Kolom

Riuh Penegakan Hukum di Tahun Politik

Andi Saputra - detikNews
Senin, 12 Jun 2023 17:02 WIB
Andi Saputra (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Kejaksaan Agung menahan Menkominfo Jhonny G Plate yang juga Sekjen Partai NasDem atas kasus korupsi. Ada juga sebagian pihak meminta KPK mengusut tuntas kasus Formula E. Di sisi lain, Pemilu 2024 akan digelar dalam hitungan bulan. Publik riuh mengkaitkan hukum dan politik. Bagaimana seharusnya penegakan hukum di tahun-tahun politik?

Dalam hukum dikenal jargon klasik dari Lucius Calpurnius Piso Caesoninus yang hidup pada 43 SM yaitu fiat justitia ruat caelum (keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh). Konsep itu menegaskan bahwa penegakan hukum tidak kenal waktu, tidak kenal konteks, termasuk tidak kenal pemilu sekali pun. Bahkan dalam perang, kejahatan tetaplah kejahatan. Hukum humaniter harus ditegakkan. Perang tidak bisa menjadi alasan pemaaf bagi Adolf Eichmann lolos dari tiang gantungan tepat pada pergantian hari 31 Mei - 1 Juni 1962.

Oleh sebab itu, Dewi Themis digambarkan memakai tutup mata dengan pedang bermata dua. Sebuah simbol peradaban hukum dalam mencari keadilan tanpa kenal waktu dan siapa yang akan ditindak dengan segala dampaknya.

Tudingan dan perspektif politisasi hukum bukan hal baru di dunia belahan mana pun. Seperti di Amerika Serikat, penegakan hukum terhadap Presiden AS ke-45, Donald Trump juga dianggap sebagai serangan politik dari Partai Demokrat ke politikus Partai Republik itu. Donald Trump harus menyiapkan berbagai tangkisan hukum atas 30 dakwaan lebih. AS yang selama ini dirujuk sebagai kampiun hukum dinilai menggunakan alat kekuasaan rezim untuk mengganjal Trump pada Pilpres 2025 nanti.

Sangkaan politik akan muncul di setiap rentang zaman. Tapi, sangkaan politik saja tidak cukup melegitimasi untuk mengebiri penegakan hukum karena sangkaan itu haruslah beralaskan hukum.

Sangkaan politik belaka itu yang membuat Gus Dur jatuh dari kursi Presiden RI pada 2001 yaitu terkait rumor penyalahgunaan dana dari Sultan Brunei dan Bulog. Sangkaan licik yang tidak pernah terbukti secara hukum hingga hari ini. Pada 2013, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD secara tegas menyatakan, "Baik secara hukum pidana maupun hukum tata negara, tidak ada kesalahan Gus Du.".

Prahara politik 2001 itu akhirnya mendasari lahirnya kewenangan MK untuk menguji impeachment presiden. UUD 1945 memberi aturan tegas bahwa presiden bisa dimakzulkan apabila terbukti secara hukum melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela serta apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. UUD 1945 melarang tegas presiden dilengserkan berdasarkan asumsi dan bualan politik semata.

Meski demikian, bisa dipahami adanya perspektif politisasi hukum karena penyidik merupakan bagian dari rumpun eksekutif. Sebab buruk sangka adalah syarat demokrasi yang harus dijaga untuk mencegah 'power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely'.

Namun suuzan saja tidak cukup. Secara hukum asumsi itu terbantahkan karena adanya prinsip independensi penyidik dan kekuasaan yudikatif yang merdeka. Setiap proses hukum bisa diuji di segala tingkatan. Penetapan tersangka hingga penahanan bisa diuji dengan praperadilan. Ada kode etik hakim dan perilaku hakim untuk mengawal jalannya proses persidangan secara fair.

Ada mekanisme judicial review dan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menguji regulasi dan keputusan pejabat, apakah sudah konstitusional atau tidak. Hakim agung yang korup juga mulai ditangkapi oleh KPK. Dalam 9 tahun belakangan, kebijakan eksekutif juga kerap dikoreksi pengadilan seperti UU Cipta Kerja dibekukan oleh MK dan kenaikan iuran BPJS dibatalkan Mahkamah Agung.

Maka, sungguh amat berbahaya bagi supremasi hukum bila law enforcement disetop berdasarkan syak wasangka politik belaka. Apa kata dunia!

Andi Saputra SH, MH advokat




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork