Kecerdasan buatan Artificial Intelligence (AI) telah menjadi topik hangat yang sering kita dengar baru-baru ini. Ternyata, AI telah lama ada di sekitar kita, dimulai dari rekomendasi musik di Spotify atau Joox hingga iklan yang dipersonalisasi di situs web yang kita kunjungi.
Publik mulai berbicara banyak tentang AI ketika dunia dikejutkan oleh ChatGPT, Generative AI yang dapat merespons dengan bahasa yang manusiawi. Generative AI, atau AI generatif, adalah cabang AI yang berkaitan dengan pembuatan model yang mampu menghasilkan konten baru, seperti teks, gambar, musik, atau video.
Merumuskan Regulasi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun manfaat AI sangat nyata, ada juga sejumlah tantangan dan risiko yang mengharuskan kita merancang regulasi yang tepat. Jadi, bagaimana kita bisa merancang regulasi AI yang efektif di Indonesia? Berikut beberapa faktor penting yang menurut saya perlu dipertimbangkan dalam merumuskan regulasi AI. Pertama, etika dan hak asasi manusia: Anda mungkin masih mengingat kontroversi Project Maven, kolaborasi antara Google dan Departemen Pertahanan AS. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan AI untuk analisis gambar militer dan mendapat kritik karena berpotensi melanggar etika perang.
Regulasi AI di Indonesia harus berlandaskan pada etika dan penegakan hak asasi manusia. Teknologi AI memiliki potensi untuk berkembang tanpa batas dan bahkan bisa membahayakan nyawa manusia, seperti teknologi nuklir. Kita perlu menyiapkan batasan dan etika sejak awal agar tetap dalam koridor etis dan menghargai hak asasi manusia.
Kedua, keadilan dan transparansi. Bias dalam AI bukanlah hal yang baru. Sebuah laporan dari ProPublica, media di Amerika, menunjukkan adanya bias rasial dalam sistem AI yang digunakan untuk memprediksi pelanggaran hukum di AS. Di Indonesia, regulasi AI harus dapat menjamin keadilan dan transparansi. Tanpa hati-hati, AI bisa menjadi bias terhadap Jakarta atau merugikan kelompok minoritas. Ini adalah isu penting yang harus diantisipasi mengingat keberagaman geografis, etnis, dan budaya di Indonesia, serta tingginya kesenjangan.
Ketiga, keamanan dan keandalan. Cybersecurity adalah isu penting dalam AI. Laporan dari Cybereason, perusahaan keamanan cyber, pada 2020 menunjukkan bahwa model AI dapat diretas dan dirusak. Dalam merancang regulasi, keamanan dan keandalan sistem AI harus menjadi prioritas.
Indonesia saat ini banyak sekali terjadi kebocoran dan pencurian data dengan beragam cara, dan motif. Walaupun sudah ada UU Perlindungan Data Pribadi, sosialisasinya masih sayup-sayup, dan penegakan hukumnya terlebih lagi. Ini menyebabkan industri dan pemangku lainnya tidak memprioritaskan investasi di cybersecurity --yang investasinya lumayan mahal. Ini harus menjadi perhatian serius, karena ketika AI semakin banyak diadopsi secara massal, dampaknya akan lebih luas, dan ongkos ekonomi dan sosialnya makin berat.
Keempat, pendidikan dan pelatihan, Menurut laporan McKinsey Global Institute, hampir 14% pekerjaan global dapat diotomatisasi dengan teknologi yang ada saat ini. AI tidak hanya akan menggantikan pekerjaan fisik, tapi juga pekerjaan intelektual. Regulasi AI di Indonesia harus memperhatikan pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam AI. Pemerintah perlu menyiapkan program re-skilling dan up-skilling untuk masyarakat, terutama segmen yang pekerjaannya akan digantikan oleh AI.
Kelima, pertimbangan ekonomi dan hukum, Dampak ekonomi dari AI sangat besar dan perlu dipertimbangkan dalam regulasi. Selain itu, regulasi harus mematuhi hukum yang ada. AI tanpa regulasi yang jelas bisa berpotensi memanipulasi dan mengeksploitasi konsumen dengan menggunakan data yang diberikan. Konsumen misalnya perlu mengetahui untuk apa saja datanya digunakan, dan juga dilindungi dari iklan di era AI yang sangat persuasif dan dipersonalisasi.
Regulasi dan insentif pemerintah untuk mendorong pemanfaatan blockchain menjadi kritikal. Teknologi blockchain memungkinkan sebuah sistem otomatis yang transparan, dan bisa terlacak oleh konsumen, data mereka digunakan oleh siapa saja.
Belajar dari Negara Lain
Salah satu cara untuk merancang regulasi AI yang efektif adalah dengan belajar dari pengalaman negara lain, seperti Komisi Eropa yang telah mencakup isu transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi manusia dalam regulasinya. Di sisi lain, California di AS telah merancang regulasi khusus mengenai penggunaan teknologi pengenalan wajah.
Namun, contoh menarik lainnya adalah bagaimana China, negara dengan perkembangan teknologi AI yang pesat, membentuk regulasi AI. China telah mencakup aspek data, privasi, dan etika dalam kebijakan dan regulasi AI mereka. Negara ini juga memiliki kebijakan yang mengharuskan perusahaan AI untuk mendapatkan izin sebelum mengumpulkan atau menggunakan data pribadi, sebuah langkah yang sangat penting dalam perlindungan privasi pengguna.
Pembentukan regulasi AI di Indonesia harus melibatkan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah, industri, peneliti, organisasi masyarakat sipil, masyarakat umum, pengguna AI, pakar hukum, hingga organisasi internasional. Dengan banyaknya perspektif yang terlibat, regulasi AI yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi seimbang dan memadai.
Merumuskan regulasi AI di Indonesia memang bukan pekerjaan mudah. Namun, dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas dan melibatkan berbagai pihak, saya yakin kita dapat memanfaatkan AI untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia, sambil tetap waspada terhadap risiko dan tantangannya.
Tuhu Nugraha konsultan bisnis digital dan metaverse, Principal Indonesia Applied Digital Economy and Regulatory Network (IADERN)
(mmu/mmu)