Ada momen penting yang 'dikawal' betul oleh detikcom pada bulan Juni ini, yaitu "Bulan Bung Karno". Suatu hal yang rasa-rasanya memang layak dan sudah semestinya. Terlebih, karena segala sesuatu yang sudah dipertaruhkan Bung Karno untuk bangsa dan negara Indonesia.
Tulisan ini tidak lain adalah refleksi terhadap "Bulan Bung Karno". Kemudian, apa yang direfleksikan adalah legacy beliau ihwal keperluan data presisi yang sejatinya bersifat mendesak dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih khusus, sebagai dasar justifikasi aksi pembangunan menuju cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pikiran visioner Bung Karno terkait kebutuhan data presisi dinyatakan dalam rapat pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada 1959. Lembaga yang menjadi garis terdepan realisasi ide Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) ini dipimpin oleh Muhammad Yaminβdan di dalamnya berisi ratusan cendekia nasional (Sjaf, 2021). Di kesempatan itu, Bung Karno dengan lantang menyatakan bahwa PNSB mesti dijalankan pada landasan data presisi --bukan data taksiran, asumsi, atau kira-kira.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bung Karno menyadari, data adalah modal dasar pembangunan. Jika data yang dijadikan justifikasi pembangunan berangkat dari asumsi atau kira-kira, maka hasil akhir pembangunan akan meleset jauh dari harapan.
Keresahan (concern) visioner Bung Karno, diakui atau tidak, rupanya 'awet' hingga sekarang. Data masih menjadi persoalan nyata dalam praktik berbangsa dan bernegara Indonesia. Hadir dalam rupa-rupa kasus, mulai dari sengkarut data penduduk, ketidakjelasan data pemilih tiap kali pemilu, bantuan sosial (bansos) tidak tepat sasaran, dan banyak lagi.
Singkat kata, meski ini ironi, pikiran Bung Karno pada 1959 masih kontekstual dengan situasi aktual. Artinya, sepanjang itu pula problematika data di Indonesia tak terselesaikan.
Variabel Teknologi
Seberapa besar kemungkinan gagasan yang digadang Bung Karno sejak 1959 itu mampu terealisasi? Jawabannya, sangat besar. Variabel teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat adalah determinannya (Sjaf, 2022). Masalahnya kemudian adalah kehendak (will) dan kompetensi untuk beradaptasi dengan keduanya.
Konstruk "data presisi" dapat dilacak dari dua locus, yaitu (1) caraβatau dengan kata lain metodologi dan (2) hasil (output). Keduanya bertaut secara resiprokal. Cara atau metodologi pendataan akan menentukan hasil akhir. Begitupun, hasil pendataan merefleksikan metodologi pendataan yang digunakan.
Hasil-hasil penelitian menguatkan pernyataan tersebut. Kesalahan (fallacy) data publik yang terjadi di negara berkembang, seperti India dan Indonesia dipengaruhi oleh faktor metodologi pendataan yang rentan kesalahan (Arsyad, et.al, 2019). Pada kasus Indonesia, Rieke Diah Pitaloka dalam penelitiannya menemukan kecenderungan bahwa dalam praksis pendataan di Indonesia, rakyat kerap ditempatkan sebagai objek data (ketimbang subjek data, pen) dalam pola (pendataan) top down (Pitaloka, et.al, 2019).
Walhasil, hasil akhir data yang seharusnya adalah representasi warga/rakyat dipenuhi distorsi. Database/dataset yang tersedia dijejali bias, sehingga tidak mencerminkan kondisi nyata yang berlaku (existing). Tidak mengherankan, pada tahap intervensi kebijakan, berulang terjadi kesalahan (misleading) dan bahkan kegagalan (fail) sama sekali, seperti distribusi bantuan tidak tepat sasaran, data ganda, penggelembungan data yang merugikan negara, kegagalan program/kegiatan publik yang didanai APBN/APBD, dan masih banyak lagi.
Untuk menyudahi problematika tersebut, perlu perubahan mendasar yang dimulai dari aspek metodologi pendataan. Perubahan dalam arti upaya sadar dan inovatif untuk sampai pada tahap (stage) presisi. Ada tiga indikator kunci pendataan presisi. Pertama, identifikasi spasial untuk menunjukkan posisi data secara jelas (nama, alamat, koordinat). Kedua, pendekatan sensus persis dari rumah ke rumahβdi mana unit pendataannya adalah rumah tangga yang direpresentasikan Kepala Keluarga (KK).
Ketiga, partisipasi warga sebagai subjek data. Dalam hal ini, warga berpartisipasi aktif dalam proses pendataan. Tidak hanya partisipatif sebagai responden, tetapi juga terlibat aktif sebagai enumerator (pengumpul data). Sehingga, data betul-betul merepresentasikan mereka.
Inovasi yang merangkum ketiga indikator kunci pendataan tersebut telah hadir dalam tajuk Data Desa Presisi. Secara praksis, inovasi pendataan ini telah diuji di ratusan desa di seluruh Indonesia (Data Desa Presisi, 2023). Dari inovasi ini, terbit harapan besar bahwa kelak tidak ada lagi kesalahan data publik.
Secara kasuistis, kemiskinan misalnya, tidak lagi sebatas abstraksi persentase dan catatan statistik semata. Tetapi, bisa dipertanggungjawabkan secara materiil. Yaitu, dapat dinyatakan secara tegas, di mana sebetulnya kemiskinan dimaksud rumah tangga yang mana? Berapa total keluarganya? Di mana jelas posisinya secara alamat dan koordinat? Ketika semua pertanyaan tersebut terjawab tuntas, maka kualitas data sesungguhnya telah sampai pada taraf presisi. Implikasinya, semakin kecil risiko kesalahan danβbahkanβkegagalan intervensi kebijakan (Sjaf, 2022).
Tantangan selanjutnya adalah menempatkan inovasi pendataan ini sebagai metodologi yang digunakan negara. Hal ini penting agar kemanfaatannya bisa diterapkan secara masif dan serentak di seluruh Indonesia. Sehingga, problematika data yang telah bertahan menahun bisa tuntas setuntas-tuntasnya.
Tentu, butuh keberpihakan banyak pihak agar tujuan sampai pada perwujudan. Keberpihakan yang berdiri pada landasan kepedulian terhadap masa depan bangsa --mengatasi egosentrisme lembaga, golongan, organisasi. Keberpihakan terhadap data yang setara dengan spirit Bung Karno.
Widdy Apriandi mahasiswa Pascasarjana IPB University, pegiat Data Desa Presisi