, bahan organik mirip karet terbuat dari selulosa yang ditemukan oleh Alexander Parkes di tahun 1855. Penemuan ini dikembangkan oleh kimiawan Belgia Leo Baekeland yang memelopori plastik sintetis yang menggabungkan fomaldehida dan fenol pada tahun 1907. Temuan ini dikenal dengan nama Bakelite.
Pada tahun 1965, ilmuwan Swedia Sten Gustaf Thulin mematenkan kantong plastik dari polietilena (polyethylene). Menurutnya, kantong plastik akan menggantikan kantong kertas dan akan menyelamatkan pohon dari penebangan karena sifatnya yang lentur dan kuat sehingga dapat dipakai berulang-ulang. Pada akhir 70-an, kantong plastik menyumbang 80 persen kantong belanja di Eropa dan hingga kini hampir di semua tempat perbelanjaan di dunia menggunakan kantong plastik ketimbang kantong kertas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Plastik adalah jenis polimer yang terdiri dari rantai polimer yang sebagian organik atau sepenuhnya sintetis, dan saat ini produksi plastik merupakan turunan dari industri migas karena dihasilkan dari kilang minyak atau industri petrokimia. Produk-produk plastik seperti, polyethylene (PE), polystyrene (PS), polpropylene, polyster atau polyvinyl chloride (PVC) yang beredar di pasaran dapat dipastikan merupakan hasil dari kilang minyak.
Pada industri petrokimia, etana dan propana yang dihasilkan melalui proses pemurnian dipecah dengan tungku panas dan kemudian digabungkan dengan katalis yang kemudian menjadi polimer plastik. Berbeda dengan polimer yang berasal dari alam dan sangat terbatas, polimer dari kilang minyak ini sangat besar dan jauh lebih murah jika dibandingkan dengan polimer yang berasal dari zat tepung, selulosa atau karet.
Diperkirakan produksi plastik di dunia saat ini berjumlah 400 juta ton, sebuah jumlah yang sangat besar. Suka tidak suka, saat ini juga dapat disebut sebagai peradaban plastik, di mana plastik hampir terdapat dalam setiap pojok tempat kita berada. Rumah, kantor, kendaraan, rumah sakit, pabrik-pabrik semua memiliki elemen plastik, demikian juga mobil listrik yang digadang-gadang menjadi solusi perubahan iklim, juga terdapat plastik di dalamnya.
Adapun sampah plastik merupakan masalah baru bagi peradaban modern bagi manusia, khususnya dengan semakin maraknya penggunaan plastik sebagai pengganti minuman berkaleng alumunium di tahun 70-an. Minuman kaleng yang terbuat dari alumunium atau gelas kaca perlahan-lahan digantikan oleh plastik. Plastik sebagai substitusi aluminium dan gelas kaca membuat biaya energi menjadi lebih murah, biaya logistik juga menjadi lebih murah dan mudah sehingga menjadikan botol plastik sebagai material yang sangat banyak diproduksi di muka bumi.
Penggunaan botol plastik yang praktis dan mudah untuk mengemas minuman membuatnya disukai oleh industri minuman. Dampaknya adalah sampah botol plastik terserak di mana-mana dan penggunaannya tidak terkontrol. Sampah plastik kemudian menjadi momok bagi banyak orang, khususnya pegiat lingkungan.
Bagi pegiat lingkungan botol plastik adalah musuh yang harus dibasmi. Karena tertera merek (brand) di botol minuman, memusuhi sampah plastik botol minuman adalah juga merupakan jalan suci melawan kapitalisme. Bagi para akivis, merek minuman yang tertera dalam dalam kemasan adalah simbol dari kesombongan kapitalisme yang harus dilawan.
Argumen bahwa sampah plastik dapat didaur ulang, sampah plastik dapat dipergunakan untuk penguatan jalan, atau untuk campuran bangunan menjadi tidak relevan. Sebab bagi aktivis lingkungan, melawan industri air minum dalam kemasan adalah jalan suci melawan kapitalisme dengan segala eksesnya. Sayangnya, kapitalisme juga terus berkembang, demikian juga dengan sampah industri yang lain.
Peradaban modern juga mulai menjumpai jenis sampah baru yang dihasilkan oleh 'The New Kids on the Block', yakni sampah baterai listrik (baterai litium), sampah panel surya dan sampah dari bilah baling-baling PLTB. Berbeda dengan plastik, hingga saat ini belum ada teknologi (best availabe technology) yang memadai untuk mengurus jenis sampah baru ini. Selain secara ekonomis tidak menarik juga untuk melakukan daur ulang seperti yang digaungkan oleh ekonomi sirkular (circular economy) jenis sampah baru ini sangatlah sulit untuk diproses ulang.
Diperkirakan dalam tahun 2050, akan terdapat 80 juta ton sampah solar panel dan 40 juta sampah dari Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di dunia. Silika dalam panel surya pada dasarnya dapat didaur ulang. Namun dalam panel surya, guna meningkatkan efisiensi listrik sel surya ditambah dengan logam lain seperti kadmium dan timbal.
Hal inilah yang membuat sel surya akhirnya sangat sulit untuk didaur ulang karena untuk mendaur ulang memerlukan energi yang besar untuk mengekstraksi logam berbahaya tersebut. Secara ekonomis juga daur ulang panel surya dianggap tidak menguntungkan ketimbang memproduksi yang baru.
Logam berbahaya kadmium dan timbal tersebut jika didiamkan lama kelamaan akan mengganggu air tanah dan mempengaruhi tanaman dan lingkungan. Logam-logam ini juga memiliki efek yang merugikan bagi makhluk hidup dimana kadmium adalah zat karsinogen yang dapat mempengaruhi perkembangan otak pada anak-anak.
Adapun sampah bekas PLTB juga akan marak di masa mendatang. PLTB didesain umurnya sekitar 10-20 tahun dan karenanya bongkahan tiang ataupun bilah baling-baling (blade) akan menumpuk jika tidak ditangani. Banyak negara yang belum memiliki gagasan untuk menangani sampah bekas PLTB ini, selain memotongnya menjadi lebih kecil, bilah terpanjang dari PLTB adalah milik perusahaan China, Lianyungang Zhongfu Lianzhong Composites Group Co., Ltd. yakni 123 meter.
Bilah baling-baling dibuat untuk menahan kondisi yang paling keras dan paling berangin, namun kekokohannya membawa persoalan tersendiri. Jika mesin turbin dapat didaur ulang, namun tidak demikian halnya dengan bilah baling-baling yang terbuat dari fiberglass yang dicampur dengan resin epoksi (epoxy resins) sehingga sulit untuk diurai. Meski sudah banyak yang memanfaatkan bilah dari PLTB ini, namun pasar untuk sampah bilah PLTB belum terbentuk maka bilah PLTB ini banyak yang dibakar, atau mengakhiri hidupnya di tempat pembuangan akhir (TPA).
Baterai mobil listrik (lithium) berkisar sekitar 450 kg atau tiga puluh persen dari berat kendaraan. Secara normal baterai akan berkurang jika dipakai terus menerus dan memerlukan penggantian. Diperkirakan baterai normal berumur sekitar 7-10 tahun untuk diganti dengan yang baru. Ini artinya jika tahun ini ada 10 juta mobil listrik terjual maka sepuluh tahun kemudian akan terdapat 4.500.000 ribu ton baterai listrik yang akan diganti.
Karena sifatnya yang beracun banyak negara sangat berhati-hati untuk mengijinkan upaya daur ulang baterai listrik, dan hal penting yang patut diingat adalah baterai yang tersedia saat ini didesain tidak untuk didaur ulang seperti yang dikatakan oleh Dan Thompson dari Universitas Leicester, Inggris.
Oleh karena itu, untuk mengurai jenis sampah plastik atau sampah baru buatan peradaban modern, memerlukan apa yang disebut oleh Karl Popper sebagai piecemeal social engineering (rekayasa sosial sedikit demi sedikit). Konsep ini mencakup kegiatan sosial, pribadi maupun publik yang untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu secara sadar memanfaatkan semua pengetahuan teknologi yang tersedia.
Rekayasa sosial sedikit demi sedikit dilakukan menyerupai rekayasa fisik dalam kaitannya dengan tujuan akhir, yakni penyelesaian masalah-masalah sosial dengan menggunakan inovasi baru. Bukan pekerjaan mudah tapi bukan tidak mungkin. Festina lente
Yusra Abdi, Chair, Nusantara Circular Economy Sustainability Initiatives (N-CESI)
(ncm/ega)