Salah satu kriteria figur cawapres yang didengungkan beberapa elite PDI Perjuangan maupun pengamat politik belakangan ini adalah sebaiknya berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU). Dari kubu Anies dan Prabowo, secara samar-samar sepertinya juga lebih menyukai kriteria ini.
Untuk meyakinkan, disebutlah nama Hamzah Haz, Jusuf Kalla, dan KH Ma'ruf Amin sebagai referensi. Seingat saya, Hamzah dan Jusuf Kalla menjadi wapres pada masanya terutama bukan karena digembar-gemborkan sebagai warga NU saat awal pencalonan maupun semasa kampanye. Keduanya masing-masing maju lebih sebagai politikus dengan kompetensi di bidang ekonomi.
Selama berkiprah di DPR, Hamzah lebih sering berkutat di komisi ekonomi dan anggaran. Dalam kabinet BJ Habibie, dia dipercaya menjadi Menteri Negara Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. Sedangkan Jusuf Kalla lebih dulu dikenal sebagai pengusaha yang kemudian dipercaya menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan/Kepala Bulog pada era Gus Dur. Kemampuan Kalla memimpin birokrasi kian menonjol dalam kabinet Megawati Soekarnoputri. Kala itu dia dipercaya sebagai Menko Kesra.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan lain Jusuf Kalla kemudian digandeng Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004, dan menang, adalah kemampuan logistiknya. Jadi pertimbangan utamanya bukan karena dia tokoh NU atau orang yang religius.
Begitupun ketika dijodohkan dengan Jokowi sepuluh tahun kemudian. Dia dipilih lebih karena faktor senioritasnya di pemerintahan sehingga diharapkan dapat menjadi mentor Jokowi. Pengalaman birokrasi Jokowi yang cuma dua tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta dianggap belum matang untuk tampil secara nasional.
Jadi soal ke-NU-an wapres atau cawapres sejatinya bagian dari mematut-matutkan. Atau 'cocoklogi' untuk tidak menyebut sebagai mitos belaka.
Bagaimana dengan KH Ma'ruf Amin? Dalam kasus ini, dia memang lebih ditonjolkan kekiaiannya karena kondisinya menuntut demikian. Waktu itu Jokowi kerap diserang oleh sekelompok umat Islam dan kaum islamis sebagai antiulama dan anti-Islam. Dengan menggandeng Kiai Ma'ruf, diasumsikan mereka akan kehilangan alasan untuk terus menyerang Jokowi dengan isu tersebut.
Ada juga yang menafsirkan bahwa pilihan kepada Ma'ruf Amin lebih untuk mengamankan potensi naiknya 'putri mahkota' di PDIP, yakni Puan Maharani. Kalangan internal PDIP berhitung Kiai Ma'ruf tidak akan menjadi ancaman pada Pilpres 2024 mengingat faktor usia. Untuk diketahui, Kiai Ma'ruf lahir di Desa Kresek, Tangerang, pada 11 Maret 1943.
Saat pemilihan presiden berlangsung pada 2019, sosok Ma'ruf Amin, yang berasal dari Banten, nyatanya tak memberi sumbangan suara cukup signifikan. Di Banten, duet Jokowi-Ma'ruf cuma meraih 2.537.524 juta suara, sementara Prabowo-Sandiaga mendapatkan 4.059.514 suara. Di Jawa Barat sebagai induk Provinsi Banten pun demikian. Jokowi-Ma'ruf meraih 10.750.568 suara (40,07%), sementara Prabowo-Sandi meraih 16.077.446 suara (59,93%).
Pada Pilpres langsung pertama, 2004, sebetulnya ada rujukan menarik untuk direnungkan bersama. Kala itu ada tiga tokoh NU yang ikut kontestasi, yakni KH Hasyim Muzadi, Salahuddin Wahid, dan Hamzah Haz. Hasilnya, mereka keok oleh duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK).
Pada putaran pertama, SBY-JK berada di posisi teratas dengan meraih 39.838.184 juta suara atau 33,574%. Sementara itu, Megawati, yang menggandeng Hasyim, berada di posisi kedua dengan 31.567.104 suara (26,605%). Di bawahnya ada Wiranto-Salahuddin, yang meraih 26.286.788 suara (22,154%), dan Hamzah-Agum Gumelar di posisi buncit dengan jumlah suara 3.569.861 juta (3,009%).
Pada putaran kedua, Megawati dan Hasyim meraup 44.990.704 suara (39,38%), sedangkan duet SBY-JK meraih 69.266.350 (60,62 persen). Padahal kala itu Hasyim menjabat Ketua Umum PBNU. Kenapa demikian? Ya, karena realitasnya warga NU ada di banyak parpol, seperti PPP, PKB, dan Golkar.
Kembali ke kriteria cawapres harus NU, dari sederet nama yang disebut-sebut masuk daftar, boleh dibilang ya hampir semuanya punya latar NU. Khofifah Indar Parawansa, misalnya, selain penguasa Jawa Timur (Jatim), dia juga memimpin Muslimat NU selama lebih dari 20 tahun.
Lalu ada Prof Mahfud Md, yang pernah menjadi pengurus Ansor dan Ketua Dewan Kehormatan ISNU (Ikatan Sarjana NU). Mantan Ketua MK ini juga punya hubungan cukup dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati karena pernah sama-sama aktif di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Juga ada Muhaimin Iskandar. Di lingkungan NU, dia pernah menjadi Ketua Umum PMII, dan memimpin PKB sejak 2005.
Bagaimana dengan Sandiaga Uno dan Erick Thohir? Bila merujuk pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Sandiaga sudah otomatis menjadi anggota NU karena mertuanya adalah NU asli. Mien S Uno, ibunda Sandi, juga merupakan warga NU yang bertetangga dengan Said di Cirebon.
Erick juga NU setelah menjadi anggota kehormatan Banser sejak November 2021. Bahkan, pada Februari 2023, dia dipercaya PBNU menjadi Ketua Steering Committee Panitia Harlah ke-100 NU di Sidoarjo. Selain itu, Erick juga diklaim berhasil menggerakkan kemandirian NU dengan membantu mendirikan 250 badan usaha milik NU atau BUMNU di seluruh Indonesia.
Tim penasihat Erick juga cukup cerdik untuk mendekatkannya dengan Megawati sejak jauh-jauh hari. Tak cuma secara fisik, tapi juga emosi. Erick pernah mendampingi Megawati meninjau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kesehatan dan Pariwisata di Sanur, Bali, pada 16 Januari 2023. Sebelumnya, 13 Juni 2022, dia juga mendampingi Megawati saat mengunjungi ruang Dr Ir Sukarno, yang digunakan sebagai galeri seni di lantai 6 dan relief di lantai dasar Sarinah, pusat perbelanjaan pertama di Indonesia. Erick juga pernah menyambangi kediaman Sukarno dan Fatmawati di Bengkulu.
Baik Sarinah maupun KEK Sanur memiliki kesamaan, yakni upaya Erick dalam melestarikan warisan Presiden RI Pertama Sukarno atau Bung Karno. Di luar kompetensi dan elektabilitas yang lumayan moncer, Erick maupun Sandiaga juga memiliki logistik paling oke.
Tapi, di luar lima tokoh itu, mencuat nama Prof Nasaruddin Umar. Lelaki kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959, itu pernah menjadi Wakil Menteri Agama, dan saat ini dipercaya sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Di PBNU, Nasaruddin menjadi salah satu Rais Syuriah masa khidmat 2022-2027.
Sejauh ini dia jauh dari ingar-bingar ambisi politik dan kekuasaan. Karena itu, potensi untuk menjadi 'matahari kembar' saat memimpin roda pemerintahan atau menjadi pesaing di pilpres berikutnya relatif kecil sekali.
Sayangnya, menurut para pengamat, elektabilitas Nasaruddin sejauh ini tidak masuk hitungan di survei-survei. Di tengah elektabilitas Ganjar yang tak semoncer Jokowi pada Pilpres 2019, sangat berisiko bila menjodohkan dengan Nasaruddin.
Soal potensi menjadi 'matahari kembar' atau menjadi pesaing pada pilpres berikutnya bila memilih cawapres di luar Nasaruddin, bisa disiasati dengan membuat semacam MoU. Buatlah pembagian tugas sebaik mungkin dan kesepakatan lain demi menjadi presiden dan wapres terpilih tetap berduet hingga akhir masa tugas, bukan justru berduel di tengah jalan.
Di pihak lain, agar isu NU atau suara warga NU tak sekadar dibutuhkan saat pemilu dan pilpres, sebaiknya juga dibuat program-program yang terukur sebagai komitmen untuk memperbaiki kesejahteraan mereka.
Sudrajat, wartawan detikcom
Lihat Video: Rommy PPP Ungkap Kesamaan Pola Megawati Saat Memilih Cawapres