Mengapa Harus Berpegang pada "Fiscal Rule"?

Kolom

Mengapa Harus Berpegang pada "Fiscal Rule"?

Pipin Prasetyono - detikNews
Rabu, 05 Jul 2023 13:00 WIB
Menkue Sri Mulyani mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Selasa (31/5). Sri Mulyani jelaskan percepatan pembangunan infrastrukur dalam APBN 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika memaparkan RAPBN 2023 (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -

Dalam kegiatan Focus Group Discussion mengenai Penyusunan Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025 - 2045 yang diselenggarakan secara daring oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) pada Rabu, 13 Juni 2023, terdapat poin yang sangat menarik dalam paparan yang disampaikan oleh pembicara dari Kementerian PPN/Bappenas. Yakni, terkait dengan Reformasi Perencanaan dan Fiskal sebagai salah satu di antara 20 game changer untuk menuju Indonesia Emas 2045. Dalam paparan tersebut, salah satu agenda reformasi yang akan dilakukan terkait dengan perencanaan dan fiskal adalah dengan penerapan fiscal rule adaptif.

Sebelum masuk ke ide mengenai fiscal rule adaptif tersebut, ada baiknya kita uraikan apa itu fiscal rule dan apa urgensinya dalam pengelolaan keuangan negara. Secara ringkas, fiscal rule adalah batasan permanen yang dibuat oleh pemerintah suatu negara, biasanya diatur dalam suatu undang-undang, sebagai batas tertinggi yang tidak boleh dilampaui atas beberapa indikator dari fiskal tertentu yang bersifat agregat. Terdapat empat jenis fiscal rule yang umum diterapkan oleh berbagai negara di dunia, yaitu budget balance, expenditure, revenue, dan debt rules. Selain untuk tujuan keberlanjutan fiskal, penerapan fiscal rule juga ditujukan agar pengelolaan fiskal menjadi lebih lebih disiplin, transparan, prudent, dan bertanggung jawab.

Dalam konteks Indonesia, terdapat budget balance rule dan debt rule yang diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Budget balance rule diterjemahkan sebagai batas tertinggi defisit tahunan APBN yang ditetapkan sebesar tiga persen PDB, sementara debt rule diwujudkan dalam pengaturan batas tertinggi rasio utang pemerintah terhadap PDB (debt ratio) sebesar 60 persen PDB. Langkah penetapan batas debt ratio sebesar 60 persen PDB terbilang berani mengingat pada akhir 2003, debt ratio masih berada di atas 60 persen, tepatnya 61 persen, sedangkan realisasi defisit dalam APBN 2003 sebesar dua persen PDB.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam perjalanannya, pengelolaan APBN selalu mengalami berbagai dinamika dan tantangan. Namun, dengan berpegang serta disiplin dalam menerapkan dua fiscal rule tersebut, pengelolaan kebijakan fiskal yang prudent berhasil mendorong debt ratio pada tren yang menurun dengan defisit APBN yang konsisten di bawah tiga persen PDB.

Namun, pandemi Covid-19 pada awal 2020 memaksa pemerintah untuk mengambil langkah strategis untuk secara terbatas dalam kurun waktu tiga tahun sejak 2020 hingga 2022 melonggarkan batas defisit di atas tiga persen PDB dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional yang diatur melalui Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.

ADVERTISEMENT

Konsekuensi dari diizinkannya pemerintah untuk melampaui batas defisit APBN sebesar tiga persen PDB dalam periode tiga tahun tersebut adalah kenaikan rasio utang pemerintah, dari sebesar 30,2 persen pada akhir 2019 menjadi 39,7 persen pada akhir 2022, atau terjadi kenaikan sebesar 9,5 percentage point.

Apabila dilihat dari sisi batas maksimum rasio utang yang sebesar 60 persen PDB, masih terdapat ruang yang luas misalnya pemerintah ingin melanjutkan kebijakan defisit di atas tiga persen setelah 2022. Namun, pertimbangan mengenai pentingnya menjaga kesinambungan fiskal ke depan membuat pemerintah dan DPR sepakat untuk menetapkan target defisit APBN 2023 kembali ke bawah tiga persen.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pelebaran batas defisit selama periode pandemi dan pascapandemi tersebut harus dilihat sebagai suatu kebutuhan atas keadaan mendesak, bukan suatu bentuk fiscal rule yang dibuat menjadi adaptif atau fleksibel. Secara konsep, fiscal rule merupakan batas permanen yang menjadi safeguard dalam pengelolaan fiskal.

Dengan demikian, terlalu mudah mengubah fiscal rule berarti menempatkan APBN dalam risiko ketidaksinambungan. Selain itu, pelebaran defisit yang diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2020 bukan merupakan suatu fleksibilitas yang tidak bertanggung jawab dalam pengelolaan fiskal, namun lebih sebagai respons atas peningkatan kebutuhan belanja, misalnya untuk penanganan kesehatan dan mendorong perekonomian, di saat pendapatan negara justru mengalami penurunan tajam. Dengan demikian, mengubah fiscal rule menjadi lebih adaptif, misalnya dengan justifikasi pengalaman pada periode pandemi, menjadi tidak relevan.

Apabila dilihat lebih jauh, selain menargetkan terjaganya fiscal sustainability, fiscal rule juga secara implisit memiliki tujuan terjaganya financial stability dan macroeconomic stability. Dari aspek financial stability, fiscal rule memberikan garis batas sejauh apa pemerintah bisa berutang untuk menutup defisitnya. Defisit yang terlalu besar akan memaksa pemerintah untuk berutang dalam jumlah yang besar. Tidak hanya debt ratio yang naik, namun apabila utang dilakukan di dalam negeri sementara kapasitas pembiayaan domestik terbatas, maka terdapat risiko crowding out dan biaya utang yang tinggi.

Apabila diputuskan mayoritas utang dilakukan di luar negeri, terdapat berbagai risiko seperti risiko nilai tukar, capital flow reversal, hingga souvereignity risk. Lebih lanjut, financial stability akan mendorong kondisi makro yang lebih stabil. Secara teori, stabilitas makro menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Pada dasarnya, yang diperlukan oleh pemerintah adalah fleksibilitas dalam pengelolaan kebijakan fiskal dan APBN, tentunya tetap dalam koridor yang terbuka dan bertanggung jawab, dan bukan fiscal rule yang adaptif, atau dengan kata lain fiscal rule yang lenient dan fleksibel untuk diubah. Mekanisme automatic adjustment dalam pengelolaan APBN sebagaimana telah ditempuh pada awal 2023 sudah cukup memberikan ruang bagi Pemerintah untuk mengantisipasi ketidakpastian kondisi perekonomian dan geopolitik.

Sebagai penutup, berpegang pada fiscal rule secara disiplin tetap diperlukan untuk mencapai tujuan fiscal sustainability, financial stability, dan macroeconomic stability. Dengan terus menerapkan batas defisit maksimal tiga persen, misalnya, pemerintah dapat terus mengarahkan belanja untuk berfokus pada belanja-belanja prioritas sehingga APBN semakin berkualitas dengan daya dorong terhadap perekonomian semakin kuat, mengurangi penarikan utang secara berlebihan, dan pada akhirnya rasio utang dapat turun. Skenario ini mensyaratkan dukungan lingkungan makroekonomi yang stabil dengan pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan stok utang secara konsisten.

Namun demikian, disiplin fiscal rule juga harus dibarengi dengan upaya-upaya untuk terus mendorong konsolidasi fiskal melalui penguatan penerimaan negara, penguatan spending better, serta pengelolaan utang pemerintah secara prudent. Harapannya, pemerintah ke depan mempunyai fiscal space lebih longgar untuk terus mengakselerasi pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus memiliki buffer yang kokoh untuk menghadapi berbagai ketidakpastian.

Pipin Prasetyono mahasiswa Pascasarjana University of Queensland

Simak juga 'Jokowi: Setiap Rupiah yang Dibelanjakan Harus Produktif, Cari Uang Sulit':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads