Kampanye Pemilu Padat Modal
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Pustaka

Kampanye Pemilu Padat Modal

Sabtu, 10 Jun 2023 11:15 WIB
Muhamad Nur Fitriansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
kuasa padat modal
Jakarta -

Judul Buku: Kuasa Padat Modal; Penulis: Ridho al-Hamdi; Penerbit: Basabasi, 2022; Tebal: 396

Buku ini menelaah strategi kampanye elektoral yang digunakan beberapa partai politik (parpol) yang sukses pada Pemilu 2014 dan 2019. Penulisnya, Ridho al-Hamdi ingin menganalisis apa saja produk yang ditawarkan parpol; berapa biaya yang mesti dikeluarkan dalam kampanye; siapa saja aktor yang dilibatkan dalam kampanye itu dan dengan cara macam apa massa dikumpulkan; hingga bagaimana parpol memasarkan produk politik, dalam hal ini kandidat, kepada pemilih. Fokusnya pada empat parpol: Gerindra, Nasdem, PKB, dan PKS.

Di Pemilu 2014, Gerindra dan PKB sukses merangkak naik menduduki posisi tiga dan lima, dengan perolehan suara masing-masing 11,81% dan 9,04%. Padahal di pemilu sebelumnya, Gerindra hanya memperoleh 4,46% suara dan menempati posisi delapan. Sedangkan PKB memperoleh 4,94% suara dan bertengger di urutan tujuh. Di pemilu selanjutnya, kedua parpol ini juga mencatatkan tren positif lagi. Gerindra mencapai urutan dua dengan raihan suara sebanyak 12,57%. Sedangkan PKB menduduki posisi empat dengan perolehan suara sebanyak 9,69%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beda dengan dua parpol di atas, di Pemilu 2014 PKS justru mengalami penurunan cukup signifikan dengan hanya mendapat 6,79% suara dan menempati posisi tujuh, di mana pada pemilu sebelumnya parpol ini menduduki urutan empat dengan raihan suara sebanyak 7,88%. Meski begitu, pada Pemilu 2019, partai ini menunjukkan tren yang baik dengan memperoleh 8,21% suara dan menempati urutan enam.

Dalam kasus Nasdem, sejak mengikuti pemilu pertama kali pada 2014 dan mendapat suara sebanyak 6,72%, partai ini langsung tancap gas pada Pemilu 2019. Di pemilu itu, partai ini memperoleh 9,05% suara dan duduk di urutan lima. Bagaimana strategi mereka dan apakah ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya?

ADVERTISEMENT

Studi yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa nyaris tidak ada perbedaan strategi kampanye di antara parpol yang dikaji. Adapun sedikit perbedaannya hanya pada pendekatan psikologis yang dimainkan parpol untuk mendekati massa, selain juga dampak citra, dalam hal ini ketokohan yang dicitrakan parpol.

Sementara variabel lain mayoritas seragam. Untuk menaikkan elektabilitas, misalnya, mengusung artis sebagai caleg adalah jalan yang dipilih. Pada 2014, Gerindra mengusung 15 orang, PKB 12 orang, dan pada 2019 dari Nasdem sebanyak 45 orang. Kita barangkali familiar dengan nama-nama seperti Irwansyah, Jamal Mirdad, Poppy Ramadhanie, Tommy Kurniawan, Iyeth Bustami, Ressa Herlambang, Sahrul Gunawan, Olla Ramlan, Cut Meyriska, Adly Fairus, Nafa Urbach, dan beberapa nama lain yang mencalonkan diri di pileg sebelumnya.

Adapun menyangkut strategi mengumpulkan massa, satu parpol melakukan apa yang dilakukan parpol lain. Paling umum adalah menggaet artis atau tokoh familier lain, baik sebagai bintang iklan atau pun sekadar menyediakan panggung hiburan. Tidak jarang juga parpol atau organisasi sayapnya mengadakan kegiatan sosial seperti pembagian sembako, posko pengobatan gratis, dan sejenisnya.

Bagaimana dengan biaya yang dikeluarkan parpol dan caleg selama masa kampanye? Inilah salah satu perkara penting yang menarik dan perlu digarisbawahi dalam kajian ini. Seperti diuraikan penulis, dana kampanye yang diterima dan dihabiskan parpol, yang bersumber baik dari caleg, "donatur", dan sebagainya, luar biasa besar. Di Pemilu 2014, totalnya mencapai Rp 3,1 triliun.

Gerindra, sebagai contoh, menjadi partai dengan penerimaan dan pengeluaran dana terbesar dengan total Rp 435 miliar. Meski angka ini tampaknya kurang tepat karena data KPU merilis "sumbangan" dana dari caleg yang diusung Gerindra saja sudah mencapai Rp 491 miliar (hal. 132). Belum lagi sumbangan-sumbangan dari sumber lainnya. Sedangkan dana kampanye yang diterima dan dikeluarkan PKB, baik dari para caleg atau sumber lainnya sekitar Rp 224 miliar. Tujuh penyumbang paling besar rata-rata menyetor uang di atas Rp 1 miliar (hal. 183).

Adapun dana kampanye yang dilaporkan Nasdem ke KPU senilai Rp 259,4 miliar. Rinciannya, uang yang bersumber dari partai sekitar Rp 80,6 miliar, caleg kurang lebih Rp 177,8 miliar, dan pihak lain Rp 1 miliar. Bila ditotal, menurut Wasekjen DPP Nasdem Dedi Ramanta, rata-rata tiap caleg menyetor uang sekitar Rp 4 miliar kepada partai (hal. 227). Ada dua caleg yang totalnya lebih dari Rp 4 miliar. Masing-masing maju sebagai caleg di Dapil DKI Jakarta 3 dan Dapil Jabar 7. Sedangkan dana kampanye yang dilaporkan PKS ke KPU kurang lebih senilai Rp 150 miliar. Tujuh caleg penyetor paling banyak rata-rata mengeluarkan Rp 1,5 miliar (hal. 284).

Angka-angka di atas tentu bukan jumlah akhir, karena nilai sebenarnya amat mungkin lebih besar lagi. Data di atas hanya perkiraan awal yang bersumber dari data resmi KPU. Ini belum lagi menghitung besaran uang yang dikucurkan tiap-tiap caleg di lapangan. Sebab jumlah di atas hanya angka yang disetor caleg ke partai. Untuk terjun ke lapangan, caleg mesti merogoh kocek lagi.

Caleg PKS yang bertarung di Dapil DKI Jakarta 2, misalnya, menghabiskan Rp 1,6 miliar selama enam bulan kampanye. Senilai Rp 1 miliar dipakai untuk alat peraga kampanye dan Rp 700 juta biaya kampanye lain-lain di lapangan. Sedangkan caleg parpol yang sama yang maju pada Dapil Jateng 5 mengeluarkan tidak kurang dari Rp 2 miliar selama masa kampanye tersebut.

Selain dana kampanye, soal yang juga bisa ditangkap dari studi ini ialah menyangkut dominasi pebisnis yang maju sebagai caleg. Persentase pebisnis yang diusung paling banyak berlatarbelakang profesi itu. Dari Gerindra, 295 dari 562 orang atau sekitar 52,49% di antaranya adalah pebisnis. Sedangkan pada PKB, persentasenya 35,39%. Dari 551 orang yang maju, caleg pebisnis sebanyak 195 orang.

Kemudian pada Nasdem, pebisnis menguasai lebih dari setengah jumlah caleg, persisnya sebanyak 54,78%. Dari 575 orang yang diusung partai ini, 315 di antaranya adalah pebisnis. Sedangkan PKS jumlahnya lebih banyak lagi dari tiga parpol di atas. Dari 533 caleg yang diusung partai ini, 367 orang (69%) dari mereka bergelut di bidang tersebut. Fenomena ini jelas mengindikasikan bahwa pertautan bisnis dan politik begitu erat di Indonesia.

Dari berbagai temuan itu, penulis menyimpulkan bahwa proses demokrasi elektoral di negara ini menghabiskan begitu banyak biaya, dan kemudian mengerangkakan sesuatu yang ia sebut konsep "padat modal". Modal yang ia maksud tidak saja modal ekonomi, tapi juga modal nilai, modal sosial, dan modal citra. Modal nilai menyangkut strategi parpol dalam merancang produk kebijakan yang dijual ketika kampanye berlangsung dan past record mereka di masa lalu.

Modal sosial bicara soal jejaring yang dimiliki parpol baik lembaga maupun perorangan yang berguna sebagai pendongkrak suara kelak. Sedangkan modal citra terkait cara parpol membentuk image elite-elite partainya di mata publik. Agar bisa memenangkan pertarungan, tiap-tiap modal ini menjadi sesuatu yang mesti diusahakan parpol.

Tentu studi ini sangat bermanfaat bagi kita untuk melihat kenyataan politik hari ini, khususnya menyangkut kampanye elektoral. Meski begitu, masih ada beberapa hal yang kurang dieksplorasi lebih jauh. Misalnya bagaimana dampak kampanye seperti yang lumrah dilakukan caleg dan parpol hari iniβ€”yang hanya mementingkan persoalan pragmatis mereka sajaβ€”bagi kesadaran dan kesejahteraan rakyat, pun bagi demokrasi Indonesia secara umum. Atau dalam soal lain, terkait klaim dan program yang diusung caleg ketika kampanye, dan bagaimana semua itu absen dengan terbitnya berbagai undang-undang yang merugikan mayoritas rakyat berapa tahun belakangan ini.

Muhammad Nur Fitriansyah
penulis asal Flores

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads