Kasus dukun pengganda uang yang mencuat beberapa waktu lalu, serta viralnya seorang dukun asal Kalimantan bernama Ida Dayak karena pasiennya yang selalu membludak baru-baru ini, mengekspos sebuah gejala mencemaskan yang diderita masyarakat Indonesia. Gejala ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk lebih percaya terhadap hal-hal yang berbau klenik ketimbang sesuatu yang rasional dan berbasis bukti seperti sains dan kepakaran.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Wellcome Global Monitor pada 2020 menunjukkan bahwa orang Indonesia masih lebih banyak yang mempercayai dukun (dengan tingkat kepercayaan 13%), ketimbang ilmuwan (dengan tingkat kepercayaan 12%). Hasil survei tersebut memvalidasi keyakinan bahwa masyarakat Indonesia memang lebih percaya terhadap klenik daripada sains.
Krisis Komunikasi Sains
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebab dari persoalan ini bisa saja disebabkan oleh tingkat literasi masyarakat Indonesia yang rendah. Namun mengarahkan telunjuk kepada masyarakat sebagai satu-satunya pihak yang bersalah tentu saja tidak adil. Perspektif semacam ini menyebabkan para ilmuwan dalam komunitas sains gagal menyadari bahwa bisa saja mereka juga punya andil dalam melanggengkan persoalan ini. Ada kemungkinan masyarakat menjadi tidak percaya terhadap sains kemudian memilih mempercayai klenik, karena komunitas sains, secara sadar atau tidak sadar, memposisikan diri eksklusif dan berjarak dengan masyarakat.
Sementara klenik dengan segala praktiknya,sangat dekat dan hidup berdampingan dengan masyarakat. Terlebih lagi, temuan-temuan sains terkini kebanyakan hanya dirayakan di dalam ruang-ruang tertutup seperti konferensi atau simposium, dan hanya bisa diakses oleh sesama anggota komunitas sains itu sendiri. Temuan-temuan sains tersebut kebanyakan berakhir hanya sebagai publikasi di jurnal ilmiah bereputasi tanpa pernah benar-benar sampai ke masyarakat. Diseminasi temuan ilmiah melalui berbagai platform arus utama dengan gaya bahasa yang ramah di telinga publik masih sangat dibutuhkan.
Upaya komunikasi sains yang inklusif di Indonesia sebetulnya sudah mulai marak dicoba. Misalnya upaya yang dilakukan oleh Dr. Indriawan Nugroho, Prof. Rhenald Kasali serta Gita Wiryawan melalui Youtube, ataupun seperti yang dilakukan secara tim oleh Kok Bisa dan Satu Persen Indonesia melalui akun Instagram. Pihak-pihak ini terlihat cukup berhasil menghasilkan konten edukasi sains untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan penjelasan ilmiah yang sederhana, mengingat jumlah viewers mereka yang sudah mencapai angka jutaan.
Meskipun begitu, secara umum komunitas sains di Indonesia sampai saat ini tampak masih kikuk dalam mengemas temuan sains menjadi lebih membumi agar terasa dekat dan menarik bagi masyarakat awam. Indonesia mungkin tak kekurangan ilmuwan, tapi jelas kekurangan ilmuwan yang mampu mengkomunikasikan ilmunya ke publik secara artikulatif dan sederhana.
Jitendra Khanna, peneliti dari World Health Organization (WHO) dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Science Communication Journal menjelaskan bahwa persoalan komunikasi sains di negara-negara berkembang masih menjadi sebuah tantangan besar mengingat kebanyakan ilmuwan di negara berkembang kurang mendapatkan pelatihan yang mumpuni untuk menerapkan komunikasi sains yang baik, sementara jurnalisme sains yang dapat mengisi peran ini untuk sementara juga belum terbentuk secara mapan.
Hal ini tidak terjadi di negara-negara maju sebab institusi-institusi sains termasuk universitas di sana, telah berhasil mengembangkan dan mengimplementasikan program-program yang bertujuan untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan komunikasi sains. Salah satu contoh kasus yang menarik adalah Science CafΓ© Course yang diprakarsai oleh Anna Goldina dan Ophelia Weeks, dua orang ilmuwan biologi yang berbasis di Ontario, Amerika Serikat.
Science CafΓ© Course yang mereka prakarsai ini merupakan pelatihan inovatif selama dua semester yang bertujuan melatih mahasiswa-mahasiswa biologi untuk mengembangkan keterampilan komunikasi mereka agar mampu menjelaskan konsep-konsep dan penemuan terbaru ilmu biologi kepada orang-orang awam dengan lebih baik.
Mampu memproduksi sains yang bermutu adalah satu hal penting, namun mampu mengkomunikasikan sains secara efektif ke depan publik adalah hal lain yang tak kalah penting. Indonesia masih sangat membutuhkan kebijakan strategis dari institusi-institusi sains, seperti Kemendikbudristek, BRIN, dan universitas untuk membekali calon ilmuwan atau akademisi dengan segala keterampilan yang diperlukan agar mampu menerapkan komunikasi sains yang efektif.
Per 2023, terdapat 263.544 ribu dosen dan peneliti Indonesia yang tercatat di situs Science and Technology Index (SINTA), namun belum ada satu pun yang memiliki popularitas seperti Carl Sagan atau Neil deGrasse Tyson. Mereka berdua adalah komunikator sains yang berhasil mengubah ilmu astro-fisika yang rumit menjadi tampak sederhana dan menyenangkan melalui sebuah program televisi bertajuk Cosmos.
Indonesia sebetulnya memiliki seorang Bacharuddin Jusuf Habibie, namun sayangnya masyarakat lebih familier dengan kisah cintanya bersama sang istri, Hasri Ainun, ketimbang teorinya yang paling berjasa dalam ilmu penerbangan, yakni Crack Progression Theory, yang membuatnya dikenal di mata dunia sebagai salah satu orang Indonesia dengan pemikiran paling brilian sepanjang sejarah. Gejala-gejala ini menunjukkan bahwa Indonesia memang masih berada di dalam krisis komunikasi sains.
ChatGPT sebagai Jembatan
Selagi institusi sains di Indonesia membangun strategi pembekalan komunikasi sains kepada para ilmuwan, ChatGPT memiliki potensi besar untuk menjadi solusi sementara atas persoalan krisis komunikasi sains di Indonesia. ChatGPT tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai asisten pribadi seperti Siri dan Alexa, tapi juga komunikator sains pribadi bagi masyarakat.
Bayangkan jika masing-masing orang dalam masyarakat memiliki satu asisten pribadi dengan kecakapan setara ahli yang siap sedia, kapan saja, untuk menjawab pertanyaan atau memberi penjelasan kepada mereka tentang apapun. Misalnya ketika mereka kebingungan memilih obat atau penanganan pertama seperti apa yang tepat saat sedang sakit, atau ketika mereka resah mencari jawaban mengapa kebun yang mereka kelola selalu gagal panen atau banyak keresahan lain yang membutuhkan pertimbangan sains. Masyarakat tidak perlu lagi mempertaruhkan uang dan keselamatannya pada dukun-dukun klenik yang tidak jelas kredibilitas keilmuannya.
ChatGPT secara khusus bahkan memiliki dua kekuatan yang tidak dimiliki komunikator sains dan profesor hebat mana pun di dunia, yakni simplisitas dan skalabilitas. Dengan kemampuan pemrosesan bahasa alaminya yang canggih, ChatGPT dapat mengkonversi bahasa sains yang rumit menjadi lebih sederhana dengan cepat dan akurat, sehingga kapan pun masyarakat memiliki pertanyaan atau perlu memahami sesuatu yang rumit, mereka hanya tinggal menanyakannya.
Selain itu, ChatGPT juga dapat diintegrasikan ke dalam setiap rumah tangga di seluruh Indonesia sebagai asisten pribadi untuk membantu masyarakat awam dalam mengambil keputusan yang rasional dan berbasis bukti. Skalabilitas yang tidak akan mungkin dapat dipenuhi jika para pakar berupa manusia yang memerankannya.
ChatGPT sejauh ini selalu dipandang dengan sentimen yang sinis, mengingat kemampuannya untuk menggeser peran manusia pada beberapa lapangan pekerjaan dan segala ketidakpastian yang mengikutinya. Namun keberadaan ChatGPT sebagai sebuah produk kemajuan teknologi yang revolusioner tidak dapat lagi terelakkan. Sudah sepatutnya keberadaan ChatGPT dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan manusia, termasuk di bidang pengarusutamaan temuan-temuan sains. Memanfaatkan ChatGPT sebagai jembatan untuk mendekatkan sains dengan masyarakat awam dapat menjadi langkah awal yang bijak.
Simak juga 'Mahasiswa Stanford Ciptakan Kacamata ChatGPT':