Pertemuan intens antar elite Partai Golkar dan PAN dalam dua bulan terakhir mungkin saja akan berakhir dengan kejutan. Kabarnya kedua parpol mulai serius membahas kemungkinan duet Airlangga Hartarto-Zulkifli Hasan. Bagaimana melihat dua nama tersebut? Adakah peluang untuk menang? Bagaimana dampaknya bagi koalisi yang lain?
Saya melihat manuver itu bagian dari siasat kedua partai untuk berbicara banyak di Pilpres 2024. Mereka tampak ingin membelah arus opini publik yang selama ini hanya berputar di tiga nama bacapres, yaitu Prabowo, Ganjar dan Anies.
Saya kira para elite di Golkar dan PAN juga tahu bahwa elektabilitas AH (Airlangga Hartarto) belum sekuat tiga nama tersebut. Tapi mereka sepertinya punya tujuan lain. Apa itu?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, bila Pilpres diikuti tiga pasangan calon atau lebih, maka peluang untuk terjadinya dua putaran sangat besar. Golkar dan PAN kelihatan ingin memperpanjang pertarungan, sembari berharap negosiasi di babak lanjutan. Mereka memiliki pengalaman dalam negosiasi di pemilu-pemilu sebelumnya. Paling tidak mereka akan memiliki nilai jual tinggi di putaran kedua, jika AH-ZH (Airlangga Hartarto-Zulkifli Hasan) gagal mengamankan posisi runner-up. Sebab bila keduanya bergabung ke kubu Prabowo atau Ganjar saat ini, maka di putaran berikutnya langkah politik keduanya tidak akan seluas bila mereka maju sendiri.
Kedua, ini opsi terbaik bagi Airlangga untuk mewujudkan harapan Golkar sebagai partai terbesar kedua. Grassroot Golkar sangat ingin partainya kembali menjadi prominent power, sebagaimana yang mereka mainkan di awal-awal reformasi. AH juga memiliki mandat untuk melakukan apapun terkait Pilpres, termasuk koalisi dan mencalonkan diri.
Amanat Munas Golkar 2019, Rakernas 2021, dan Rakernas 2023 kembali menguatkan amanat tersebut, dan sangat disayangkan jika Golkar hanya menjadi pengusung Capres yang sekarang ada. Dengan bahasa yang lebih direct, Airlangga dituntut setidaknya mendapatkan tiket capres / cawapres guna mengangkat citra Golkar sebagai partai besar. Sindrome Golkar pasca Reformasi yang kesulitan melahirkan tokoh populer di era demokrasi langsung, juga harus dipecahkan sekarang ini. Dengan kelebihan dan kekurangannya, AH saat ini adalah salah satu menteri terpopuler di kabinet. Ini momentum yang harus dimanfaatkan. Pasalnya momentum di politik tidak datang dua kali.
Ketiga, bagi PAN, jika ZH lolos sebagai Cawapres, ini juga akan meneruskan tradisi partai matahari biru untuk mendapatkan gain, meski PAN hanyalah partai menengah. Di 2014 lalu, PAN berhasil mendorong Hatta Rajasa sebagai Cawapres, melalui serangkaian negosiasi yang tidak mudah. Kini ZH ditantang untuk mewujudkan kembali tradisi itu, dimana PAN dituntut mampu memaksimalkan ruang negosiasi dalam politik yang dinamis.
Zaenal A Budiyono
Dosen FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) / www.dcsc.asia .
(dnu/dnu)