Isu krisis iklim tiba-tiba menjadi menarik. Tidak banyak orang yang membicarakan dan mempedulikannya, padahal ini adalah isu yang menyangkut kehidupan miliaran manusia termasuk kita semua.
Krisis iklim adalah suatu krisis yang dialami hampir seluruh masyarakat di dunia. Perubahan iklim terjadi saat suhu rata-rata bumi meningkat dalam kurun waktu tertentu, disebabkan oleh efek gas rumah kaca yang terjebak di stratosfer. Krisis iklim kini hangat dibicarakan oleh masyarakat sekitar.
Semakin dalam ditelusuri, ternyata permasalahan iklim yang hadir di masyarakat bukan hanya masalah pencemaran udara. Permasalahannya multifaktorial dan meliputi sebagian besar kehidupan bermasyarakat kita semua.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Premis utama dari perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca antropogenik (yang dibuat oleh manusia) pasca revolusi industri di akhir abad ke-19 mulai merusak keseimbangan gas rumah kaca bumi dan menyebabkan pemanasan global. Pemanasan global yang lambat laun akan mengubah tatanan iklim stabil bumi yang sebelumnya bisa menopang keberlangsungan dan pertumbuhan peradaban manusia mulai dari 10,000 tahun yang lalu, atau dalam kurun periode holosen.
Apa hubungannya gas rumah kaca terhadap pemanasan global? Gas rumah kaca adalah gas yang dengan struktur kimianya bisa memperangkap panas radiasi matahari jauh lebih baik daripada jenis gas lainnya yang terdapat di atmosfer bumi. Hal ini menyebabkan atmosfer bumi memperangkap lebih banyak energi panas, akibatnya suhu atmosfer bumi pun memanas (pemanasan global). Implikasi dari hal ini adalah fenomena cuaca ekstrem seperti badai, gelombang panas, hujan ekstrem, kebakaran hutan, kekeringan, gagal panen, dan lain-lain akan lebih sering terjadi. Tidak hanya itu, intensitas dari cuaca ekstrem tersebut akan lebih intens dan berlangsung lebih lama.
Fenomena lain seperti kenaikan muka air laut karena melelehnya lapisan es di dua kutub bumi dan di cadangan es lainnya akan lebih cepat terjadi. Umat manusia akan dituntut untuk melakukan adaptasi terhadap iklim yang sedang berubah ke arah iklim yang baru. Dalam prosesnya, jutaan manusia akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Mereka yang harus mengungsi karena krisis iklim mendapat julukan sebagai 'pengungsi iklim'.
Bukan hanya dampak dari krisis iklim saja yang akan mempengaruhi sebagian besar kehidupan kita, namun juga pengaruh kehidupan kita sehari-hari terhadap krisis iklim. Premis utama dari perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca dari kegiatan manusia (antropogenik) terlalu banyak hingga mengganggu keseimbangan iklim lewat pemanasan global. Artinya, jika kita ingin memitigasi dampak dari krisis iklim kita harus dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sesedikit mungkin.
Emisi gas rumah kaca antropogenik sendiri adalah gas buangan yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dan dapat berupa berbagai macam senyawa gas, mulai dari karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NO2), dan berbagai macam lainnya. Masalahnya, hampir semua kegiatan manusia yang dilakukan untuk mempertahankan peradabannya saat ini menghasilkan gas rumah kaca dalam berbagai bentuk. Untuk membangkitkan energi listrik misalnya.
Sekitar 80% energi listrik yang dihasilkan di seluruh dunia berasal dari bahan bakar fosil yang membuang gas CO2 sebagai gas buang utamanya. Selain itu, 94% transportasi yang digunakan untuk seluruh kebutuhan manusia masih memakai bahan bakar fosil yang lagi-lagi mengeluarkan produk gas buangan utamanya yaitu CO2.
Untuk menambang dan memproduksi bahan bakar fosil hingga bisa dipakai pun juga mengeluarkan gas buangan CH4. Demi memberi makan seluruh manusia di muka bumi kita menggunakan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Proses-proses itu berkontribusi dalam menambah gas rumah kaca buangan berupa CH4 yang berasal dari pembiakan hewan ternak hingga proses memanen beras yang totalnya mencapai 12% total emisi gas rumah kaca global. Kemudian untuk mendirikan bangunan-bangunan yang berdiri megah dengan beton pun menghasilkan gas rumah kaca CO2 sebagai gas hasil reaksi kimia dari semen.
Betapa luasnya lingkup kehidupan sehari-hari kita berdampak pada krisis iklim lewat emisi gas rumah kaca. Umat manusia seperti menggali kuburnya sendiri dengan cangkulnya sendiri. Tentu untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia diperlukan sumber energi yang tidak sedikit. Namun pola konsumsi manusia terhadap bahan bakar fosil seperti menunjukkan bahwa kita sedang dalam fase kecanduan bahan bakar fosil.
Memang benar bahwa bahan bakar fosil lebih mudah diekstraksi dan diolah, serta juga lebih murah dibanding harus mencari sumber energi alternatif yang lain. Namun, dengan kita membiarkan hal ini terjadi, kita sedang menukar masa depan anak cucu kita untuk uang dan kemudahan kita sekarang. Yang lebih memprihatinkan adalah banyak dari masyarakat kita yang dengan terbuka mengakui bahwa masalah ini nyata adanya.
Banyak dari mereka yang menolak percaya bahwa perubahan iklim sedang terjadi dan kegiatan manusia adalah salah satu faktor penggerak utamanya. Sialnya, banyak dari mereka yang merupakan politisi di pemerintahan dan orang yang mempunyai kuasa di luar pemerintahan yang seharusnya bisa melakukan gebrakan ataupun langkah mitigatif yang jauh lebih efektif daripada kebanyakan masyarakat umum. Mereka seperti melanggengkan praktik-praktik tidak ramah iklim dengan membuat kebijakan- kebijakan yang sebetulnya kurang bijak karena meninggalkan konsiderasi iklim.
Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca antropogenik tentunya dibutuhkan usaha ekstra masif yang sepertinya hanya bisa terjadi jika kita melakukan revolusi gaya hidup secara total. Dengan mengurangi konsumsi kita terhadap produk-produk dan layanan yang mengeluarkan gas rumah kaca yang tinggi dan mulai merombak cara kita menghasilkan energi untuk menopang peradaban maka nantinya emisi gas rumah kaca akan menurun dan efek dari krisis iklim akan bisa termitigasi dengan baik. Dibutuhkan perubahan paradigma cara berpikir kita semua untuk mulai mengambil langkah menuju peradaban manusia yang ramah iklim.
Joan Angelina Sembiring mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga