Sikap politik Presiden Jokowi menjadi persoalan bagi publik. Ritme politiknya belakangan ini menunjukkan tendensi yang negatif. Desas-desus terus berselancar bebas menjadi topik utama bahasan. Diskursus politik penguasa pun menunjukkan sisi aktifnya ketika sejumlah pihak menyoal sikap tersebut dalam tarikan konstitusionalismenya.
Pasalnya, Presiden Jokowi adalah pejabat publik yang saat ini terlibat aktif dalam ketegangan politik. Sebut saja agenda pencapresan dan peta koalisi partai politik (parpol). Jokowi jelas terlibat dalam agenda-agenda tersebut, baik secara langsung dalam sejumlah pertemuan bersama ketua umum parpol, maupun tidak langsung melalui operasi senyap safari politiknya.
Belum lagi agenda Musyawarah Rakyat (Musra) yang puncaknya digelar beberapa hari yang lalu, 14 Mei 2023. Agenda yang mencatut nama rakyat dan suara akar rumput itu tidak lebih hanya bentuk memperoleh validasi seremonial dari pilihan yang sebelumnya sudah disiapkan. Buktinya, tokoh yang di-vote dalam agenda tersebut adalah aktor lama yang duduk dalam jajaran pemerintahan.
Jelas hal tersebut menjadi problem konstitusional yang dibalut dalam agenda pertunjukan seremonial. Kita melihat bagaimana konsolidasi politik faksional menjadi jalan tempuh pengamanan terhadap suatu agenda pencapresan. Mengundang ketum parpol dalam kapasitas yang tidak memiliki relasi hierarkis secara kelembagaan di satu sisi, dan menggunakan perangkat kenegaraan di sisi yang lain tentu menyalahi kaidah dan etika bernegara pejabat publik.
Problem selanjutnya, penggunaan nama publik/suara akar rumput untuk kepentingan validasi seremonial pencalonan. E-voting Musra kemarin jelas tidak sama dengan survei berbasis riset dengan kerangka akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Konsep penghimpunan dukungan yang dibentuk memiliki tendensi khusus terhadap tokoh tertentu. Hal tersebut dengan jelas mengonsepsikan demokrasi dalam ruangnya yang sempit dan bentuk kebanalannya membatalkan hak konstitusional potensi keterpilihan warga negara atas nama rakyatnya sendiri.
Pejabat Publik dan Pejabat Politik
Hal yang menarik ketika ditegur dan menuai kritik dari sejumlah pihak, Presiden Jokowi akan mendalihkan dirinya dalam entitas kewajaran. Dirinya, kata dia, selain sebagai pejabat publik juga merupakan pejabat politik. Alasan inilah yang mendalihkan suatu keabsahan terhadap sikap yang selama ini dimainkan oleh Jokowi.
Persoalan yang menarik kemudian bagaimana gerak politik Jokowi dalam kualifikasi yang konstitusional dan tidak menyalahi kaidah etik bernegara? Benarkah Jokowi punya dasar legal standing konstitusionalisme demikian dalam memainkan patronase publik? Lalu mengapa kemudian sering muncul sebutan semantika politik "the king maker" atau "cawe-cawe" yang mempengaruhi dinamika elektoral yang berlangsung?
Pasalnya, publik menyayangkan sikap politik Jokowi tersebut yang sudah berada di luar kewajaran. Perbincangan warganet mengeluhkan sikap politik tersebut sebagai ancaman terhadap demokrasi di Indonesia (persentase 92%, INDEF, April-Mei 2023). Belum lagi tokoh politik seperti Jusuf Kalla, pengamat politik seperti Rocky Gerung, hingga akademisi tata negara seperti Deny Indrayana yang menulis kritik bernas melalui tulisannya di media sosial. Deny berhasil mengindikasikan politik cawe-cawe itu dalam sejumlah agenda endorsement-penjegalan terhadap suatu pencalonan. Mirisnya, sikap tersebut dipersepsikan sebagai agenda seremoni konstitusional dengan menggunakan perangkat kenegaraan.
Secara konstitusional, tidak ada satu pun pasal yang menyebut secara eksplisit entitas presiden sebagai pejabat politik, apalagi sampai menimbulkan kewenangan mengoperasikan politik elektoralnya menjelang Pemilu 2024. Tafsir yang muncul bahwa presiden saat ini berada dalam sistem negara presidensial di mana di satu sisi sebagai kepala negara dan di sisi yang lain menjadi kepala pemerintahan. Dua entitas ini yang mendapat jastifikasi konstitusionalitasnya (Yuda AR, 2010).
Tetapi, entitas itu tidak membatalkan hak berpolitik presiden. Segala perangkat dan hak berpolitik sebagai warga masih melekat secara bersamaan. Cuma terdapat garis limitatif dalam tarikan etika dan kehormatan seorang Presiden dalam merawat demokrasi. Dia tidak dibenarkan membangun konsolidasi demokrasi yang berbasis keberpihakan, menjegal secara ekspansif hak konstitusional lawan, mempengaruhi independensi partai politik—yang biasa Jokowi sebut dengan "bisik-bisik" untuk ketum parpol, hingga membuat arah pencalonan melalui sejumlah koalisi parpol (road map presidential).
Sejumlah agenda politik Jokowi tersebut menunjukkan tren politik pengamanan pasca masa menjabat (soft landing) dan proyek keberlanjutan program pembangunan yang selama ini dibangun. Agenda Jokowi ini mempersepsikan politik dua kubu keterbelahan. Gamblangnya, orang yang dalam misi pencapresannya siap melanjutkan legacy pemerintahan saat ini dipersepsikan sebagai pro/tesis Jokowi, sedangkan capres dengan misi perubahan di dalamnya dipersepsikan sebagai antitesis Jokowi. Segampang itu politik Jokowi selama ini mensimplifikasi politik dan menggradasi demokrasi. Mengapa sirkulasi elite dan suksesi kepemimpinan tidak dibiarkan saja dengan sendirinya sebagai bagian dari proses seleksi demokrasi.
Politik Aliran
Aspinall menyebut fenomena politik demikian dengan terminologi "proyek" yang digunakan dalam menganalisis agenda keberlanjutan patronase kepemimpinan politik. Distribusi pengamanan diri dan program pembangunan seolah menjadi prasyarat mutlak yang harus dijalankan (Aspinall, 2013). Agenda bukan lagi berupa gagasan/ide yang ditempuh dengan proses politik, melainkan disalurkan melalui politik aliran (pro-Jokowi). Dalam saluran ini akan ditemui relasi hierarkis patron-klien yang terlembaga dan kontinuitas. Akhirnya, parpol dan elite pemerintahan terkonsolidasi dalam proyek politik aliran dan kelanggengan jabatan.
Dari sinilah konstitusionalisme politik Jokowi dapat diukur dan menemui titik jawabnya. Gerak politik konstitusional selalu meniscayakan gerak demokratis berjalan di dalamnya, tidak menjegal politik konstitusional lawan, dan membiarkan potensi sirkulasi rezim dan perubahan komposisi gagasan sebagai evaluasi berkelanjutan. Jokowi benar adanya sebagai pejabat politik, tapi apakah politik itu dijalankan secara konstitusional?
A Fahrur Rozi pengamat politik dan hukum di Distrik HTN Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
(mmu/mmu)