Pemilihan umum ditujukan untuk menjamin tercapainya cita-cita nasional sekaligus perwujudan kedaulatan rakyat. Pelaksanaannya wajib dilakukan secara luber dan jurdil dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, berkepastian hukum serta efektif dan efisien.
Cawe-cawe presiden diawali dengan membentuk penyelenggara pemilu. Dimulai dengan membentuk tim seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Tim seleksi bekerja dengan melaksanakan serangkaian tes untuk menghasilkan 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu untuk diajukan ke DPR. DPR kemudian melakukan uji kelayakan dan kepatutan kemudian menetapkan 7 anggota KPU dan 5 Anggota Bawaslu. Hasil pemilihan tersebut disampaikan kembali ke presiden untuk ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Selain KPU dan Bawaslu, Presiden juga menetapkan anggota DKPP. Penetapan didasarkan pada usulan presiden sendiri sebanyak dua orang dan usulan DPR sebanyak tiga orang yang berasal dari tokoh masyarakat.
Dalam menjalankan tugasnya, KPU dan Bawaslu melaporkan kepada Presiden dan DPR mengenai pelaksanaan tugas penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu dan tugas lainnya. Laporan ini disampaikan secara periodik dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan roda organisasi, tugas, fungsi, wewenang dan tata kerja sekretariat jenderal KPU dan Bawaslu hingga tingkat Kabupaten/Kota juga diatur dengan Peraturan Presiden.
Apabila ada anggota KPU dan Bawaslu yang meninggal dunia, berhalangan tetap atau diberhentikan dengan tidak hormat maka presiden jugalah yang memberhentikannya. Meskipun peranan presiden signifikan dalam proses pembentukan penyelenggara Pemilu, mestinya KPU dan Bawaslu tetap memiliki kemandirian dalam menjalankan tugasnya.
Jaminan akan menjalankan tahapan pemilu tidak berdasarkan intervensi dari siapapun diatur secara maksimal dalam undang-undang pemilihan umum. Demikian juga hukuman bagi penyelenggara pemilu yang bertindak tidak mandiri dari peringatan hingga pemberhentian.
Aspek cawe-cawe yang sifatnya administratif adalah pemberian izin kepada gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota ketika dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden. Presiden memberikan izin atas permintaan pejabat negara tersebut paling lama 15 hari setelah menerima surat permintaan izin.
Jika presiden ingin menggagalkan pencalonan dengan tidak memberikan izin tersebut, maka tujuan tersebut tidak dapat terpenuhi. Apabila presiden tidak memberikan izin hingga batas waktu, surat permintaan izin dianggap sudah diberikan. Surat izin tersebut disampaikan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden.
Cawe-cawe yang patut diperhatikan dan berpotensi terjadi penyalahgunaan adalah pada saat presiden mengambil haknya untuk melaksanakan kampanye. Keikutsertaan presiden dalam kampanye harus disertai dengan pemenuhan ketentuan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara dan harus menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Larangan penggunaan fasilitas negara saat kampanye adalah sarana mobilitas seperti kendaraan dinas, gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah, sarana perkantoran, dan fasilitas lainnya yang dibiayai oleh anggaran negara. Cuti dan jadwal cuti dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sebagai pemimpin paling tinggi, presiden perlu memberikan contoh kepada pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya untuk tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye.
Larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.
Cawe-cawe presiden terhadap kondisi yang sangat tidak kita harapkan yaitu penetapan pemilu susulan dan lanjutan. Jika sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan pemilu lanjutan.
Dan, jika sebagian atau seluruh wilayah negara kesatuan republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu susulan.
Apabila pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% jumlah provinsi dan 50% dari jumlah Pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan pemilu lanjutan atau pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.
Sementara cawe-cawe presiden yang wajib dilaksanakan adalah memberikan dukungan, bantuan, dan fasilitas sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam kelancaran pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban penyelenggara pemilu.
Bantuan dan fasilitas berupa penugasan personel pada sekretariat, pelaksanaan sosialisasi terhadap peraturan perundang-undangan pemilu, pelaksanaan pendidikan politik bagi pemilih untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu, kelancaran transportasi pengiriman logistik, pemantauan kelancaran penyelenggaraan pemilu dan kegiatan lain yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan pemilu.
Dengan tetap berada di semua golongan, presiden memastikan kebutuhan pembiayaan pemilu cukup mencukupi. Memberikan pesan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk meningkatkan kualitas demokrasi dari sisi yang tidak dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu.
Pada akhirnya, cawe-cawe presiden dalam pemilu ada yang wajib ada yang dilarang. Pelaksanaan kewajiban dan menghindari larangan menjadi kunci atas kesuksesan menjalankan pemilu mendatang.
Masykurudin Hafidz inisiator Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)
(mmu/mmu)