Makna Borgol Johnny G Plate
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Makna Borgol Johnny G Plate

Rabu, 31 Mei 2023 13:04 WIB
Andang Subaharianto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate ditahan Kejagung. Johnny ditahan terkait kasus dugaan korupsi proyek BTS yang diduga merugikan negara Rp 8 triliun, Rabu (17/5/2023).
Johnny G Plate muncul di hadapan publik dengan tangan diborgol (Foto: Andhika Prasetia)
Jakarta -

Dalam konteks Pemilu 2024, yang tahapannya sudah mulai kita jalani, apa makna borgol Johnny G Plate? Beberapa hari lalu Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga Sekjen Partai Nasdem itu diborgol oleh Kejaksaan Agung. Diduga melakukan korupsi proyek BTS (Base Transceiver Station). Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 8 triliun. Tentu bukan angka kecil. Juga bukan nyali kecil. Bukan pula oleh tim kecil dengan kuasa kecil.

Johnny G Plate bukan orang pertama. Dia menggenapi, menambah panjang deret pejabat politik, yang juga tokoh parpol yang diborgol. Plate membuat wajah bangsa Indonesia, wajah kita, makin bopeng, makin buram. Makin menjauh dari harapan para pendiri bangsa. Cita-cita, semangat, dan keteladanan para pendiri bangsa makin tak berjejak.

Borgol Johnny G Plate makin menegaskan bahwa kita tak mampu memilih pemimpin politik. Parpol gagal menjalankan fungsi penyedia pemimpin politik. Parpol juga gagal menjalankan fungsi pendidikan politik. Sistem pemilu kita yang berongkos amat mahal itu lalu hanya menghasilkan pejabat politik. Yang memimpin tanpa kepemimpinan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Involusi

Antropolog C. Geertz pernah menggunakan istilah "involusi" untuk melukiskan sistem pertanian modern yang gagal memperbaiki keadaan petani. Sistem itu hanya jalan di tempat. Kelembagaannya makin rumit, tapi tak membuahkan kemajuan substantif. Kelihatannya saja maju. Involusi tampaknya cocok pula untuk melukiskan sistem dan kelembagaan politik era reformasi.

ADVERTISEMENT

Runtuhnya Orba sesungguhnya membuka harapan tentang sistem dan kelembagaan politik yang maju dan demokratis. Namun, ternyata ruang politik itu tersia-siakan. Sistem dan kelembagaan memang berubah. Tapi, perubahan itu tak substantif. Perubahan itu hanya menggeser arena bermain.

Sistem Orba memang tidak memberi ruang parpol bekerja optimal. Parpol diintervensi. Dibatasi geraknya. Maka, kader parpol tidak perlu berimajinasi secara kreatif. Negara dikelola pejabat politik, yang rekrutmennya bukan bersumber dari parpol. Maka, yang terpenting dari kader parpol adalah menyetujui dan tidak melawan apapun yang dikehendaki penguasa.

Implikasinya sangat serius. Kaderisasi kepemimpinan politik dan pembentukan etika (kultur) politik tidak terurus. Parpol tidak merasa butuh kader pemimpin politik, yang memahami kehidupan rakyat serta bersedia memperjuangkan kepentingan rakyat. Parpol juga tidak butuh etika (kultur) politik. Mengapa? Sistem politik Orba memang tidak menghendaki.

Politik lalu raib hakikat. Menjauh dari substansinya. Tak bernilai, menjauh dari akal sehat dan hati nurani yang seharusnya mendasari dan menyemangatinya. Pemilu lalu sekadar ritual mencoblos gambar tanpa makna.

Pasca-Orba boleh dikatakan memberi ruang yang cukup. Bukan sekadar memberi kebebasan kepada rakyat untuk mendirikan parpol, tetapi menantang parpol --melalui kader dan pemimpinnya-- untuk melahirkan pemimpin politik. Bukan sekadar pejabat politik.

Maka, sudah semestinya isi dan wajah parpol berubah. Satu hal yang perlu diingatkan bahwa parpol bukanlah institusi tunggal dalam urusan berbangsa-bernegara. Parpol hanyalah salah satu instrumen pencapaian tujuan dan cita-cita berbangsa-bernegara dalam konteks demokrasi modern.

Kita memilih demokrasi agar kekuasaan dapat diwajibkan terbuka dan bertanggung jawab. Agar kekuasaan diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat. Bung Karno menyebutnya "sosiodemokrasi". Demokrasi tidak cukup berkaki politik, tapi harus pula berkaki ekonomi. Demokrasi harus menjamin kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks ini parpol adalah sokoguru, pilar utamanya. Lewat parpol rakyat berhimpun secara politik. Lewat parpol pula rakyat memberikan suaranya dalam pemilu untuk memilih pemimpinnya. Lewat kader-kader parpol di legislatif pula rakyat menyalurkan aspirasi. Melalui kader-kader parpol di pemerintahan pula kebijakan-kebijakan publik dibuat dan diputuskan. Dengan demikian, meskipun bukan institusi tunggal, isi dan wajah parpol sangat mempengaruhi kehidupan berbangsa-bernegara.

Oleh karena itu, kita sangat prihatin terhadap kinerja sistem politik reformasi yang cenderung hanya melahirkan pejabat politik, yang memimpin tanpa kepemimpinan, yang berujung perborgolan-pemborgolan. Kekuasaan ternyata bukan didayagunakan untuk menyejahterakan rakyat. Tak ada perubahan substantif. Geertz menyebutnya involusi, jalan di tempat.

Keteladanan para pendiri bangsa tak berjejak. Para pendiri bangsa jelas bukan kaum anarki yang anti eksistensi, melainkan anasir-anasir konstruktif untuk zamannya. Mereka bukanlah golongan rakyat biasa. Mereka adalah kaum yang memiliki akses untuk menikmati kelezatan zaman kolonial. Namun, akses itu bukan untuk kenikmatan sendiri dan golongannya, melainkan untuk memerdekakan orang-orang yang terpinggirkan, terkalahkan, dan teraniaya oleh sistem kolonialisme. Mereka memilih dikutuk pemerintah kolonial daripada dikutuk rakyat. Begitulah pemimpin politik yang bekerja dengan natur kepemimpinan politik.

PR Besar

Karena itu, PR (pekerjaan rumah) besar kita adalah mengembalikan fungsi parpol, terutama kaderisasi kepemimpinan politik. Dalam konteks tersebut peran parpol serta kadernya bukan semata-mata diukur dari jumlah suara dalam pemilu, melainkan seberapa jauh parpol dan kadernya itu menjadi subjek perubahan sosial. Jumlah suara memang menentukan kekuasaan, tapi kekuasaan tanpa kepemimpinan yang bersandar pada nilai-nilai luhur bagaikan persetubuhan tanpa pernikahan.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperjuangkan. Pertama, perlu ditegaskan kembali basis orientasi atau pijakan dasar ideologis parpol. Dari sinilah parpol merancang dan menyusun agenda politik serta mengarahkan perubahan sosial yang berlangsung di masyarakat. Inilah yang kelak membedakan secara ideologis parpol satu dengan parpol lainnya. Dengan demikian, yang dilakukan parpol dan para kadernya dalam kepemimpinan bukan respon pragmatis atas situasi dan kondisi politik, melainkan suatu tindakan yang visioner dan ideologis.

Kedua, terkait dengan parpol sebagai lembaga rekrutmen politik, adalah soal etika politik dan kaderisasi. Etika politik berhubungan dengan kultur parpol. Setiap parpol seharusnya memiliki standar etik serta sanggup menegakkannya. Standar etik di antaranya akan mencegah fenomena "kutu loncat" atau kader instan.

Sementara itu, kaderisasi berhubungan dengan konsolidasi visi dan ideologi parpol yang akan mengarah kepada kepemimpinan politik. Kaderisasi harus menjadi perhatian parpol dan tumbuh secara sistemis sebagai kesadaran berpartai. Melalui kaderisasi inilah parpol mempersiapkan kepemimpinan politik; mempersiapkan kadernya sebagai pemimpin perubahan sosial, baik dalam fungsi eksekutif maupun legislatif. Parpol lalu tidak miskin calon pemimpin politik.

Berat dan tak mudah. Tapi, tak ada yang tak mungkin. Tak ada kata terlambat. Meski Pemilu 2024 sudah dekat.

Andang Subaharianto dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads