Tidak dapat dipungkiri, pandemi COVID-19 menciptakan banyak perubahan khususnya dalam hal manajemen kerja sumber daya manusia di sektor publik. Tak terkecuali dalam hal pengaturan metode kerja yang perlu dicanangkan oleh pemerintah untuk mengembalikan performa kinerja dan memotivasi ASN yang cenderung sudah "nyaman" bekerja dengan metode Work From Home (WFH).
Melalui berbagai proses pemikiran, baru-baru ini beberapa kementerian dan lembaga seperti Kementerian Kesehatan serta Badan Ristek dan Inovasi Nasional (BRIN) mulai resmi menerapkan metode kerja baru yang dikenal dengan sebutan Flexible Working Arrangement (FWA). FWA merupakan salah satu metode kerja yang memungkinkan pegawai pemerintahan bekerja "pada tempat tertentu" di luar kantor dengan jam kerja yang juga fleksibel. Metode kerja ini diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan kehidupan kerja pegawai dan memotivasi mereka agar dapat memberikan performa kerja terbaiknya.
Melalui berbagai proses pemikiran, baru-baru ini beberapa kementerian dan lembaga seperti Kementerian Kesehatan serta Badan Ristek dan Inovasi Nasional (BRIN) mulai resmi menerapkan metode kerja baru yang dikenal dengan sebutan Flexible Working Arrangement (FWA). FWA merupakan salah satu metode kerja yang memungkinkan pegawai pemerintahan bekerja "pada tempat tertentu" di luar kantor dengan jam kerja yang juga fleksibel. Metode kerja ini diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan kehidupan kerja pegawai dan memotivasi mereka agar dapat memberikan performa kerja terbaiknya.
Ragam Pendapat
Tentunya sebuah kebijakan yang telah dirancang tidak selalu langsung disetujui oleh masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dari beragam opini yang berdatangan mengkritisi kebijakan ini. Menurut riset yang dilakukan oleh Driyantini pada 2020, masyarakat menyatakan penerapan FWA pada dasarnya masih kurang layak untuk diimplementasikan sekarang karena belum mendapatkan dukungan infrastruktur ICT yang memadai.
Hal ini didukung oleh fakta berupa survei dari Speedtest Global Index pada Desember 2021, yang menyatakan Indonesia masih memiliki jangkauan layanan internet terbatas dan berkecepatan rendah sehingga dapat berpotensi menghambat para ASN dalam menjalankan pekerjaan atau memberikan pelayanan secara digital kepada masyarakat.
Selain itu, metode kerja ini juga dianggap menyulitkan pimpinan dalam menginternalisasi budaya-budaya dan menanamkan nilai-nilai organisasi pada para karyawan karena secara fisik mereka berada jauh dari tempat kerjanya. Ditambah dengan pimpinan atau atasan yang juga tidak mampu mengontrol secara langsung atau memberikan umpan balik yang konstruktif terhadap kinerja ASN secara langsung, tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan sikap pegawai yang bekerja atau bertindak secara sewenang-wenang.
Meskipun demikian, Oseland dan Webber (2012) mengemukakan beberapa dampak positif yang dapat ditimbulkan dari penerapan kebijakan ini, di antaranya meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pegawai, mengurangi biaya transportasi, menciptakan keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan para pegawai, menghemat ruang dan biaya properti, dan lain sebagainya. Beberapa keuntungan tersebut menjadi pertimbangan dasar bagi beberapa lembaga pemerintahan dalam menyetujui pengimplementasian metode kerja FWA ini.
Upaya Perbaikan
Berkaca dari polemik yang ada, tentu menimbulkan sebuah pertanyaan besar mengenai apakah kebijakan ini tetap layak untuk diterapkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu dibutuhkan evaluasi yang lebih mendalam. Tetapi, tidak cukup dengan evaluasi, diperlukan juga beberapa upaya dari pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan ini untuk memberikan pelatihan metode komunikasi berbasis digital.
Hal ini penting untuk dilakukan mengingat populasi ASN di Indonesia saat ini cenderung masih didominasi oleh generasi dewasa yang tatkala resisten terhadap perkembangan teknologi. Dengan adanya pelatihan tersebut, diharapkan para ASN mampu berkoordinasi dengan lebih fleksibel dan dapat memastikan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan tetap sejalan dengan sasaran yang telah ditetapkan.
Kedua, mempersiapkan infrastruktur kebutuhan kerja dengan lebih matang, seperti halnya jaringan internet maupun co-working space yang nyaman dan memadai bahkan untuk istirahat. Ketiga, menetapkan peraturan FWA, seperti jam kerja yang fleksibel namun tetap jelas rentang waktunya. Keempat, tetap memberikan dukungan konseling untuk menjaga kesehatan fisik dan mental apabila terlalu jenuh karena selalu memakai perangkat teknologi. Kemudian, yang terakhir, menciptakan aplikasi atau teknologi pendukung yang memudahkan pimpinan untuk menilai kinerja dan produktivitas pegawai ASN dari waktu ke waktu.
Banyaknya faktor seperti bencana pandemi dan globalisasi menjadi alasan utama terbentuknya reformasi budaya kerja ini. Perubahan ini tentu bertujuan baik, yaitu agar sumber daya manusia, khususnya dalam sektor pemerintahan dapat memberikan performa kinerja atau pelayanan yang optimal dalam ruang dan waktu yang tak terbatas.
Melihat tujuan dan beberapa manfaat yang ada, dapat dikatakan FWA tidak salah untuk diterapkan ke depannya karena bersifat adaptif dan cocok dengan perkembangan zaman. Namun, pemerintah terlebih dahulu diharapkan dapat mempertimbangkan beberapa aspek krusial yang mempengaruhi keadaan internal dan eksternal organisasi sektor publik. Tak hanya itu, masyarakat juga perlu berpartisipasi seperti melalui pemberian dukungan atau aspirasi sehingga dapat tercipta prosedur, tatanan, atau kebijakan yang optimal dan dapat mendukung kinerja ASN secara nyata dan signifikan.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini