Kasus 8 Triliun dan Isu Penjegalan Capres
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kasus 8 Triliun dan Isu Penjegalan Capres

Rabu, 07 Jun 2023 14:00 WIB
Imam Anshori Saleh
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Komisioner Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu (26/9/2013). File/detikFoto.
Imam Anshori Saleh (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -

Di publik ramai diskursus kaitan kasus dugaan korupsi proyek Base Transceiver Station (BTS) 4G senilai Rp 8 triliun lebih yang melibatkan Menteri informasi dan Komunikasi Johnny G Plate. Ada yang menuding ini bagian dari upaya penjegalan terhadap Bakal Calon Presiden (Bacapres) Anies Baswedan. Logika yang mereka bangun, parpol pengusung utama Anies Baswedan adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem), sementara itu Johnny Plate Sekjen Partai Nasdem.

Jadi kasus Johnny Plate itu bukan semata hukum, tapi kental dengan aroma politik. Kecurigaan ini dibantah keras oleh Kejaksaan Agung, pemerintah, dan koalisi parpol pendukung pemerintah. Penjelasannya cukup gamblang pula. Johnny Plate ditangkap dan ditahan itu murni hukum. Tak mungkin menersangkakan dan menahan seorang menteri tanpa dua alat bukti kuat. Jika tidak terbukti akan sangat riskan dan mencoreng wajah Kejaksaan Agung dan pemerintah. Penetapan tersangka Johnny Plate pun tidak tiba-tiba. Ada proses panjang penyelidikan dan penyidikan.

Di luar perang antararus utama itu muncul spekulasi liar bahwa dana Rp 8 T itu mengalir ke parpol untuk membiayai keperluan pemenangan parpol dan tim sukses capres Anies Baswedan. Tentu parpol yang dituding pun membantah keras. "Buktikan kalau uang korupsi itu mengalir ke partai atau tim capres," kata petinggi Partai Nasdem. Benar tidaknya isu liar itu akan terbukti dalam pengusutan dan dalam persidangan di pengadilan kelak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sulit menghentikan isu liar ini di tahun politik saat ini. Juga untuk memilah apakah kasus Rp 8 T ini murni hukum atau beraroma politik. Antara hukum dan politik itu biasa berkelindan. Pihak pemerintah dan partai koalisi pemerintah jelas dan tegas menyebut kasus ini murni hukum. Sebaliknya partai nonpemerintah dan sejumlah pengamat merasakan kasus ini berlatar belakang politik. Kedua "mazhab" itu sulit dipertemukan. Masing-masing sama-sama memiliki argumen kuat.

Ke Mana Aliran Dana?

ADVERTISEMENT

Kita tidak mesti terjebak pada pemihakan pada salah satu dari dua "mazhab" itu. Juga menyangkut perbedaan pendapat apakah dana yang dikorupsi itu untuk kepentingan pribadi Johnny Plate dan kawan-kawan atau mengalir ke parpol tempat bernaung sang tersangka. Yang jelas jika dana yang dikorup itu untuk kepentingan pribadi Johnny Plate, terlalu besar, too much. Rp 8 triliun itu bukan jumlah yang kecil.

Di era kepemimpinan Presiden Jokowi bukan kali ini saja menteri terbelit kasus korupsi. Selain Johnny Plate ada Idrus Marham (Golkar), Imam Nahrawi (PKB), Edhy Prabowo (Gerindra), dan Julian Batubara (PDIP). Andai pemerintah "tebang pilih" penersangkaan Johnny Plate berlatar belakang politik, pasti empat menteri (yang semuanya dari parpol koalisi pemerintah) tidak dijadikan tersangka dan dibui karena korupsi.

Jadi dugaan penersangkaan Johnny Plate karena aroma politik bisa diabaikan. Fakta lain, kerugian keuangan dari kasus BTS 4G ini nyata, terdiri atas tiga hal, yakni biaya kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun. Jadi unsur pidananya jelas, tidak mengada-ada.

Dengan dua indikator yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa kasus BTS 4G ditangani Kejaksaan Agung memang berlatar belakang hukum karena merupakan tindak pidana. Soal murni tidaknya itu kelak akan dibuktikan dalam persidangan nanti. Termasuk secara transparan bakal diketahui aliran dana sebesar Rp 8 T itu, apakah hanya dinikmati Johnny Plate dkk, atau ke partai atau pihak-lain seperti tim sukses pemenangan capres Anies Baswedan.

Yang jelas sejak Johnny Plate ditahan, hasil survei elektabilitas Anies memang terus turun. Hasil survei teranyar Indikator Politik Indonesia dalam simulasi tiga nama, elektabilitas Anies secara berturut-turut turun, yakni 29,4 persen pada Juli 2022, Oktober 2022 (28,4 persen), Januari 2023 (24,2 persen), April 2023 2022 turun jadi 22,2 persen, awal Mei 2023 ( 21,8 persen), dan akhir Mei 2022 tinggal 18,9 persen. Wallahu a'lam bissawab.

Imam Anshori Saleh Pimpinan Komisi Yudisial 2010-2015

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads