Soekarno, Peradaban Bangsa, dan Tuah Pancasila
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Soekarno, Peradaban Bangsa, dan Tuah Pancasila

Kamis, 01 Jun 2023 09:10 WIB
Wibowo Prasetyo
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Wasekjen GP Ansor Wibowo Prasetyo
Foto: Dokumentasi Wibowo Prasetyo
Jakarta -

Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu (Soekarno:1958).


Dilihat dari sejarah kelahirannya, Pancasila hari ini bisa dikatakan telah mencapai usia yang tak lagi muda. Bahkan jika dirunut lebih ke belakang lagi, meminjam istilah Yudi Latif yakni 'Fase Pembuahan' yang berkisar tahun 1920-an, sejatinya usia Pancasila sudah bisa dikatakan sangatlah tua.

Namun seabad lebih berselang, Pancasila tak pernah menghilang. Nilai-nilai di dalamnya justru makin menunjukkan bahwa falsafah negara ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Kendati bangsa ini menghadapi beragam dinamika yang tidak ringan, namun Pancasila tak pernah terpinggirkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jelas sekali, sebagaimana yang ditandaskan oleh Soekarno di atas sebagaimana dalam bukunya Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, Pancasila menjadi pedoman bersama bangsa yang tak lekang oleh perkembangan zaman. Ini juga semakin mengokohkan Pancasila yang tak sebatas sebagai pengikat kuat (ligatur) di antara masyarakat Indonesia, namun juga menjadi bintang penuntun (leitstar) peradaban bangsa.

Kita memahami, di antara tokoh-tokoh yang merumuskan Pancasila itu, Soekarno tercatat menjadi aktor paling sentral. Ini tak berlebihan, sebab Soekarno lah yang mengenalkan lima sila sebagai dasar menuju dibentuknya negara saat berpidato di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, meski rumusan itu kemudian disepakati bersama, Pancasila faktanya masih menghadapi tantangan tak enteng. Sejarah perjalanan bangsa ini mencatat, ada sederet upaya penyimpangan sekaligus perlawanan terhadap ideologi ini. Di awal masa kemerdekaan, misalnya, ada pemberontakan PKI Madiun, DI/TII/RMS/APRA, PRII hingga Permesta.

Hari ini, perlawanan yang bersifat fisik atas ideologi Pancasila memang tak terjadi. Namun, sejatinya, Pancasila juga tidak dalam kondisi sepenuhnya aman dari godaan. Indikasi ini terlihat masih adanya sebagian kelompok yang terus berupaya memecah belah persatuan bangsa. Tak lagi mengandalkan jalur fisik seperti peperangan dengan angkat senjata, namun mereka mencekoki dengan paham atau ideologi baru yang sangat berlawanan Pancasila. Demi memuluskan niatnya itu, berbagai cara busuk seperti penghasutan dengan menyebarkan kabar palsu (hoaks) pun dihalalkan. Di era teknologi informasi dan digitalisasi saat ini, aksi mereka kian nyata sekaligus merajalela. Kelompok-kelompok tersebut terus menggerus dengan menawarkan ideologi atau paham lain. Khilafah, misalnya.

Selain ancaman disintegrasi bangsa, persoalan lain yang kerap mengemuka adalah masih maraknya perilaku korupsi, pemaksaan kehendak, intoleransi, dan ketidakadilan. Ini yang menyebabkan Pancasila seolah digugat atas kesaktiannya.

Tak pelak, ini hakikatnya menjadi ujian baru bagi Pancasila. Apakah kompilasi falsafah yang berakar dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu masih relevan? Apakah juga masyarakat Indonesia benar-benar mempraktikkan sila-sila Pancasila dengan konsekuen? Lantas sejauhmana mereka mengamalkannya? Sederet pertanyaan itulah yang perlu dijawab bersama.

Gotong Royong Energi Pancasila

Jelas kiranya bahwa Pancasila bukanlah segala-galanya, namun harus diakui itu merupakan rumusan terbaik falsafah negara yang mampu menjaga dan menyelamatkan bangsa ini. Tanpa Pancasila, kita tidak bisa membayangkan bagaimana tercabik-cabiknya bangsa ini akibat saling mementingkan ego dan kelompoknya sendiri. Tanpa Pancasila pula, tentu pembangunan bangsa akan terseok-seok karena selalu rentan terganggu dengan berbagai alasan tertentu.

Pergolakan dan ketegangan akibat konflik internal di berbagai negara akhir-akhir ini menjadi pelajaran sekaligus salah satu bukti bahwa kesepahaman dalam membentuk dasar negara adalah menjadi kunci penting. Banyak peperangan itu disulut oleh persoalan yang kadang sepele, seperti kepentingan sektoral suku, golongan, agama, ras dan lain sebagainya.

Namun tidak dengan Indonesia. Di negara kita, Pancasila menempati posisi yang sangat mulia. Pancasila bisa menjadi alat pemersatu bangsa yang sedikit pun tanpa mendegradasi peran suku, golongan, agama, ras dan segala macam perbedaan yang ada di dalamnya.

Kekuatan besar yang dimiliki Indonesia ini tak lepas dari sejarah lahirnya Pancasila yang benar-benar muncul dari Bumi Pertiwi. Pancasila tak asal buat, namun benar-benar memiliki aspek orisinalitas karena merupakan hasil renungan, penggalian dan pengalaman perjalanan panjang bangsa yang berbasis kesadaran bersama untuk entas dari penderitaan menuju kehidupan yang lebih sejahtera.

Kegotongroyongan ini mampu mengesampingkan kepentingan sesaat dan parsial. Tugas bersama menjadi lebih ringan lantaran di dalamnya ada keteguhan, jati diri, moralitas, pandangan sekaligus keyakinan bersama untuk menuju peradaban bangsa yang lebih baik. Ini memang unik. Pembangunan peradaban bangsa dengan berbasis kesamaan rasa dan pengalaman bersama tersebut tidak banyak dijumpai di belahan negara lain.

Soekarno sendiri sering menyatakan bahwa Indonesia adalah die aus einer schicksalsgemeinschaft erwachsende charaktergemeinschaft (komunitas karakter yang berkembang dari pengalaman bersama). Melalui kalimat yang dikutip dari Otto Bauer, sang pemikir kritis Austria tersebut, Soekarno ingin menjelaskan bahwa penindasan, kekejaman serta berbagai penderitaan akibat penjajah ratusan tahun lamanya terbukti menjadi pengalaman bersama yang sangat berharga. Masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai komunitas akhirnya bersepakat membangun karakter dan tujuan yang sama. Yakni, merdeka untuk menghapuskan tindakan kesewenang-wenangan di muka bumi sekaligus mewujudkan peradaban global yang berperikemanusiaan.

Kegotongroyongan inilah yang sudah jelas terbukti menjadi aspek penting kokohnya bangsa Indonesia bisa berdiri hingga sekarang. Modal besar bangsa ini harus terus dirawat bersama dengan berbagai cara, utamanya dengan program dan aksi nyata. Lewat cara itu, Pancasila akan kian membumi dan tuahnya semakin terasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tepat kirinya peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni tahun ini mengusung tema 'Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global'. Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa gotong royong adalah karakter, kepribadian sekaligus bangunan kuat bangsa Indonesia yang tak lapuk oleh tantangan zaman.

Pancasila akan terus kuat karena berangkat dari orisinalitas karakter bangsa Indonesia. Lebih dari itu, Pancasila juga berbasis rasionalitas yang mampu mengesampingkan aspek ego sektoral, emosional dan kepentingan jangka pendek. Pancasila bisa diterima semua kelompok dan golongan karena hakikatnya bersumber dari hukum Tuhan, alam, dan sifat kemanusiaan.

Kita juga harus optimistis berbagai ancaman yang kini muncul seperti disintegrasi bangsa, resesi ekonomi dan ketegangan global lainnya akan bisa diatasi jika ada kesadaran dan kemauan bersama. Ini karena nilai-nilai Pancasila sejatinya sangat luwes, dinamis atau memiliki aspek aktualitas tinggi.

Landasan moralitas dan haluan kebangsaan Pancasila sangatlah visioner. Saat memperkenalkan Pancasila di PBB pada 30 September 1960 silam, Soekarno pun pernah mengingatkan ke warga dunia akan pentingnya konsepsi dan cita-cita bersama yang kuat serta mengakar di tengah masyarakat. "Jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya." Dus, tuah Pancasila sejatinya tak pernah hilang selama kita memiliki kesadaran bersama untuk terus merawatnya secara tulus demi kehidupan yang berkeadaban. (*)

Wibowo Prasetyo
Wasekjen Pimpinan Pusat GP Ansor

(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads