Bagaimana Kejahatan Seksual Memicu Stunting?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bagaimana Kejahatan Seksual Memicu Stunting?

Selasa, 13 Jun 2023 15:40 WIB
Muhammad Mario Hikmat Anshari
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi stunting di Indonesia
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Riza Azhari
Jakarta -

Stunting menjadi musuh baru bagi negara. Ancaman stunting tak hanya berdampak pada level individu dan keluarga. Stunting secara berkesinambungan juga akan merugikan negara. Mengancam daya tahan bangsa.

Kegagalan tumbuh dan berkembang sejak 1000 HPK ini menimpa anak yang tak mendapatkan asupan gizi secara adekuat dalam kurun waktu yang lama. Tetapi, faktor stunting ternyata tak hanya menyangkut soal gizi belaka. Ada soal buruknya sanitasi, kegagalan pola asuh, ketidaksejahteraan sosial-ekonomi dan kebijakan pembangunan kesehatan yang tidak merata membuntut di belakangnya.

Secara fisik, anak stunting bertubuh pendek. Fisiknya lemah. Daya tahan tubuhnya rapuh. Patogen mudah menyerang. Risiko penyakit jadi meningkat. Secara kognitif, perkembangan otaknya terhambat. Anak stunting akan kesusahan mengejar kemampuan intelektual anak sebayanya. Hal ini akan mengganggu proses belajar dan memberi respon pada peristiwa sehari-hari. Sehingga pada akhirnya, produktivitasnya akan rendah dibanding anak lain. Anak stunting jadi tak bisa bersaing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia,berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting mencapai 21,6% pada 2022. Angka ini turun 2,8% dari 2021. Penurunan ini akan terus diupayakan untuk mencapai target 14% pada 2024. Di level daerah, pemerintah menyusun target lokal untuk mendongkrak penurunan prevalensi nasional. Ikhtiar itu dilakukan agar pencapaian target bisa jadi masuk akal. Sebab, membiarkan meningkatnya jumlah anak stunting juga berarti membiarkan generasi masa depan Indonesia berada dalam situasi yang mengerikan. Negara akan kewalahan. Masyarakat jadi ringkih. Kemajuan akan menjadi cita-cita yang makin sulit direngkuh.

Aksi konvergensi lintas sektoral pun didorong untuk mengintervensi berbagai faktor risiko stunting. Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dibentuk dari level pusat hingga level desa. Pendekatan pentahelix tak luput diupayakan. Swasta, perguruan tinggi, media, dan masyarakat sipil dirangkul untuk bergotong royong berperang melawan stunting. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan bermacam intervensi di beberapa daerah, prevalensi stunting berhasil diturunkan. Namun, di daerah yang lain, angka stunting justru meningkat.

ADVERTISEMENT

Di provinsi Papua misalnya, selain faktor spesifik yang meliputi pola makan, pola asuh, kondisi kesehatan, dan juga faktor sensitif yang di dalamnya termasuk kondisi sanitasi dan ketersediaan air bersih, ada persoalan lain yang ternyata secara tidak langsung juga berpengaruh pada peningkatan risiko terjadinya stunting. Pelecehan dan kekerasan seksual pada perempuan merupakan problem riil yang harus segera mendapatkan perhatian. Dampak dari kejahatan itu akan memberikan efek jangka panjang terhadap kesehatan dan juga kondisi psikologis korban. Yang pada gilirannya berimbas pada bagaimana lesunya daya tahan korban saat menghadapi situasi pernikahan, hamil, dan pasca persalinan.

Menurut hasil SSGI, prevalensi stunting di Provinsi Papua meningkat 5,1%, dari 29,5% pada 2021, menjadi 34,6% pada 2022. Peningkatan ini berbanding lurus dengan maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak di bawah umur. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jayapura Nur Aida Duwila mengungkapkan, ada peningkatan kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di Papua dari 2019 hingga 2022.

Anak (perempuan) yang menjadi korban pelecehan akan mengalami trauma yang tak bisa diterka kapan sembuhnya. Masalah itu diperparah dengan kegamangan pola penanganan kasus kejahatan seksual yang kerap tak berpihak pada korban. Seolah tak ada hukum di negeri ini yang bisa mengadili para pelaku. Semuanya diselesaikan secara kekeluargaan.

Anak di bawah umur yang menjadi korban bahkan seringkali dinikahkan dengan pelaku sebagai jalan mediasi konflik. Hal it, bukannya menyelesaikan masalah, justru malah meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Sebab, ada relasi yang timpang di sana. Korban kekerasan seksual, tanpa konseling traumatik secara berkala, akan selamanya mendekam dalam ketakutan dan emosi yang tak stabil sepanjang hidupnya. Kecemasan akan jadi hantu. Depresi bisa menyerang tak kenal waktu. Dan hal itulah yang akan mempengaruhi kesehatan para korban kejahatan seksual jadi tak menentu.

Pengalaman Traumatik

Pengalaman traumatik akan memberi respons buruk pada metabolisme tubuh. Beberapa studi dari dalam dan luar negeri telah membuktikan bahwa trauma dapat menyebabkan persoalan pada sistem syaraf, sistem pencernaan, dan sistem pernapasan. Kecemasan akibat gangguan psikologis akan membuat arus biokimia tubuh kacau. Misalnya, nafsu makan jadi menurun, kondisi fisik melemah, sehingga sistem metabolisme terganggu. Kondisi psikosomatik itu bukan situasi yang kondusif bagi perempuan untuk melakukan fungsi-fungsi reproduksi.

Seorang ibu hamil harus memenuhi kebutuhan nutrisinya agar kadar HB dalam darah, ukuran lingkar lengan atas, indeks masa tubuh, dan berat janin dalam rahim bisa sesuai dengan ukuran minimal kesehatan kandungan. Hal itu supaya janin tetap sehat dan bisa lahir selamat. Korban kejahatan seksual yang luka traumatiknya belum usai, lalu menikah dan hamil, akan sangat berisiko melahirkan bayi stunting. Gangguan psikologis bikin pola makan berantakan. Asupan nutrisi yang tak seimbang saat mengandung juga membuat risiko melahirkan bayi stunting kian meningkat.

Jangan anggap masalah selesai setelah melahirkan. Setelah bayi keluar dari rahim ibunya, ancaman baby blues akan mengintai. Kondisi ibu sebelumnya memiliki gangguan emosi akibat pengalaman kejahatan seksual, akan makin parah dan berlipat ganda setelah melahirkan bayi. Sakitnya proses persalinan, munculnya perasaan tidak siap menjadi orangtua, dan rentetan problem lain akan memicu ibu mengalami stres dahsyat. Fisik sudah capek, ditambah mental yang semrawutl. Hal ini tentu berdampak pada kondisi bayi, juga pola asuh bayi yang baru dilahirkan. Dan kita tahu, salah satu penyebab stunting adalah kegagalan pola asuh.

Ayah harusnya terlibat dalam proses pengasuhan, bukan hanya ibu. Namun, masyarakat yang patriarkal membuat pundak ibu dan seluruh perempuan penuh dengan pelbagai macam beban. Belum lagi, dalam kasus ini, latar belakang ayah sebagai pelaku kejahatan seksual dengan relasi kuasa yang tidak setara dan dominasi yang tak terbendung, akan mendesak pihak perempuan untuk mengurus segala hal dalam urusan reproduksi dan domestik. Maka, paripurnalah beban ganda ibu sebagai perempuan.

Oleh karena itu, kesehatan fisik dan mental ibu yang awut-awutan harus dicegah untuk menghindari penambahan kasus stunting. Negara perlu hadir sekaligus aktif dalam melindungi para ibu dan seluruh perempuan dari kejahatan seksual. Kampanye perlindungan perempuan butuh dimasifkan. Hukuman terhadap pelaku kejahatan kudu ditegakkan secara maksimal. Efek jera harus dikuatkan agar menjadi pelajaran bagi pihak yang berpotensi jadi pelaku. Negara perlu mendorong hal ini agar diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebab, bertambahnya kasus stunting pada akhirnya juga akan merepotkan negara di masa depan.

Mario Hikmat Technical Assistant Program Percepatan dan Penurunan Stunting

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads