Kemarau 2023 dan Bayang-Bayang El Nino
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kemarau 2023 dan Bayang-Bayang El Nino

Senin, 12 Jun 2023 12:32 WIB
SUPARI
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kemarau 2023 dan Bayang-Bayang El NiΓ±o
Supari (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Hingga pertengahan Mei 2023, terdapat 21% Zona Musim di Indonesia yang telah memasuki musim kemarau. Daerah-daerah itu meliputi Aceh bagian timur, Sumatera Utara bagian timur, Riau bagian timur, Lampung bagian selatan, Banten bagian utara, DKI Jakarta, Jawa Barat bagian utara, sebagian Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, sebagian Bali, sebagian NTB, sebagian NTT, Gorontalo bagian selatan, sebagian Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara bagian selatan, sebagian Kepulauan Maluku, dan sebagian Maluku Utara. Selanjutnya pada akhir Mei dan awal Juni sebagian besar Jawa dan Sumatra bagian selatan diprediksi akan memasuki musim kemarau.

Di Indonesia, yang wilayahnya begitu luas, musim kemarau (dan juga musim hujan) memang tidak bersamaan awal kedatangannya. Itu adalah bagian dari keberagaman iklim di negara kita. Bahkan saking beragamnya iklim, ada kalanya suatu daerah mengalami musim kemarau tapi di daerah lain justru sedang mengalami musim hujan. Misalnya, pada bulan Juni-Juli, ketika sebagian besar wilayah di Sumatra, Jawa, Bali, NTB dan NTT sedang mengalami musim kemarau, namun sebagian wilayah di Maluku justru mengalami puncak musim hujan.

Definisi Musim Kemarau

Di BMKG, identifikasi musim kemarau dilakukan dengan cara menganalisis curah hujan yang terukur oleh jaringan pengamatan hujan BMKG di setiap Zona Musim. Zona Musim adalah wilayah yang dikenali memiliki karakter iklim yang mirip. Dengan cara ini, setiap Zona Musim dianggap memasuki musim kemarau secara bersamaan.

Awal musim kemarau ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian (10 harian) kurang dari 50 mm dan kemudian diikuti setidaknya dua dasarian berikutnya. Nilai batas 50 mm dipilih dengan mempertimbangkan nilai evapotranspirasi untuk wilayah dengan iklim lembab dan hangat/sedang adalah sekitar 3-7 mm per hari, misalnya seperti tercantum pada dokumen Badan Pangan Dunia (FAO) yang disusun oleh Prof Richard G. Allen (1998).

Dengan asumsi penguapan sebesar 5 mm/hari, maka dalam sepuluh hari akumulasi penguapan adalah 50 mm. Artinya, jika curah hujan dalam satu dasarian kurang dari 50 mm, maka terjadi defisit air karena penguapan lebih besar daripada curah hujan yang turun dan itulah sebabnya dikategorikan sebagai musim kemarau.

Meskipun musim hujan dan musim kemarau yang terjadi di Indonesia merupakan akibat adanya pergantian sistem angin monsun, namun definisi musim yang digunakan BMKG hanya merujuk kepada variabel curah hujan saja. BMKG tidak menggunakan perilaku angin atau variabel lain di atmosfer dalam mengidentifikasi musim. Dalam khasanah ilmu iklim memang dibedakan antara musim hujan/kemarau dengan musim angin monsun, misalnya seperti dijelaskan dalam kajian Huong Ngo-Thanh dkk yang terbit di Jurnal Theoretical and Applied Climatology tahun 2017.

BMKG menggunakan pendekatan bahasa yang populer berkembang di masyarakat dalam mendefinisikan musim. Seperti kita ketahui, kata musim di masyarakat Indonesia berasosiasi dengan sesuatu yang jumlahnya banyak, misalnya musim durian artinya sedang banyak durian atau musim pilek, artinya banyak yang sedang sakit pilek. Mirip dengan hal itu, kata musim hujan diartikan sedang banyak hujan, tanpa melihat saat itu angin monsun apa yang sedang berlangsung.

Pendefinisian musim berdasarkan perilaku atmosfer misalnya angin justru bisa menimbulkan kekeliruan informasi. Misalnya pada tahun La Nina, pada Juni angin yang dominan bertiup adalah angin monsun Australia sehingga seharusnya terjadi musim kemarau. Tetapi karena pengaruh La Nina, hujan masih banyak turun pada bulan itu.

Dalam definisi BMKG, sepanjang memenuhi kriteria batas hujan tadi, maka masih disebut musim hujan, meskipun sistem angin monsun yang berlangsung adalah monsun Australia. Sebaliknya pada Februari, sering terjadi kondisi curah hujan rendah di daerah Pesisir timur Sumatra bagian utara. Pada bulan itu, sistem monsun yang berlangsung adalah monsun Asia sehingga harusnya masuk kategori musim hujan jika berdasarkan angin monsunnya. Namun karena curah hujan yang rendah, BMKG mengidentifikasi daerah tersebut mengalami musim kemarau. Jadi musim di Indonesia tidak mutlak terkait dengan sistem angin monsun yang sedang berlangsung.

Peluang El Nino 2023

Hingga pertengahan Mei 2023, hasil pemantauan data suhu muka laut menunjukkan bahwa Samudra Pasifik masih menunjukkan kondisi ENSO Netral. Namun sejak berakhirnya La Nina pada Februari 2023, suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur terus menghangat.

BMKG mencatat nilai anomali suhu muka laut pada skala dasarian di Samudra Pasifik bagian tengah berturut-turut dari pertengahan April adalah +0.092, +0.260 (akhir April), +0.330 (awal Mei) dan +0.53 (pertengahan Mei). Dengan laju peningkatan suhu muka laut seperti ini, sangat mungkin nilai anomali suhu muka laut bulanan akan melewati batas kejadian El Nino yaitu sebesar +0.5 C pada Juni nanti. Hal inilah yang menjadi salah satu indikasi kehadiran El Nino pada semester kedua 2023.

Pada 12 Mei 2023, melalui halaman website-nya NASA memberitakan bahwa sepanjang Maret – April 2023, satelit Sentinel-6 Michael Freilich mengidentifikasi adanya pergerakan air hangat di Samudra Pasifik dari Pasifik bagian barat ke arah timur menuju pantai barat Amerika Selatan. Fenomena pergerakan air hangat yang dikenal sebagai gelombang Kelvin lautan (Oceanic Kelvin Wave) ini merupakan tanda-tanda awal kemunculan El Nino sebagaimana dijelaskan dalam kajian ahli dari NOAA yaitu William S Kessler dan Michael J McPhaden pada 1995. Hasil pengamatan satelit ini semakin menguatkan indikasi kehadiran El Nino 2023.

Isu La Nina Modoki

Sempat ramai diberitakan di media bahwa El Nino 2023 gagal terjadi dan berganti dengan fenomena La Nina Modoki. Apakah yang dimaksud dengan La Nina Modoki? La Nina Modoki adalah fenomena mirip La Nina namun pola sebaran dari suhu muka laut di Samudra Pasifik menunjukkan sedikit perbedaan.

Pada kejadian La Nina konvensional, suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga bagian timur mendingin secara luas sedangkan di bagian barat lautnya menghangat. Sementara itu, pada kejadian La Nina Modoki, suhu laut yang dingin hanya terpusat di wilayah tengah Samudra Pasifik sedangkan pada bagian timur dan barat lautnya menghangat.

Benarkah saat ini sedang terjadi La Nina Modoki? Data suhu muka laut menunjukkan bahwa sepanjang Maret - April ini kita sedang berada pada fase ENSO Netral. Suhu muka laut di Samudra Pasifik saat ini teramati hangat di bagian timur dan barat dan normal di bagian tengah. Kondisi hangat di bagian timur dan barat ini memang mirip La Nina Modoki, namun di bagian tengah, suhu muka laut Pasifik berada pada kategori normal, bukan mendingin.

Hangatnya suhu muka laut di Pasifik bagian barat adalah sisa dari kondisi La Nina yang kita alami selama 2020 - 2022. Sementara itu, hangatnya suhu muka laut di Pasifik timur adalah akibat dari proses perambatan air laut hangat dari Pasifik bagian barat sebagaimana terkonfirmasi oleh satelit Sentinel-6 Michael Freilich sebagai gelombang Kelvin. Artinya, kondisi laut hangat di Pasifik barat dan Pasifik timur adalah bagian dari proses evolusi dari kondisi La Nina yang beralih ke kondisi Netral dan berangsur menuju El Nino dan bukan manifestasi kondisi La Nina Modoki.

Dengan terus berpindahnya air laut hangat dari Pasifik bagian barat menuju Pasifik bagian timur, suhu di Pasifik barat akan berangsur menuju normal sedangkan suhu di Pasifik timur akan semakin hangat. Saat nanti itu terjadi, maka El Nino 2023 benar-benar terlahir.

Perlu diketahui bahwa El Nino 2023 diprediksi akan terjadi pada semester kedua. Artinya,pada Mei ini memang belum ada fenomena El Nino sehingga belum ada anomali iklim yang terjadi. Kondisi kering yang terjadi pada beberapa wilayah misalnya sebagian Jawa, Bali, NTB dan NTT adalah karena sebagian daerah tersebut sudah memasuki musim kemarau. Sementara itu, sebagian besar wilayah Indonesia lainnya hingga pertengahan Mei masih mengalami musim hujan. Maka menjadi keliru jika banyaknya hujan yang terjadi saat ini dianggap sebagai indikasi kegagalan terjadinya El Nino, karena El Nino nya sendiri diprediksi baru akan terjadi pada semester kedua 2023.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dr Supari pakar iklim, bekerja di BMKG

ADVERTISEMENT

Simak Video 'BMKG Ingatkan Potensi Fenomena El Nino Landa Indonesia':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads