Hari-hari ini kita menghadapi banyak masalah sosial-ekologis kompleks yang sangat menentukan martabat kemanusiaan dan kelestarian alam. Polarisasi sosial dan kerusakan lingkungan adalah beberapa di antaranya. Belajar dari pembelahan masyarakat Indonesia pada Pemilu 2014 dan 2019, mitigasi polarisasi akibat kontestasi politik 2024 diperlukan walaupun temuan survei Edelman Trust Barometer 2023 mengungkap bahwa polarisasi di Indonesia dipersepsikan rendah.
Terkait perubahan iklim, laporan Copernicus Climate Change Service (C3S) mengungkap bahwa suhu bumi sudah melebihi tingkat pra-industri (1,5 derajat Celcius) pada awal Juni yang merupakan batas kritis pemanasan global sesuai Perjanjian Paris 2015. Beberapa penyebabnya adalah tingginya deforestasi dan emisi karbon. Penurunan keragaman hayati, penyempitan ruang hidup, dan pencemaran lingkungan juga menjadi isu-isu ekologi tidak kalah genting untuk dihadapi.
Salah satu penyebabnya adalah adanya pemimpin yang menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dan akumulasi kekayaan di tangan beberapa orang, bukan untuk kesejahteraan publik dan kelestarian ekologis. Sorotan terhadap pemimpin menjadi urgen karena kita akan ditawarkan banyak sekali calon pemimpin di eksekutif dan legislatif untuk dipilih pada tahun depan yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang disebutkan di atas.
Ini belum lagi pemilihan-pemilihan pemimpin di organisasi-organisasi laba/perusahaan dan nirlaba atau komunitas yang mungkin juga sedang kita ikuti. Dengan kata lain, dengan kuasa atau kewenangannya, pemimpin memiliki daya perbaikan atau daya penghancuran yang luar biasa. Tulisan ini berargumen bahwa kearifan adalah salah satu kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan untuk menjawab-menjawab masalah tersebut.
Konsep Kearifan
Walau istilah kearifan tidak asing dalam tradisi-tradisi keagamaan dan kebudayaan sejak lama, konsep kearifan mulai intensif diteliti secara konseptual dan empiris oleh para akademisi di bidang psikologi sejak 1970an dan di bidang manajemen dan organisasi sejak tahun 2000-an. Ada setidaknya beberapa pandangan berpengaruh dalam kajian kearifan, yaitu Model Kearifan Berlin (Baltes & Staudinger, 2000) dan Teori Keseimbangan Kearifan (Sternberg, 1998).
Menurut Model Kearifan Berlin, pemimpin yang arif adalah yang memiliki pengetahuan faktual dan prosedural yang kaya tentang filosofi kehidupan dan cara menghadapi masalah, kerendahhatian memahami perbedaan nilai dan perspektif antar budaya/grup, dan mampu mengelola ketidakpastian. Model ini belakangan dioperasionalisasi oleh Brienza dan kolega (2021) yang membuktikan bahwa orang yang memiliki penalaran bijak dapat menjembatani polarisasi sosial atau konflik antargrup.
Sementara itu, menurut Teori Keseimbangan Kearifan, pemimpin yang arif adalah pemimpin yang menggunakan pengetahuan dan etika untuk menyeimbangkan kepentingan yang berbeda, menyeimbangkan jangka pendek dan jangka panjang, dan menyeimbangkan situasi apakah harus mengubah, beradaptasi, atau meninggalkan lingkungan sosial demi mencapai kebaikan bersama (common good).
Dalam studi manajemen dan organisasi, beberapa peneliti (McKenna et al., 2009; Nonaka & Takeuchi, 2011) sepakat bahwa pemimpin yang arif adalah pemimpin yang menggunakan nalar dan intuisi/imajinasi secara seimbang, menyenangi filsafat dan seni, harmoni dengan alam, konsisten dalam kaderisasi pemimpin berikutnya, bertindak etis, mampu menggerakkan orang lain untuk bertindak humanis dan ekologis, serta artikulatif.
Lawan kata pemimpin yang arif adalah pemimpin yang bodoh (foolish) dan 'beracun' (toxic), yaitu pemimpin yang memikirkan kroni sendiri, tidak tertarik pada etika dan moral, dogmatis, narsis, merasa superior, menghalalkan segala cara, dan psikopat (Sternberg, 2018). Penelitian empiris oleh Oktaviani dan kolega (2016) di konteks Indonesia menambahkan atribut pemimpin yang bodoh atau beracun, yakni feodal.
Keberadaan pemimpin-pemimpin demikianlah, baik di sektor publik maupun bisnis, yang menjadi salah satu penyebab masalah-masalah yang disebutkan di atas. Jika memang dianggap vital, pertanyaan berikutnya adalah apakah kearifan dapat diajarkan sedari dini atau harus menunggu berumur tua dulu otomatis arif?
Jawabnya adalah ya dapat diajarkan dan tidak untuk umur. Penelitian oleh Glück & Scherpf (2022) membuktikan bahwa pertambahan umur tidak selalu linear dengan pertambahan kebijaksanaan. Banyak yang sudah berumur tua tetapi tidak pernah belajar dari pengalaman, kesalahan, dan kegagalan. Kearifan dapat diajarkan sedari dini.
Penelitian eksperimen longitudinal yang dilakukan Bruya & Ardelt (2018) pada tiga grup mahasiswa selama 3,5 bulan membuktikan bahwa grup yang difasilitasi untuk merefleksikan teks-teks filsafat, aktivitas refleksi kritis tentang pengalaman hidup diri sendiri dan orang lain, menulis jurnal pengalaman hidup, serta simulasi pemecahan masalah yang penuh dilema etis memiliki skor kearifan dibanding grup mahasiswa yang hanya mengikuti kuliah psikologi dan filsafat seperti biasa.
Saya kira ini menjadi refleksi penting untuk dunia pendidikan apakah selama ini hanya mengajarkan siswa dan mahasiswa untuk berpengetahuan saja, tetapi mungkin lupa melatih bagaimana membuat keputusan-keputusan yang arif dalam menyelesaikan masalah, terutama hal-hal yang dilematis yang membutuhkan pertimbangan etis.
Belajar dari Masyarakat Adat
Terkhusus isu lingkungan hidup, pemimpin seharusnya banyak belajar dari masyarakat adat supaya menjadi arif secara ekologis. Temuan sementara penelitian yang saya lakukan menunjukkan bahwa berbagai masyarakat adat di dunia, mulai dari Lugbara di Uganda, Batak di Indonesia, Aborigin di Australia, Maori di Selandia Baru sampai Anishnaabe di Kanada, dan banyak lainnya memiliki prinsip yang mirip, yakni relasionalitas dan resiproritas dengan alam.
Mereka menganggap ciptaan non-manusia seperti hutan dan tanah sebagai kerabat, bahkan sebagai ibu (mother earth), dan menjalankan prinsip timbal balik: alam jaga kita, kita jaga alam. Prinsip ini semakin relevan diadopsi dalam praktik keberlanjutan karena walaupun masyarakat adat hanya sekitar 6% dari seluruh populasi dunia, mereka melindungi 80% biodiversitas dunia dan terus melawan deforestasi sampai harus berkorban nyawa.
Ini menjadi krusial diperhatikan di tengah kegagalan pandangan modern Barat dalam menjaga alam, berakar dari dualisme Cartesian yang melegitimasi superioritas manusia atas alam. Sebagai penutup, dunia memang mengklaim sudah memiliki banyak kemajuan hari ini, terutama dari sisi pengetahuan teknologi. Namun, berpengetahuan dalam absennya kearifan adalah bahaya besar bagi dunia.
Memiliki pengetahuan tidak cukup jika kita menginginkan dunia yang lebih kompak, bersolidaritas, dan berkeadilan ekologis. Kita (harusnya) sangat tidak menginginkan munculnya pemimpin-pemimpin yang bodoh dan beracun merusak semuanya di depan mata kita sendiri. Semoga kita juga tidak menjadi salah satunya.
Hardo Manik dosen Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana; mahasiswa PhD di University of Queensland, Australia
Simak juga 'Survei LSJ: Prabowo 40,3%, Ganjar 32,6% dan Anies 20,7%':
(mmu/mmu)