Negara ini tak pernah henti memborgol para tahanan yang terjerat kasus korupsi. Langkah ini diambil KPK demi menimbulkan rasa malu dan jera bagi para koruptor. Ini sangat tepat, mengingat para koruptor adalah pelaku kejahatan extra ordinary yang harus digembok kebebasannya, termasuk untuk sekadar senyum dan melambaikan tangan kepada khalayak.
Koruptor tidak boleh lagi diberi ruang selebrasi sekecil apa pun di republik ini karena dampak perbuatannya telah menyengsarakan jutaan rakyat, termasuk membunuh rasa kemanusiaan. Bayangkan, dana proyek kemanusiaan untuk rakyat yang dilanda bencana saja masih juga dikorupsi. Belakangan proyek base transceiver station (BTS) 4G, yang diimpikan bisa membantu masyarakat seluruh Indonesia untuk mengakses internet secara efisien, cepat dan murah, anggarannya juga tak luput diembat. Seperti yang menimpa Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate.
Pada Rabu (17/5) kemarin Penyidik Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung menetapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan BTS 4G. Proyek ini berada di bawah tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo dan seharusnya dilaksanakan pada 2020-2022. Kerugian negara akibat korupsi itu tidak tanggung-tanggung mencapai Rp 8,032 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang dikatakan Lucius Anneus Seneca (ca.4 SM-65 M) seorang filsuf Stoik, negarawan, dan penulis drama Romawi, "Orandum es ut sit mensana in corpore sano" (semoga hendaknya dalam badan yang sehat terdapat pikiran yang sehat) sepertinya meleset di negeri kita, karena koruptor di Indonesia adalah orang-orang cerdas, pintar, suci, dan sehat yang sejatinya paham benar soal etika dan moralitas.
Tak Tersentuh
Kian hari, mentalitas korupsi dan culas para elite kita makin tidak tersentuh jangkar etika dan moralitas. Repetisi korupsi terus menyubur di tengah riuhnya KPK melakukan OTT, sampai-sampai lembaga ini pernah menjadi institusi termasyhur di masyarakat (survei LSI dan ICW 8-24 Oktober 2018). Bangsa "religius" ini seperti tak habis-habisnya menelorkan benih-benih rasuah yang dieskalasi di berbagai tempat.
Di level birokrasi misalnya, korupsi terjadi ketika ketidakjujuran melanda para birokrat dalam mengelola tugas-tugas pemerintahan melalui jual-beli jabatan, diskresi yang melahirkan penyuapan, pendapatan kontroversial, dan mempengaruhi kesejahteraan negatif (Lambsdorff, 2007). Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah menemukan 50% PNS muda terindikasi korupsi, bahkan 10 di antaranya bertransaksi hingga miliaran rupiah.
Fakta itu merupakan bagian dari temuan 1.800 rekening bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah milik PNS. Belum lagi sinyalemen transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan yang menghebohkan publik dalam beberapa waktu belakangan ini.
Bayangkan jika sumber daya manusia di birokrasi terdiri dari mereka yang tamak dan tuna-integritas, termasuk pejabat daerah yang memperdagangkan jabatan-jabatan dalam birokrasi tanpa seleksi uji-kompetensi. Menurut mantan Ketua Dewan Direktur The Habibie Centre, Sofian Effendi (2017), praktik jual-beli jabatan terjadi di 34 provinsi dan 508 daerah selama puluhan tahun. Ini membuat birokrasi tidak bisa melayani rakyat secara berkualitas.
Tidak hanya soal jual beli jabatan, modus lain seperti pemerasan, manipulasi tender hingga membuat proyek fiktif, termasuk proposal fiktif (yang digunakan untuk biaya hotel, tiket pesawat, dan lain-lain) kerap menjadi celah bagi langgengnya korupsi di birokrasi.
Sama halnya di level politik, terutama untuk posisi kepala daerah (karena posisi ini merupakan produk politik parpol). Contoh kecil saja, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2007 hingga 2023, setidaknya 10 kepala daerah di Riau diproses hukum KPK karena melakukan praktik korupsi. Mereka antara lain gubernur sebanyak tiga orang, bupati enam orang, dan wali kota satu orang.
Setelah dijumlah, praktik korupsi yang dilakukan oleh 10 kepala daerah itu telah merugikan negara Rp 2,2 triliun dan suap/gratifikasi sebesar Rp18,5 miliar. Sebagian besarnya mengakui bahwa biaya politik yang besar memaksa mereka mengembalikan modal dengan merampok APBD.
Megatruh
Korupsi melahirkan megatruh (kesedihan dan duka nestapa) bagi moralitas dan nasib kesejahteraan rakyat-bangsa. Hasil penelitian di Maroko menunjukkan korupsi telah menghasilkan lingkaran setan akut di masyarakat sekaligus mengkontinuisasi rezim korup. Di Filipina korupsi mengakibatkan kebocoran pendapatan negara karena distribusi sumber-sumber alam negara ke rakyat terputus, jatuh ke kelompok elite tertentu (Klitgaard 2005).
Di Indonesia korupsi mereduksi kinerja ekonomi, mengurangi infrastruktur publik dan penerimaan pajak, rusaknya lingkungan hidup, minimnya kualitas pendidikan, pengangguran dan sebagainya.
Eliminasi korupsi yang berurat-akar tidak bisa lagi mengandalkan narasi optimisme tanpa shock-therapy yang efektif. Mengutip pandangan Ahmad M Marshall dalam Corruption and Resource Allocation Distortion for "Escwa" Countries (2011), salah satu yang membuat korupsi makin sistemik, terstruktur di sebuah negara karena sistem hukum, etika dan politik yang lemah dan berhenti sebagai wacana.
Penegakan hukum antikorupsi Indonesia masih bersembunyi di bawah ketiak pengistimewaan terhadap para maling uang negara mulai dari vonis hukuman yang rendah (rata-rata 2 tahun lebih), fasilitas mewah di bui, pencabutan hak politik hanya pada kasus yang ditangani KPK namun tidak di kejaksaan, hingga privilese mantan napi korupsi untuk menduduki jabatan publik yang terbuka luas.
Saya teringat kata pengacara dan orator AS, Clarrence Darrow (1857-1938), "Keadilan itu tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di ruang sidang, keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu."
Negara akan selamanya kesulitan mematikan patologi korupsi, terutama di kalangan para elite birokrat dan politik jika sistemnya masih dikendalikan oleh orang-orang jahat yang dipermisifkan masuk dalam sistem untuk mengikhtiarkan urusan publik. Padahal filsuf Yunani Kuno, Plato (428 SM-348 SM) mengatakan, "Orang jahat akan selalu menemukan cela di sekitar hukum." Mereka selalu tidak kekurangan cara membangun "aliansi" najis dan mematangkan rencana strategis untuk merampok atau mempreteli kas negara.
Karenanya moralitas antikorupsi di meja hukum harus dikokohkan. Semua korps penegak hukum harus bersatu frekuensi mengadili dan menghukum seberat-beratnya para koruptor untuk membangun imajinasi buruk dan preseden kelam bagi para maling uang negara. Upaya ini bukan berarti ingin meniadakan kemanusiaan koruptornya, tapi justru mau memberangus watak jahat korupsi agar esensi kemanusiaan yang lebih luas, hakiki serta berkeadilan dalam masyarakat dapat terselamatkan dari kepunahan peradabannya.
Umbu TW Pariangu dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang
(mmu/mmu)