Pagi itu ada salah seorang warga yang sedang lari pagi di belakang rumahnya pada Minggu pagi. Kebiasaan ini rutin dilakukan setiap akhir pekan. Tetapi pagi itu tidak seperti biasanya, dia harus mengakhiri jogging-nya lebih cepat dikarenakan suatu hal yang menghentikan langkahnya untuk lanjut.
Di ujung jalan dia melihat seekor anjing yang berada di depan pagar rumah, tanpa pengawalan dan bebas, sedang berdiri tegap memperhatikan sekeliling. Tampak seperti akan menerkam siapa saja yang melintas di depannya. Sejurus kemudian warga tersebut memutuskan menyudahi lari paginya dan berlari secepat mungkin agar tidak diketahui.
Pengalaman inilah yang kurang lebih sama tergambar dengan situasi yang ada di Kabupaten Sikka dan Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dua daerah yang baru saja ditetapkan sebagai daerah Kasus Luar Biasa (KLB) Rabies.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis, penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, yang sulit sekali dieliminasi di Indonesia. Bahkan penyakit yang diakibatkan oleh gigitan anjing yang terinfeksi virus rabies, tingkat insidensi penyakit terus meningkat setiap tahunnya.
Merujuk data Kementerian Kesehatan per 2 Juni 2023, sebanyak 82.634 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) dengan jumlah kematian sebanyak 40 kasus pada 2020. Kemudian sempat menurun menjadi 57 ribuan kasus dengan 62 korban jiwa pada 2021. Tetapi kemudian jumlah ini melonjak dua kali lipat hingga mencapai puncaknya dalam tiga tahun terakhir menjadi 104 ribu kasus dengan jumlah kematian ada 102 kasus GHPR di tahun lalu.
Betul memang situasi penanganan rabies merupakan imbas dari pandemi yang terjadi sebelumnya. Di mana semua program penanganan rabies dan penyakit lainnya mau tidak mau dipaksa untuk berhenti. Sementara di satu sisi yang lain, Kementerian Pertanian telah mencanangkan Indonesia Bebas Rabies 2030.
Hal inilah menunjukkan lemahnya komitmen program eliminasi rabies di Indonesia. Program yang saat ini dilakukan sifatnya masih reaktif dan tidak sistematis. Artinya menunggu ada kasus terlebih dahulu, baru dilakukan tindakan. Di sini perlunya merancang program eliminasi rabies yang sifatnya berkelanjutan untuk mencapai target bebas rabies di Indonesia pada 2030.
Terhambatnya Program
Ada berbagai faktor yang menyebabkan masih tingginya jumlah kasus GHPR di Indonesia. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor penyebab utama terhambatnya program penanganan rabies. Selama pandemi, seluruh fokus alokasi perhatian, tenaga, maupun dana dialihkan untuk percepatan penanganan Covid-19. Sehingga mau tidak mau layanan dan program juga terhenti.
Salah satu imbasnya adalah rendahnya cakupan vaksinasi rabies untuk hewan penular rabies. Mengutip pernyataan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi di www.rri.go.id, cakupan vaksinasi rabies di NTT turun menjadi 10 persen pada 2021 dari setahun sebelumnya mencapai 27 persen.
Dampak langsung yang dirasakan adalah terjadi lonjakan jumlah korban jiwa meninggal akibat terkena gigitan anjing rabies. Tidak lain disebabkan pascapandemi dilakukan pembebasan beraktivitas di luar rumah termasuk hewan yang menjadi reservoir penular rabies.
Faktor yang kedua adalah belum ada regulasi yang mengatur larangan hewan bebas berkeliaran tanpa ada pengawasan dari pemilik hewan. Persis yang saya alami belum lama ini. Kondisi ini juga diperburuk dengan rendahnya kesadaran dari pemilik hewan terkait perlunya pengawasan HPR, khususnya anjing yang memiliki risiko tinggi sebagai kontributor utama penyakit rabies.
Terakhir merupakan penyebab gagalnya ketercapaian target eliminasi rabies di Indonesia yakni kurangnya pengetahuan masyarakat apa yang harus dilakukan pascagigitan HPR. Betul memang tindakan ini bukan termasuk dalam tindakan pencegahan. Tetapi pengetahuan penanganan seusai gigitan dapat membantu menurunkan tingkat jumlah kematian. Karena memang rabies ini termasuk ke dalam 100% fatality rate, sehingga apabila tidak tertangani dengan baik maka secara otomatis menimbulkan kematian.
Sudah Usang
Program saat ini menitikberatkan pada penanganan yang tersentralisasi. Rabies merupakan penyakit pada hewan, sudah pasti yang berwenang adalah dokter hewan dan di bawah Kementerian Pertanian. Model metode program yang seperti ini sudah tidak bisa dilakukan lagi. Sudah usang dan tidak relevan lagi untuk mengatasi tantangan global kesehatan, termasuk eliminasi rabies. Diperlukan pendekatan yang menekankan prinsip kolaborasi lintas sektor dan multidisiplin.
Pendekatan model seperti ini dikenal dengan pendekatan One Health. Sebuah pendekatan yang menekankan kolaborasi dalam rangka mengatasi tantangan kesehatan dalam tingkat lokal, nasional, dan global.
Solusi yang pertama untuk mencapai target eliminasi rabies adalah mengurangi risiko kontak erat antara hewan dengan manusia. Caranya adalah dengan membuat larangan anjing berkeliaran di jalan tanpa ada pengawasan. Sehingga tidak bebas untuk berkeliaran. Tentu larangan ini tidak hanya sebagai imbauan tetapi dapat dituangkan menjadi sebuah regulasi yang mengatur kepemilikan HPR.
Untuk anjing dan kucing liar yang tidak memiliki pemilik maka hewan tersebut ditampung ke komunitas-komunitas selter perlindungan hewan khususnya anjing dan kucing. Jakarta Animal Aid Network, Pejaten Shelter, dan Yayasan Wujud Cinta Satwa adalah beberapa selter perlindungan hewan. Dengan menggandeng komunitas tersebut diharapkan dapat mengurangi anjing dan kucing liar dan tentu saja dan lebih terkontrol.
Langkah kedua yang mau tidak mau harus segera dilakukan adalah meningkatkan percepatan cakupan vaksinasi HPR. Program vaksinasi rabies ini merupakan hal yang wajib dilakukan oleh seluruh anjing maupun kucing. Vaksin ini diberikan untuk memberikan perlindungan bagi anjing dan kucing untuk tidak terinfeksi virus rabies.
Hanya memang tidak mudah untuk melaksanakan vaksinasi ini. Sifatnya harus jemput bola dan tidak bisa menunggu. Di sinilah perlu kerja sama dengan komunitas, ketua adat hingga tokoh masyarakat. Hal ini untuk mengajak pemilik hewan dengan sukarela bersedia hewannya divaksin. Selain itu, jangan dilupakan monitoring dan evaluasi program vaksinasi rabies secara berkala. Tujuannya agar tetap program tersebut dapat terkontrol.
Terakhir yakni sosialisasi ke masyarakat mengenai penanganan pascagigitan. Betul ini bukan merupakan tindakan preventif. Tetapi lebih kepada tindakan korektif untuk mengurangi risiko kematian. Memang rabies termasuk fatality rate mencapai 100% tetapi jika penanganan pascagigitan dilakukan dengan tepat, maka risiko kematian dapat berkurang.
Lagi-lagi sosialisasi semacam ini tidak bisa dilakukan 1-2 kali selesai. Tidak, bukan seperti itu. Tetapi sosialisasi secara berkala minimal satu tahun sekali terutama di daerah-daerah endemi rabies. Selain itu pembentukan pilot project eliminasi rabies dapat juga dilakukan. Terutama wilayah dengan kasus tertinggi dengan menyusun program eliminasi bersama dengan daerah yang sudah bebas rabies. Total baru ada delapan provinsi yang bebas rabies di antaranya Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Pandemi Covid-19 menyebabkan perlambatan program eliminasi rabies. Penetapan KLB rabies sebaiknya dapat dijadikan momentum untuk menata ulang program eliminasi rabies sehingga target bebas rabies 2030 benar-benar tercapai dan tidak hanya jadi slogan dan jargon semata.
Moh Vicky Indra Pradicta dokter hewan, bekerja di Food Industry sebagai Food Safety and Quality Leader dan penggiat One Health
Simak Video 'Vaksin Anjing di Klungkung Bali Ditargetkan Tuntas Agustus 2023':