Apabila diminta untuk memilih 100 "manusia Indonesia" terbaik yang lahir pasca Proklamasi (1945), dengan tidak ragu saya akan memasukkan Mochtar Pabottinggi dalam daftar tersebut. Dalam pembacaan saya yang sumir dalam mengamati perjalanan Indonesia modern, tidak banyak intelektual publik yang sampai akhir hayatnya konsisten mendorong nilai-nilai demokrasi, kebangsaan, kesetaraan, dan kemanusiaan seperti dirinya.
Kontribusi Pabottinggi tidak sebatas di isu sosio-politik kebangsaan, namun juga merambah di bidang kesusastraan. Nama Pabottinggi melekat di kepala saya setelah membaca novel Cintaku di Kampus Biru yang ditulis Ashadi Siregar. Dalam novel yang dikonotasi "negatif" itu, Ashadi menyelipkan nama Pabotinggi, bersama-sama dengan Peter Hagul dan Anhar Gonggong, sebagai seorang representasi mahasiswa yang serius dalam kosmologi akademis di UGM pada 1970-an.
Namun perlahan-lahan saya mulai menyadari bahwa nama Pabotinggi bukanlah sebuah fiksi. Ia tokoh nyata yang menghabiskan hidupnya sebagai peneliti dan intelektual publik di LIPI, dan kebetulan juga seorang sahabat Ashadi. Seperti amatan penulis novel itu, keseriusan dan kecemerlangan Pabottinggi terlihat dalam pemilihan topik disertasi doktoralnya di University of Hawai'i Manoa, Nationalism and Egalitarianism in Indonesia 1908-1980. Ia lulus dengan mendapat pujian tertinggi (Summa Cumlaude).
Sebagai juniornya di Kampus Biru, saya cukup beruntung dapat mengakses karya akademiknya itu dan disertasi Dhaniel Dhakidae, The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry. Sayangnya, dua karya raksasa intelektual Indonesia itu masih mengendap di lorong akademik (belum dialihbahasakan) sehingga tampaknya belum diletakkan dengan layak dalam peta pengetahuan kita.
Dalam suatu pertemuan dengan Pabottinggi, saya sempat mengutarakan keinginan untuk menerjemahkan disertasinya itu agar dapat menjadi warisan dan dibaca generasi-generasi sesudahnya. Alangkah sayangnya karya sepenting itu hanya bisa diakses segelintir peneliti. Beberapa kawan-kawan pun sudah setuju untuk membantu. Namun, Ia selalu menghindar; katanya perlu waktu meng-update beberapa hal. Saya menduga, barangkali ia ingin menerjemahkan sendiri karyanya itu guna menghindari defiasi pokok-pokok pikir kerisauannya.
Meskipun Pabottinggi lebih dikenal sebagai seorang pakar politik, namun cara pandangannya melampaui disiplin pengetahuan. Ia tidak terjebak pada klusterisasi pohon ilmu pengetahuan modern yang kerap mencacah disiplin pengetahuan dalam kategorisasi tertentu. Inilah yang membuat amatannya berbeda dengan pengamat politik lainnya. Cara pandangannya tentang politik tidak terjerumus pernak-pernik perebutan kekuasaan an sich, namun melampaui itu; ia melihat politik sebagai social engineering untuk mencapai nilai-nilai kebajikan universal.
Selain bekerja sebagai analis politik, Pabottinggi juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Sejumlah puisinya pun dipilih Linus Suryadi dalam Antologi Puisi Indonesia Modern (1987). Kegemarannya terhadap sastra itu sudah terlihat ketika sejak remaja memenangi sejumlah kompetisi menulis di kampung halamannya di Bulukumba. Bisa jadi, hal inilah yang mungkin melatarbelakangi dirinya memilih melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Budaya UGM dan beraktivitas di teater Gadjah Mada. Apalagi pada waktu itu ada banyak nama besar yang aktif di sana, seperti WS Rendra, Putu Wijaya, dan Almak Baldjun.
Penasbihan dirinya sebagai sastrawan pun makin terlihat ketika ia menulis novel autobiografinya, Burung-Burung Cakrawala (2013). Menebak pilihan judulnya, saya merasa ada semacam pantulan Mangunwijaya di sana. Ide humanisme universal Mangunwijaya sebagaimana yang terlihat dalam dua masterpiece-nya: Burung-burung Rantau dan Burung-burung Manyar seakan menjadi ilham bagi Pabottinggi dalam merepresentasikan perjalanan hidupnya. Sayangnya, entah kenapa dalam berkali-kali bertemu dengannya, saya alpa menanyakan langsung kepadanya.
Satu hal yang menarik dari diri Pabottinggi adalah soal keberjarakannya dengan kekuasaan. Ketika semua orang-orang berbondong-bondong menyerahkan kehormatan pengetahuan di bawah terompah kekuasaan, ia dengan sadar menghindarinya. Dengan segala kapasitas pengetahuan yang dimilikinya, tentu saja mudah bagi dirinya untuk berada dalam lingkaran kekuasaan. Namun ia memilih untuk berjarak, meneropong dari pinggiran, dan mendedikasikan hidupnya sebagai intelektual publik. Sebuah sikap asketisme yang langka untuk kita lihat akhir-akhir ini.
Saya teringat sebuah ucapan dari seorang pakar politik terkemuka, (alm) Riswanda Imawan: An eagle flyes alone. Begitu juga Pabotinggi. Elang itu sudah terbang tinggi mengarungi angkasa dan tak akan kembali. Selamat jalan, Bung!
Erwin Natosmal Oemar mahasiswa Pascasarjana University of Turin, Italia
(mmu/mmu)