Politik Tubuh Kekuasaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Politik Tubuh Kekuasaan

Selasa, 20 Jun 2023 11:07 WIB
Hamzah Jamaludin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
hamzah
Hamzah Jamaludin (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -
Panggung politik nasional menuju Pemilu 2024 disesaki dengan berbagai percakapan riuh dan gaduh. Manuver dan pesan politik menjadi simbol yang tidak luput hadir di dalamnya. Di ruang publik hal ini kerap dilakukan oleh tokoh politik, pesan-pesan yang disampaikan pun penuh dengan percakapan panjang dan terkadang menjadi cara komunikasi ke publik.

Presiden Jokowi dikenal sebagai figur politik yang kerap menampilkan politik simbol dalam berbagai kesempatan. Manuver dan simbol politiknya tidak luput terucap secara eksplisit. Pernyataan Presiden Jokowi pada pertemuan dengan pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan tentang dirinya yang akan cawe-cawe di Pemilu 2024 memantik perdebatan publik.

Istilah cawe-cawe jika merujuk pada KBBI ialah ikut membantu mengerjakan, membereskan ataupun ikut menangani. Memang dalam premis yang diucapkan oleh Presiden Jokowi tujuannya demi kepentingan bangsa dan negara. Namun, kalimat tersebut memiliki makna yang cukup tendensius bagi jagoan politik yang didukungya di kontestasi Pemilu 2024.

Keterlibatan Presiden dalam mengamankan kepentingan bangsa dan nasional melalui cawe-cawe sebagai pesan politik akan keterlibatnnya di Pemilu 2024. Di tengah masa kepemimpinan yang menyisakan satu tahun lagi, tentunya Presiden Jokowi melakukan manuver agar legacy penerusnya dapat meneruskan kebijakannya. Pesan politik tersebut menjadi narasi yang tidak luput jadi bahan pro dan kontra.

Narasi yang disampaikan mendapatkan atensi dari berbagai pihak, apalagi jika kondisi ini dikaitkan dengan pasangan kandidat calon presiden yang tidak mendapatkan endorse politik. Sikap ketidaknetralan menjadi persoalan politik yang diperlihatkan oleh kepemimpinan Presiden Jokowi.

Menjunjung pertarungan free dan fair di pemilu adalah cara berdemokrasi yang baik dengan memperlihatkan sikap kenegarawanan seseorang. Jika sikap seorang negarawan tidak diperlihatkan dalam proses politik yang sedang berjalan, maka akan menimbulkan keraguan publik dan ada kepentingan politis dijaganya terhadap kandidat yang didukung sesuai preferensinya.

Menjaga Legacy

Keberlangsungan setiap program yang sudah dilakukan demi kemajuan bangsa memang menjadi agenda yang diprioritaskan. Dalam kacamata politik setiap pemimpin yang telah selesai masa jabatannya tentu membutuhkan pemimpin selanjutnya yang mampu meneruskan legacy yang dibangunnya. Oleh karena itu, keterlibatan Presiden dalam aktivitas cawe-cawe akan memfokuskan pada figur pemimpin yang dapat meneruskan program pembangunan yang telah dilakukannya.

Melihat tiga paslon yang sudah dideklarasikan Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Tentu Presiden akan lebih condong pada dua nama Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Karena melihat dua kandidat capres tersebut yang sering di-endorse Presiden. Prabowo yang merupakan pembantu presiden di kabinet saat ini diharapkan menjadi pemimpin yang dapat mampu meneruskan setiap agenda pembangunan yang dilakukannya, sementara itu Ganjar Pranowo sesama kader PDIP menjadi figur dengan kapasitas sama untuk melanjutkan program yang sudah dilaksanakan.

Kedua tokoh tersebut dianggap memiliki preferensi politik yang mampu melanjutkan program di masa mendatang. Konteks cawe-cawe bagi Presiden Jokowi menjadi fundamental agar estafet seluruh kebijakan strategisnya dapat diteruskan secara konsisten. Hal ini terlihat ketika orang-orang dari Istana Kepresidenan memperjelas tafsir politik terkait pernyataan kepala negara yang mengaku bakal ikut cawe-cawe untuk negara dalam Pemilu 2024 ke dalam lima hal.

Pertama, Jokowi ingin memastikan Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil. Kedua, Jokowi berkepentingan terselenggaranya pemilu dengan baik dan aman, tanpa meninggalkan polarisasi atau konflik sosial di masyarakat. Ketiga, Jokowi ingin pemimpin nasional ke depan dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara, hilirisasi, transisi energi bersih, dan lain-lain.

Keempat, Jokowi mengharapkan seluruh peserta pemilu dapat berkompetisi secara free dan fair, karenanya kepala negara akan menjaga netralitas TNI, Polri, dan ASN. Kelima, Presiden ingin seluruh masyarakat yang memilih mendapatkan informasi dan berita berkualitas tentang peserta pemilu dan proses pemilu agar masyarakat tidak mendapatkan informasi bohong atau hoaks.

Kelima tafsir ini dijelaskan dengan tujuan menjadi role yang harus diperhatikan oleh para kandidat calon. Karena selain hal itu Indonesia akan mengalami bonus demografi selama 13 tahun ke depan, maka dari itu pesan politik dari Presiden Jokowi memperlihatkan agar pemimpin yang hadir merupakan figur yang memiliki kredibilitas, visi dan misi yang sama dengannya.

Preseden Buruk

Pernyataan Presiden Jokowi tentang cawe-cawe di pemilu tentu membuat kekhawatiran bagi sikap penguasa atas kekuasaan yang berlebihan nantinya. Ikut andilnya Jokowi akan menjadi preseden buruk bagi terciptanya opini publik yang terjadi, hal ini akan memobilisasi kepentingan politik yang berujung pada sikap tidak netralnya sebagai Presiden yang memiliki kuasa atas proses politik dan pemilihan.

Premis yang terucap demi bangsa dan negara pun tentu mengandung makna cukup kabur. Kepentingan bangsa dan negara mana yang dipertahankan? Sejauh mana kepentingan cawe-cawe diperlukan demi kepentingan nasional? Justru narasi yang diucapkan ini akan menimbulkan tingkat kepercayaan publik atas sikap kenegarawanan Presiden Jokowi. Selain itu, keterlibatan ini akan menimbulkan siklus politik yang stagnan.

Terjebaknya pada situasi stagnasi politik terhentinya sikluasi kekuasaan. Pasalnya, hal ini akan mengikis para calon yang hadir dengan visi dan misi baru dan gagasan inovatif. Nihilnya hal tersebut karena ruang publik sudah kadung terpolarisasi melalui opini yang dibangun oleh Presiden melalui aktivitas cawe-cawenya.

Dampak dari sirkulasi kekuasaan yang tidak optimal secara langsung akan menghambat pertumbuhan demokrasi di Indonesia dari proses pemilu yang tidak transparan dan hadirnya campur tangan dari penguasa. Sebagaimana yang dikatakan Levitsky & Ziblatt dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati (2020) adanya politisi atau elite yang menolak aturan main demokrasi.

Situasi ini jika dilihat dari kacamata politik hari ini memperlihatkan bahwa seorang figur negara akan ikut campur dalam Pemilu 2024 nanti, hal ini tentu akan mengancam ruang demokrasi karena selain bisa menyebabkan ketidaknetralan, juga menggunakan kekuasaan yang berlebihan untuk mempengaruhi Pemilu 2024.

Demokrasi di Indonesia membutuhkan figur presiden yang netral. Sebab dari segi pemilu kondisi kita masih cukup rentan tergelincir. Oleh karena itu, dibutuhkan aktor politik yang bersikap adil, dan terbuka bagi keberlangsungan demokrasi. Namun, situasi yang kontras cukup terlihat cawe-cawe yang akan dilakukan Presiden Jokowi di Pemilu 2024 menunjukkan adanya deviasi demokrasi. Alih-alih lebih fokus terhadap kondisi kemajuan bangsa dan negara arah tubuh politik Presiden menciptakan kegaduhan di ruang publik.

Keikutsertaan Presiden Jokowi melalui cawe-cawe secara sadar keluar dari norma dan tradisi demokrasi. Cawe-cawe dapat menimbulkan keraguan publik dan ketidakpercayaan terhadap proses politik yang ada, dengan instrumen politik yang dimilikinya justru sentimen publik dengan mudah akan menafsirkan bahwa Presiden bisa menggunakan instrumen yang ada untuk mempengaruhi dukungan publik.

Alih-alih demi kepentingan bangsa dan negara justru hal ini bisa jadi mempertahankan pengaruh politiknya, mempertahankan kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Selain itu, cawe-cawe dilakukan sebagai bentuk kekhawatiran Presiden mencari suaka terakhir selepas tidak menjabat sebagai pemimpin negara.

Jalan panjang menuju pemilu masih harus dilalui, narasi dan manuver politik dari setiap kandidat akan menjadi atensi bagi masyarakat secara luas. Melihat aktivitas politik di masa penghujung kepemimpinannya Presiden Jokowi seharusnya menyelesaikan kondisi ekonomi dan sosial yang sedang dialami. Apalagi tafsir politik cawe-cawe dapat menjadi pesan lampu hijau instrumen negara untuk ikut terlibat. Satu cara yang menjadi pembelajaran sikap kenegarawanan Presiden diuji pada saat kondisi saat ini.

Hamzah Jamaludin, S.IP, M.Sos
peneliti Temu Political Research
Simak juga 'Jokowi: Cawe-cawe Tanggung Jawab Saya Sebagai Presiden':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads