Prabowo dan "Ageisme" Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Prabowo dan "Ageisme" Politik

Rabu, 07 Jun 2023 11:30 WIB
Dwi Munthaha
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Prabowo dan
Dwi Munthaha (Foto: dok pribadi)
Jakarta -

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, nama Prabowo Subianto menjulang di berbagai hasil survei. Jika terpilih, dia akan memulai jabatan tersebut pada usia 73 tahun. Ini artinya Prabowo akan menjabat hingga usia 78 tahun. Sebuah momentum bersejarah bagi dirinya, karena dia akan dilantik selang tiga hari setelah ulang tahunnya. Sejarah lain yang akan tertoreh, Prabowo melampaui rekor usia mantan mertuanya, Presiden Soeharto dan semua Presiden Indonesia lainnya saat mengakhiri kekuasaannya.

Usia tua saat ini bukan lagi menjadi halangan untuk tetap dapat berkarier dalam dunia politik. Tidak hanya di Indonesia, pemimpin politik dengan usia tua sudah menjadi fenomena global. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, belum lama ini menyatakan hasratnya untuk kembali mengikuti pemilihan calon presiden 2024. Artinya, jika mendapatkan dukungan Partai Demokrat, Biden akan memperpanjang rekornya dalam perpolitikan di AS. Dia telah melampaui rekor presiden AS tertua yang dipegang oleh Ronald Reagen (77 tahun). Demikian pula sebagai capres, usianya sudah menginjak angka 82 tahun pada 2024. Jika terpilih, maka dia akan menjabat hingga usia 86 tahun.

Keinginan yang sama juga dilontarkan oleh Donald Trump (76 tahun). Mantan Presiden AS itu sepertinya akan mencoba ulang keberuntungannya dalam pilpres. Andai Trump terpilih lagi, maka dia akan memegang rekor yang sama dengan Biden sebagai presiden AS di usia octonegerian (80-89 tahun).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

AS sudah sejak lama menjadi rujukan perpolitikan dan demokrasi dunia. Setidaknya setelah perang dunia kedua, AS sebagai pemimpin sekutu yang memenangkan perang, memproduksi petunjuk-petunjuk teknis bagaimana sebuah negara dikelola. Apapun referensi politik yang bersumber dari AS selalu menjadi perhatian utama. Terlebih setelah bubarnya negara Uni Soviet, rival utama AS dan mengakhiri perang dingin antara keduanya.

Peran AS sebagai pengendali dunia tidak tertahankan, hingga akhir munculnya kekuatan baru China sebagai pengimbang dan menguatnya Rusia sejak kepemimpinan Valdimir Putin. Putin saat ini sudah berusia 70 tahun dan sudah dua periode menjadi presiden dengan diselingi sebagai Perdana Menteri. Amandemen konstitusi Rusia membuka peluang bagi Putin untuk berkuasa hingga tahun 2036. Jika itu terjadi maka dia akan mengakhiri kekuasaannya pada usia 83 tahun.

Dalam konteks usia, kepemimpinan politik di China saat ini justru terbalik dengan AS. Negara yang hanya berpartai tunggal itu, sebelumnya dikenal dengan elit politik yang berusia lanjut. Namun sejak era modernisasi Tiongkok, perlahan usia pemimpin politik cenderung semakin muda. Dalam dua dekade terakhir ini, Hu Jintao dan Xi Jinping memulai karier sebagai pemimpin politik tertinggi di usia yang relatif muda ketimbang pemimpin-pemimpin China terdahulunya.

ADVERTISEMENT

Gerontokrasi Oligarki Politik

Sebelumnya, banyak pengamat menganggap karier politik Prabowo akan tamat setelah Pilpres 2019. Dia telah menjalani momentum penting pilpres 2014 dan mengulangnya kembali pada 2019 dengan kekalahan. Namun, tidak ada yang tak mungkin dalam politik. Prabowo menghidupkan kembali peluang politiknya setelah menerima pinangan Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pertahanan.

Posisi tersebutlah yang membuat eksistensi politik Prabowo dapat bertahan, terlebih dari berbagai survei kinerja kabinet, kementerian yang dipimpinnya dinilai berhasil. Hal ini pulalah yang memperpendek ingatan publik tentang dinamika pertarungan Pilpres 2014 dan 2019 yang banal dan tidak berkontribusi pada keterdidikan politik masyarakat.

Dalam masyarakat tradisional yang cenderung ahistoris, alih-alih menganggap pemilu sebagai peristiwa penting yang menempatkan rakyat sebagai subjek, keinginan datangnya Ratu Adil pemangku Wahyu Tjakraningrat masih begitu kuat. Berbagai kejadian diatur oleh faktor-faktor yang tidak berakar dalam dunia fana (Soejatmoko, 1957).

Meski saat ini sudah memasuki era modern, pola semacam itu masih tetap terjadi. Masyarakat tetap bukan menjadi subjek, karena calon pemimpin telah ditentukan oleh partai politik (parpol). Ironisnya, kelompok intelektual yang diharapkan netral, justru hanya memproduksi dan mendiskusikan beraneka survei yang telah di-framing mengerucut pada deretan nama yang disiapkan oleh parpol.

Budaya dan sistem kebanyakan partai hingga saat ini masih belum berubah, didominasi pola feodal yang menghasilkan oligarki politik. Dalam teori sosiologi politik, Weber menempatkannya dalam kategori kewenangan tradisional yang disebut dengan gerontokrasi (Craig Calhoun, et.al, 2012). Kondisi tersebutlah yang membuat politisi senior dalam usia tua masih memiliki peran yang determinan.

Ageisme Politik

Secara alamiah, manusia mengalami proses penuaan. Proses ini mengubah manusia dewasa sehat menjadi orang yang lemah dan rentan dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai macam penyakit dan kematian secara eksponensial (Setiati, 2014). Namun demikian, penilaian yang objektif tidak sebatas hanya karena mempertimbangkan usia (ageisme).

Ageisme dapat didefinisikan sebagai stereotipe dan diskriminasi terhadap orang semata-mata karena usia. Cara pandang semacam ini tidak hanya untuk menilai usia tua karena pandangan serupa berlaku juga pada usia muda. Kendati demikian, ada kecenderungan umum yang memarginalisasikan kelompok usia tua. Terutama dengan perspektif kapitalistik, yang mengkategorikan manusia dalam pengelompokkan usia produktif (15- 64 tahun) dan non produktif (anak-anak dan usia lanjut).

Dengan berbagai resiko alamiah atas usia tua, banyak peran yang berkonsekuensi ekonomi semakin sulit dijalani oleh mereka. Konsepsi pengelompokan usia ini pada kenyataannya tidak terjadi di negara-negara dunia ketiga. Hingga sekarang kita masih melihat di ruang-ruang publik, orang-orang dalam usia tua yang bekerja, bahkan untuk pekerjaan kasar yang membutuhkan ketahanan fisik. Sebagian besar tetap bekerja untuk survivalitas hidup karena didera kemiskinan. Berbeda dengan dunia politik, usia lanjut tidak mempengaruhi hasrat politik karena menjadi tuntutan eksistensi untuk tetap berkuasa.

Dwi Munthaha anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Jakarta

Simak juga 'Prabowo Ungguli Ganjar-Anies di Survei Simulasi 3 Capres Indikator':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads