Tema Hari Raya Trisuci Waisak tahun 2587 BE atau 2023 yang ditetapkan Wali Umat Buddha Indonesia (Walubi)) adalah "Aktualisasikan Ajaran Buddha Dharma di Dalam Kehidupan Sehari-Hari." Tema ini tentu sangat kuat dan relevan untuk diterapkan kapan saja, oleh siapa saja, di mana pun.
Saat ini banyak aktivitas yang hanya berlaku separuh atau musiman, atau tidak berlaku keseluruhan dan nyata. Apa yang tampal di media belum tentu cerita nyata, juga apa yang ada di media sosial (medsos) bukanlah yang nyata. Di medsos, bisa saja memiliki citra yang kaya raya, baik hati serta berwibawa. Namun kenyataan bisa saja beda sama sekali dan itu sudah menjadi "rahasia umum". Makanya ungkapan "ah itu kan di medsos" menjadi sangat popular.
Ingat ajaran Buddha, hanya ketika berkunjung di Vihara. Namun ketika di rumah, bisa saja memukul istri atau anak atau menipu konsumen di ruang kerja. Memberi santunan pada pengemis hanya pada hari raya, ketika di ruang kerja malah merasa wajar dan sah-sah saja ketika mencuri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjadi Pelaksana
Hari Raya Trisuci Waisak adalah hari raya Umat Buddha untuk memperingati hari lahir, pencapaian Kesadaran Buddha dan moksya (meninggalnya) Sang Buddha. Ketiga peristiwa tersebut sebetulnya menyampaikan betapa pada akhirnya, sejak lahir hingga meninggal seorang manusia, bagaimana dharma Buddha berperan dalam hidupnya.
Jadi, perayaan dari Trisuci Waisak adalah bagaimana kita menjadi pelaksana dari ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pelaksana, artinya bagaimana kita bukan cuma percaya, tapi juga mengerti, mempelajari dan melakukan apa yang ada dalam ajaran Buddha tersebut.
Kita diajak bukan sekadar jadi umat, yang menaruh keterangan "Buddha" pada kartu identitas namun tidak mengerti, apalagi mempelajari, terlebih melaksanakan --cuma Buddha KTP. Bukan cuma jadi umat yang hanya sesekali berkunjung ke Vihara mingguan atau hanya jika ada hari raya tertentu. Kita hanya merasa perlu terlihat beragama, demi keuntungan tertentu saja.
Tema Waisak tahun ini mengingatkan kita untuk melaksanakan kata-kata Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Siapapun kita, sebagai umat Buddha, laksanakanlah ajaran Buddha dalam keseharian, baik itu ibu rumah tangga, anggota DPR, guru, dokter, atau apapun. Apapun kita, sebagai umat Buddha diajak untuk tidak hanya menjadi umat yang percaya, tapi juga mempelajari hingga mengerti dan melaksanakan kata-kata Buddha tersebut.
Jika kita tidak mengerti atau mempelajari, bisa saja apa yang sudah kita percaya dan laksanakan ternyata sebuah kekeliruan. Misalnya ajaran Sang Buddha yang disebut maitri karuna. Secara sederhana memang diartikan sebagai bentuk sikap untuk membahagiakan orang lain. Namun kalau kita tidak sungguh mempelajari dalam pelaksanaan bisa saja malah jadi kesalahan.
Misalnya kita cenderung memberikan permen dalam jumlah banyak kepada anak yang memang meminta. Kalau kita begitu saja menerjemahkan memberi permen pada anak kecil adalah membahagiakan, tentu tidak benar. Walau secara fakta, bisa jadi anak itu memang tampak senang. Namun perilaku maitrii karuna dalam konteks ini adalah benarkah permen dalam jumlah banyak itu baik untuk anak-anak?
Bagaimana dengan kesehatannya? Bagaimana jika permen itu malah menggantikan makan utama si anak, seperti tidak mau makan nasi, misalnya? Atau akibat lain. Tindakan maitri karuna bisa jadi malah kalau tidak memberikan permen tersebut. Si anak bisa jadi tidak senang. Api justru bisa jadi perilaku tepat, karena mencegah kemungkinan diabetes pada anak atau hal buruk lainnya.
Dengan belajar, kita juga mengerti yang kita laksanakan benar adanya. Kita menjadi umat Buddha bukan sekadar karena percaya atau pergi ke vihara semata. Tapi sudahkah kita mempelajari atau melaksanakan kata-kata Buddha dalam keseharian?
Sesuai Zaman
Melaksanakan kata-kata Buddha dalam keseharian tidak membuat kita lalu jadi orang aneh atau penjaja dongeng yang tidak membumi, seperti manusia yang hidup dalam teori semata. Justru karena kita melaksanakan kata-kata Buddha, kita jadi manusia yang sesuai zaman, selalu relevan, dan sesuai dengan lingkungan
Seperti menerapkan ajaran maitri karuna sebagai pengusaha. Kita jadi pengusaha yang senantiasa berorientasi untuk membahagiakan orang lain. Kita tidak sekadar menghitung laba yang kita dapat, tapi juga seberapa kita telah membahagiakan konsumen. Adakah kita juga menjaga dan melestarikan iklim yang menjadi usaha kita?
Sesederhana menjamin pembuangan limbah dengan aman atau ikut memikirkan pegawai atau setiap orang yang kerja di perusahaan kita juga ikut untung, tidak semata mata memikirkan keuntungan pribadi. Pada akhirnya tentu pengusaha seperti ini yang terus ada, bertahan, bahkan jaya hingga kapan pun.
Sebaliknya jika jadi pengusaha yang melulu memikirkan laba untuk diri sendiri, tapi tidak memikirkan kepuasan konsumen atau lingkungan atau pekerja, tentu lambat laun akan runtuh karena ditinggal konsumen serta rekan kerja. Rumusan serupa ini juga berlaku bagi siapapun, bukan cuma pengusaha. Baik Anda guru, dokter, petani, polisi, atau apapun Anda untuk senantiasa melaksanakan ajaran Buddha dalam keseharian.
Ketika kita semua mampu melaksanakan ajaran Buddha dalam keseharian, kita tidak perlu lagi menjadi pribadi yang memoles diri hanya pada waktu tertentu atau kesempatan tertentu. Tapi kita jadi individu yang satu sama lain senantiasa saling memberi kebahagiaan untuk sesama.
Iwan Setiawan pandita pada Yayasan Buddha Dharma Indonesia
Simak juga 'Tradisi Mandikan Patung Buddha Tidur Terbesar di Indonesia Jelang Waisak':