Gempita nuansa pemilu semakin hangat. Kontestasi lima tahunan ini setidaknya menjadi titik di mana kekuasaan akan dipergilirkan atau dipertahankan layaknya permainan catur. Bagi kubu petahana dan juga partai pemenang, tentu kemenangan untuk kesekian kalinya harus di raih dengan gemilang. Bagi para pihak yang berada di luar lingkaran kekuasaan, tentunya pemilu ini merupakan momentum bagus untuk membalik keadaan.
Pola kontestasi semacam ini memang merupakan hal yang wajar mengingat pemilu merupakan cara yang sah dalam memperebutkan kekuasaan. Menjadi menarik kemudian jika para aktor yang saling berebut atensi pemberitaan publik melakukan sejumlah gerakan dan juga kegiatan politik yang menyedot perhatian, padahal dari segi tekstual setidaknya yang banyak muncul adalah suguhan siapa presiden selanjutnya pasca kepemimpinan Presiden Jokowi.
Bahkan, Jokowi sebagai presiden pun sampai mau dan rela tersita waktunya untuk memikirkan siapa sebaiknya penerus kepemimpinannya di istana negara. Padahal yang justru seharusnya muncul di ruang publik adalah bagaimana dan kemana arah negara kita setelah ini.
Perlu disadari oleh kita semua bahwa bagi aktor politik (khususnya partai politik), meraih atensi publik itu merupakan keharusan. Di sanalah kemudian mereka mengeluarkan berbagai aksi yang memancing reaksi. Ada yang dengan tampilan nyentrik, ada juga yang melemparkan isu tertentu, mengagitasi bahkan juga ada yang terang-terangan memberikan dukungan melalui deklarasi oleh elemen relawan, dengan tujuan tentu untuk mempengaruhi persepsi publik. Hal ini lumrah sebagai aksesori yang menyemarakkan pemilu di ruang publik.
Akhir Jabatan
Di akhir masa jabatan suatu pemerintahan, memang menyisakan banyak tanda tanya bahkan tidak jarang mengalami turbulensi politik. Kondisi ini jika tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan potensi konflik terbuka. Dan, perlu disadari bahwa konflik itu sebenarnya adalah konflik antar elite dan bukan konflik horizontal dalam masyarakat.
Adapun konflik yang muncul dalam masyarakat karena misalnya dukungan atau kubu politik yang berbeda justru muncul dari adanya elit politik yang menajamkan itu dan membuat simpatisannya semakin mengeras (militan). Kondisi inilah yang perlu diantisipasi oleh segenap elite partai yang ikut dalam Pemilu 2024. Cukuplah peristiwa kekerasan dalam Pemilu 2019 menjadi contoh.
Perlu juga dilihat bahwa spektrum kekuasaan partai politik di Indonesia tidak ada yang mencapai angka dominan sekali. Bahkan PDIP yang keluar sebagai pemenang pada 2019 hanya mampu meraup sebanyak 20-an persen suara nasional. Apa maknanya? Ini menggararisbawahi pemahaman kita semua bahwa sebanyak 80-an persen sisanya terbagi dalam kekuatan partai politik lainnya.
Kekuatan yang berserak ini tentu tidak dapat saling berdiri sendiri. Itulah sebabnya partai politik saling menjajaki hubungan erat dengan partai yang dianggap sevisi dan misi (baca: sekepentingan). Dalam hal ini perlu juga disadari bahwa dalam politik tidak ada teman dan musuh abadi, yang abadi hanya kepentingan. Tergantung kepentingan macam apa yang hendak dituju oleh masing-masing pihak yang bekerja sama.
Untuk mengaminkan hal ini kita bisa melihat Partai Nasdem sebagai salah satu pengusung Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019. Namun dengan dideklarasikannya Anies Baswedan oleh Nasdem menjadi capres 2024, Jokowi seolah berpaling dan tidak menganggap Nasdem sebagai "sahabatnya", padahal Nasdem memiliki saham dalam mengusung Jokowi menjadi Presiden. Bahkan Surya Paloh mengatakan hubungannya dengan Jokowi berada dalam titik yang rendah.
Pun dengan Partai Gerindra, Golkar, dan terakhir PAN, yang sebelumnya menjadi lawan dalam Pemilu 2019, justru diberikan "kue kekuasaan", padahal tidak memiliki andil dalam pemenangan Jokowi di Pemilu 2019.
Mencermati berbagai kondisi yang ada, hal yang perlu diperhatikan dalam dinamisasi politik sekarang ini adalah memastikan setidaknya lima perkara. Pertama, pemerintah harus menjamin adanya kontestasi pemilu yang fair. Mereka yang masuk gelanggang harus memiliki titik awal yang sama. Misalnya, setidaknya untuk memenuhi persyaratan formal ambang batas pencalonan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Kedua, memastikan bahwa pemilu bukan seremoni biasa lima tahunan. Ini merupakan arena perebutan kekuasaan, sehingga para pihak yang ikut dalam kontestasi perlu dicurigai melakukan segala daya dan upaya untuk mencapai kemenangan. Untuk mengantisipasi hal ini, perlu mendudukkan para penyelenggara pemilu yang memegang teguh integritasnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya ketika dilantik menjadi penyelenggara.
Ketiga, aturan main, perlu juga dilihat bahwa aturan main harus sama bagi semua pihak yang berkontestasi. Ketimpangan dalam penerapan aturan bagi para calon akan menimbulkan ketidakpuasan yang bisa berujung pada konflik terbuka. Keempat, netralitas seluruh organ negara secara formal, baik birokrasi maupun TNI dan POLRI. Pemegang kekuasaan boleh datang dan pergi namun organ negara ini bersifat tetap dan hanya tunduk pada politik negara.
Kelima, sistem hukum yang imparsial, transparan dan adil. Ketidakpuasan dalam hasil pemilu tentu menjadi sengketa yang dapat berujung pada adanya upaya untuk mempengaruhi lembaga peradilan. Hal ini perlu diantisipasi dengan menjadikan lembaga ini bebas dari intervensi oleh kepentingan politik pemilu.
Terakhir saya kira yang perlu disadari oleh kita semua bahwa merawat Indonesia ini butuh kerja sama dari seluruh elemen kekuatan sosial dan politik. Di Indonesia setidaknya, setelah ditetapkannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada 2004, sampai saat ini, siapapun yang menang tidak akan mampu mengelola kekuasaannya dalam satu tangan.
Oleh sebab itulah, tidak ada pihak yang perlu menjadi jemawa bahwa hanya dirinya dan kelompoknyalah yang dapat mengelola republik ini sendirian. Jangan sampai kita kehilangan nilai-nilai keluhuran yang berharga yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita bahwa boleh berbeda, tapi jika untuk kepentingan negara kita harus tetap bersatu dengan nilai ketulusan dan kepercayaan.
Pola kontestasi semacam ini memang merupakan hal yang wajar mengingat pemilu merupakan cara yang sah dalam memperebutkan kekuasaan. Menjadi menarik kemudian jika para aktor yang saling berebut atensi pemberitaan publik melakukan sejumlah gerakan dan juga kegiatan politik yang menyedot perhatian, padahal dari segi tekstual setidaknya yang banyak muncul adalah suguhan siapa presiden selanjutnya pasca kepemimpinan Presiden Jokowi.
Bahkan, Jokowi sebagai presiden pun sampai mau dan rela tersita waktunya untuk memikirkan siapa sebaiknya penerus kepemimpinannya di istana negara. Padahal yang justru seharusnya muncul di ruang publik adalah bagaimana dan kemana arah negara kita setelah ini.
Perlu disadari oleh kita semua bahwa bagi aktor politik (khususnya partai politik), meraih atensi publik itu merupakan keharusan. Di sanalah kemudian mereka mengeluarkan berbagai aksi yang memancing reaksi. Ada yang dengan tampilan nyentrik, ada juga yang melemparkan isu tertentu, mengagitasi bahkan juga ada yang terang-terangan memberikan dukungan melalui deklarasi oleh elemen relawan, dengan tujuan tentu untuk mempengaruhi persepsi publik. Hal ini lumrah sebagai aksesori yang menyemarakkan pemilu di ruang publik.
Akhir Jabatan
Di akhir masa jabatan suatu pemerintahan, memang menyisakan banyak tanda tanya bahkan tidak jarang mengalami turbulensi politik. Kondisi ini jika tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan potensi konflik terbuka. Dan, perlu disadari bahwa konflik itu sebenarnya adalah konflik antar elite dan bukan konflik horizontal dalam masyarakat.
Adapun konflik yang muncul dalam masyarakat karena misalnya dukungan atau kubu politik yang berbeda justru muncul dari adanya elit politik yang menajamkan itu dan membuat simpatisannya semakin mengeras (militan). Kondisi inilah yang perlu diantisipasi oleh segenap elite partai yang ikut dalam Pemilu 2024. Cukuplah peristiwa kekerasan dalam Pemilu 2019 menjadi contoh.
Perlu juga dilihat bahwa spektrum kekuasaan partai politik di Indonesia tidak ada yang mencapai angka dominan sekali. Bahkan PDIP yang keluar sebagai pemenang pada 2019 hanya mampu meraup sebanyak 20-an persen suara nasional. Apa maknanya? Ini menggararisbawahi pemahaman kita semua bahwa sebanyak 80-an persen sisanya terbagi dalam kekuatan partai politik lainnya.
Kekuatan yang berserak ini tentu tidak dapat saling berdiri sendiri. Itulah sebabnya partai politik saling menjajaki hubungan erat dengan partai yang dianggap sevisi dan misi (baca: sekepentingan). Dalam hal ini perlu juga disadari bahwa dalam politik tidak ada teman dan musuh abadi, yang abadi hanya kepentingan. Tergantung kepentingan macam apa yang hendak dituju oleh masing-masing pihak yang bekerja sama.
Untuk mengaminkan hal ini kita bisa melihat Partai Nasdem sebagai salah satu pengusung Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019. Namun dengan dideklarasikannya Anies Baswedan oleh Nasdem menjadi capres 2024, Jokowi seolah berpaling dan tidak menganggap Nasdem sebagai "sahabatnya", padahal Nasdem memiliki saham dalam mengusung Jokowi menjadi Presiden. Bahkan Surya Paloh mengatakan hubungannya dengan Jokowi berada dalam titik yang rendah.
Pun dengan Partai Gerindra, Golkar, dan terakhir PAN, yang sebelumnya menjadi lawan dalam Pemilu 2019, justru diberikan "kue kekuasaan", padahal tidak memiliki andil dalam pemenangan Jokowi di Pemilu 2019.
Mencermati berbagai kondisi yang ada, hal yang perlu diperhatikan dalam dinamisasi politik sekarang ini adalah memastikan setidaknya lima perkara. Pertama, pemerintah harus menjamin adanya kontestasi pemilu yang fair. Mereka yang masuk gelanggang harus memiliki titik awal yang sama. Misalnya, setidaknya untuk memenuhi persyaratan formal ambang batas pencalonan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Kedua, memastikan bahwa pemilu bukan seremoni biasa lima tahunan. Ini merupakan arena perebutan kekuasaan, sehingga para pihak yang ikut dalam kontestasi perlu dicurigai melakukan segala daya dan upaya untuk mencapai kemenangan. Untuk mengantisipasi hal ini, perlu mendudukkan para penyelenggara pemilu yang memegang teguh integritasnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya ketika dilantik menjadi penyelenggara.
Ketiga, aturan main, perlu juga dilihat bahwa aturan main harus sama bagi semua pihak yang berkontestasi. Ketimpangan dalam penerapan aturan bagi para calon akan menimbulkan ketidakpuasan yang bisa berujung pada konflik terbuka. Keempat, netralitas seluruh organ negara secara formal, baik birokrasi maupun TNI dan POLRI. Pemegang kekuasaan boleh datang dan pergi namun organ negara ini bersifat tetap dan hanya tunduk pada politik negara.
Kelima, sistem hukum yang imparsial, transparan dan adil. Ketidakpuasan dalam hasil pemilu tentu menjadi sengketa yang dapat berujung pada adanya upaya untuk mempengaruhi lembaga peradilan. Hal ini perlu diantisipasi dengan menjadikan lembaga ini bebas dari intervensi oleh kepentingan politik pemilu.
Terakhir saya kira yang perlu disadari oleh kita semua bahwa merawat Indonesia ini butuh kerja sama dari seluruh elemen kekuatan sosial dan politik. Di Indonesia setidaknya, setelah ditetapkannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada 2004, sampai saat ini, siapapun yang menang tidak akan mampu mengelola kekuasaannya dalam satu tangan.
Oleh sebab itulah, tidak ada pihak yang perlu menjadi jemawa bahwa hanya dirinya dan kelompoknyalah yang dapat mengelola republik ini sendirian. Jangan sampai kita kehilangan nilai-nilai keluhuran yang berharga yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita bahwa boleh berbeda, tapi jika untuk kepentingan negara kita harus tetap bersatu dengan nilai ketulusan dan kepercayaan.
Arief Hidayat mahasiswa Pascasarjana S-3 Kajian Budaya dan Media UGM