Berbagai fenomena sosial yang terjadi akhir-akhir ini membuat miris. Orang-orang berkedudukan dan berilmu tinggi melakukan perbuatan rendah. Rektor bergelar profesor melakukan korupsi. Dosen melecehkan mahasiswi. Ustaz memperkosa santri. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Ada juga fenomena cendekiawan yang "menjual" ilmunya untuk sepotong "kursi". Cendekiawan tersebut aktif memberi kritik dan koreksi terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa tidak tepat. Namun begitu diangkat menjadi pejabat atau komisaris BUMN bergaji tinggi, tiba-tiba saja suara kritis itu hilang, berganti menjadi suara pembelaan dan pembenaran. Bagaimana meneropong fenomena ini dari perspektif ajaran Socrates?
Integrasi Ilmu dan Kehidupan
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ribuan tahun silam, Socrates (469 SM-399 SM) sudah mengajarkan pentingnya integrasi ilmu ke dalam perilaku kehidupan. Bagi Socrates, orang yang mengetahui apa yang baik akan berbuat baik. Wawasan yang benar akan menuntun pada tindakan yang benar. Neny Rostiati dan Fakhry Zamzam (2021) menyebut ajaran Socrates ini sebagai intelektualisme etis, yakni pengetahuan yang benar tentang etika secara otomatis akan diikuti oleh perilaku yang benar.
Orang yang mempunyai pengetahuan tentang kebaikan pasti juga akan melakukan kebaikan. Sebaliknya, jika ada orang yang melakukan perbuatan jahat, itu karena dia tidak mempunyai pengetahuan mendalam tentang etika. Mengacu pada ajaran Socrates tersebut, ilmu yang dimiliki seseorang seharusnya bisa menaikkan derajat hidup orang itu dan mampu mengaktualkan segenap potensinya. Dengan demikian keberadaan ilmu tidak sia-sia.
Ilmu tidak hanya untuk dimiliki dan dipahami, tetapi harus mampu membuat perubahan dalam perilaku hidup. Dengan konsep integrasi ilmu dalam perilaku kehidupan seperti ini, maka orang yang berilmu tidak akan berbuat jahat. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorang, maka orang itu akan menjadi semakin baik. Jika ada orang yang bertambah ilmunya, tetapi perilakunya tidak bertambah baik, maka ada yang salah dalam pengetahuannya.
Antitesis Kaum Sofis
Cendekiawan yang "menjual" ilmunya mirip seperti kaum sofis pada masa Socrates. Kaum sofis adalah sekelompok guru dan filosof yang berkeliling dari koloni-koloni Yunani dan berkumpul di Athena. Mohammad Hatta (1986) mengungkapkan, pada awalnya gelar sofis ditujukan kepada semua orang pandai seperti ahli bahasa, ahli filsafat, ahli politik, dan lain-lain. Orang-orang tersebut dinamakan sofis karena pengetahuan dan kebijaksanaan yang mereka miliki.
Kata sofis memang berarti seseorang yang bijaksana dan berpengetahuan. Tetapi lama-kelamaan kata itu berubah artinya. Sofis menjadi julukan bagi setiap orang yang pandai memutar lidah dan bersilat kata. Dari nama pujian, sofis berubah menjadi nama ejekan.
Kaum sofis memang memiliki pengetahuan yang luas, namun kedatangan mereka ke Athena bukan untuk mengajarkan ilmu, melainkan untuk menjualnya. Di Athena, kaum sofis mencari nafkah dengan mengajar para warga masyarakat dengan imbalan sejumlah uang. Mereka memberikan pelajaran kepada siapa saja yang mau membayar. Apa saja pengetahuan yang diminta orang, kaum sofis sanggup memberikannya, asal orang mampu membayar.
Kaum sofis bisa dipesan untuk berbicara apa saja, asal dibayar dengan imbalan tertentu. Socrates merupakan antitesis kaum sofis dalam komersialisasi pengetahuan. Kaum sofis menjadikan kepintaran sebagai komoditas untuk mencari uang dengan meminta upah untuk pengajaran yang diberikan. Mereka mendapatkan uang untuk penjelasan-penjelasan mereka yang ruwet. Berbeda dengan kaum sofis, Socrates tidak memungut bayaran atas pelajaran yang diberikan.
Socrates juga menjadi antitetis kaum sofis dalam hal kesadaran rendah hati. Berbeda dengan kaum sofis yang begitu bangga dengan ilmu yang dimiliki, merasa pintar dan serba tahu, Socrates justru menyatakan diri tidak tahu apa-apa. Hanya satu yang aku tahu, kata Socrates, yakni aku tidak tahu apa-apa. Dengan menyadari tidak tahu apa-apa, Socrates justru menjadi filosof yang bijaksana.
Seorang filosof mengakui bahwa ada banyak hal yang tidak dipahaminya dan karena itu dia selalu berusaha untuk meraih pengetahuan sejati. Ketika seseorang merasa tidak tahu, maka dia akan terus belajar untuk mengejar pengetahuan. Hampir semua orang besar di bidang ilmu pengetahuan adalah orang yang haus ilmu karena merasa menjadi orang yang tidak tahu.
Orang yang merasa tidak tahu, dia akan mendapat banyak pengetahuan baru dalam hidupnya. Sebaliknya, ketika orang merasa serba tahu, maka hilang kebijaksanaannya dan terhenti prosesnya dalam mencari pengetahuan.
Survei Kaum Sofis
Perilaku mirip kaum sofis juga bisa dilihat pada aktivitas lembaga survei. Di musim menjelang pemilu, banyak lembaga survei melakukan survei politik, baik untuk partai politik maupun calon presiden. Dengan metode yang diklaim ilmiah, berbagai lembaga survei itu memprediksi partai pemenang, partai lolos dan tidak lolos ke Senayan.
Mereka juga memprediksi calon presiden manakah yang akan menjadi pemenang. Namun hasil survei yang berbeda-beda secara ekstrem antara berbagai lembaga survei memunculkan pertanyaan: survei manakah yang dilakukan secara benar-benar ilmiah dan survei manakah yang merupakan pesanan sponsor? Survei dilakukan untuk memotret opini publik ataukah justru untuk menggiring opini publik?
M. Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, salah seorang pelaku survei, mengungkapkan bahwa survei-survei politik selalu dibiayai pihak yang berkepentingan terhadap hasil atau kesimpulan survei. Survei yang dilakukan atas kerja sama dengan partai politik, dananya bersumber dari partai politik tersebut sebagai sponsor. Namun Qodari juga menandaskan, lembaga survei yang kredibel dan profesional akan menolak pesanan agar hasil surveinya menguntungkan pihak sponsor.
Pernyataan Qodari ini menegaskan adanya lembaga survei yang bisa dibeli sponsor, tentunya lembaga survei yang tidak kredibel. Mirip seperti kaum sofis yang menjual kepintarannya menjadi komoditas yang bisa dibeli, maka metode ilmiah dan kecendekiawanan sebagian kalangan di Indonesia tampaknya juga bisa dibeli dengan harga tertentu.
Kecendekiawanan yang bisa dibeli dan adanya kesenjangan antara derajat keilmuan yang tinggi dengan perilaku kehidupan yang rendah telah memberi pesan pentingnya mengaktualkan kembali ajaran-ajaran Socrates. Bahwa metode ilmiah dan kecendekiawanan seharusnya dibaktikan untuk kemaslahatan masyarakat dan tidak bisa dibeli oleh pihak-pihak yang berupaya membelokkannya untuk kepentingan mereka.
Bahwa ilmu harus selalu selaras dengan penerapannya dalam kehidupan sehingga semakin tinggi tingkat keilmuan harus sejalan dengan perilaku yang semakin baik. Dengan demikian, ajaran-ajaran Socrates tetap penting dan relevan untuk diaktualkan dalam kondisi kekinian di Indonesia.
Samsul Hilal mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta