Terlepas tentang realisasi pembayaran utang pemerintah terhadap produsen dan ritel minyak goreng senilai Rp 344 miliar atas program minyak goreng satu harga, berdasarkan pendapat hukum yang diberikan Kejaksaan Agung atas permasalahan tersebut, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit justru diperintah membayar sebesar Rp 800 miliar kepada para pengusaha minyak goreng. Nilainya dua kali lipat dari nilai utang yang diklaim Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
Melihat adanya kesenjangan antara angka klaim yang diajukan Aprindo dan perhitungan surveyor yang juga digunakan Kejaksaan Agung dalam membuat legal opinion-nya tentu duduk persoalan ini semakin lucu. Belum lagi, secara aturannya bila mengacu UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, lembaga yang sepatutnya melakukan audit adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebaiknya pihak Aprindo hati-hati menerima pendapat hukum yang disampaikan Kejaksaan Agung atas permintaan Kementerian Perdagangan. Sebab menurut Kementerian Perdagangan yang diperintah untuk menyelesaikan tagihan sebesar Rp 800 miliar adalah pihak Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, suatu lembaga yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Tentu mengenai disparitas angka ini bisa berpotensi menimbulkan masalah kelebihan bayar bahkan kerugian negara di kemudian hari.
Tanpa adanya legal opinion Kejaksaan Agung sebenarnya pihak Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit tetap wajib melaksanakan kewajibannya. Alasannya, pertama, bila me-review Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 6 Tahun 2022 dengan tegas di Pasal 11 disebutkan bahwa segala perbuatan hukum yang dilaksanakan berdasarkan Permendag No. 3 Tahun 2022 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan perbuatan hukum tersebut berakhir.
Permendag No. 3 Tahun 2022 adalah peraturan yang bertujuan mewujudkan ketersediaan, kestabilan harga minyak goreng yang terjangkau oleh masyarakat, termasuk usaha mikro dan usaha kecil. Jangka waktu berlakunya Permendag tersebut adalah enam bulan sejak ditetapkan. Sehingga bila dihitung dari bulan ditetapkannya peraturan tersebut berlaku hingga Juli 2022.
Kembali ke Permendag No. 6 Tahun 2022, keberadaannya bukanlah dalam posisi membatalkan Permendag No. 3 Tahun 2022. Sebab sudah jelas diatur dalam Pasal 11 segala perbuatan hukum yang menyangkut penyediaan minyak goreng oleh perusahaan sebagai penyedia tetap dilindungi. Tetapi memang dalam Pasal 13 Permendag No. 6 Tahun 2022 menyatakan Permendag No. 3 Tahun 2022 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
Di sinilah sumber soal yang menjadi argumen bagi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit tidak memenuhi kewajibannya terhadap para penyedia. Padahal bila konsisten mengacu Pasal 11 Permendag No. 6 Tahun 2022, maka persoalan perhitungan jumlah biaya yang harus dibayarkan adalah volume minyak yang telah didistribusikan sampai dengan batas berlakunya Permendag No. 3 Tahun 2022 yakni pada Juli 2022. Sehingga keberadaan Permendag No. 6 Tahun 2022 sebagai alasan tidak dilaksanakannya pembayaran kepada pengusaha merupakan pendapat yang bertentangan dengan peraturan itu sendiri.
Kedua, jelas diatur bahwa antara Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan penyedia terikat dalam suatu hubungan kontraktual penyediaan perjanjian. Sehingga sebenarnya perjanjian merupakan hukum yang primer bagi para pihak sebagaimana asas hukum lex specialis derogate lex generalis.
Peran BPK
Suatu legal opinion (LO) didasari atas legal audit. Pada dasarnya legal audit adalah kegiatan investigasi yang mengumpulkan dan memeriksa data-data termasuk melakukan pengecekan kebenaran produk peraturan, dokumen ke lapangan, atau menemui instansi dan pejabat yang berwenang oleh suatu tim audit yang memiliki spesialisasi dalam memeriksa legalitas dokumen, laporan keuangan, transaksi bisnis, termasuk manajemen dan perpajakan; hal ini berkaitan dengan kecakapan di bidang non-litigasi.
LO merupakan hasil dari suatu proses uji tuntas hukum atas suatu objek dapat berupa peristiwa dan atau subjek hukum. LO merupakan advis hukum yang disusun tertulis sistematis diberikan atas dasar permintaan pihak terkait. Tentu saja hal ini juga dibayar secara patut dan atas kesepakatan antara pihak. Jadi intinya LO merupakan pendapat hukum yang diminta. Pihak yang lazim memberikannya adalah advokat, dapat juga ahli hukum dan pengacara negara yakni jaksa.
Tetapi khusus yang terakhir ini, yakni jaksa, tidak diketahui apakah menentukan suatu tarif sebagai pemasukan negara dalam melayani pemberian pendapat hukum bagi badan/instansi yang memintanya. Suatu pendapat tentu memiliki manfaat bagi yang memintanya. Seperti halnya kita ketika ingin menentukan suatu pilihan, sering kita meminta pendapat dari pihak yang kita anggap mengerti dan kita hargai. Manfaat dan dari seorang yang dianggap mengerti itu adalah esensi dari suatu pendapat.
Dikarenakan sifatnya yang diukur dari manfaat dari yang meminta, kadang-kadang pendapat bila diperhadapkan dengan suatu perselisihan; posisinya tidak langsung dapat diterima oleh pihak lainnya dalam suatu perselisihan. Satu hal lagi, pendapat hukum berdiri berdasarkan dokumen yang disediakan pihak yang memintanya. Di sini maka di setiap pendapat hukum selalu terdapat disclaimer pendapat hukum didasarkan pada dokumen-dokumen yang ada.
Pendapat hukum dapat berubah bila terdapat dokumen di luar yang telah diperiksa sebelumnya. Beda halnya dengan arbitrator yang meskipun memberikan pendapat berupa penilaian terhadap masalah, tetapi tujuannya adalah memutus perselisihan antara pihak yang berselisih.
Posisi LO bisa didekatkan dengan anjuran pada mediator tenaga kerja di Dinas Ketenagakerjaan dalam suatu perselisihan hubungan industrial. Sebab keduanya memiliki fungsi memberikan perspektif terhadap suatu persoalan. Namun keduanya berbeda dalam hal kepentingan; bila LO bisa diberikan kapan saja tidak harus saat ada masalah hukum, anjuran hanya diberikan saat sudah ada masalah perselisihan hubungan industrial yang nyata (peristiwa konkret).
Dalam persoalan tuntutan para pengusaha minyak goreng dan ritel ini sebaiknya yang menjadi auditor adalah BPK. Permintaan ini dapat disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi rakyat. Lembaga legislatif merupakan lembaga pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Persoalan perbedaan nilai antara yang dituntut pihak pengusaha dengan yang dihitung surveyor tidak hanya merugikan pengusaha, tetapi juga tentu akan merugikan rakyat.
Pembiaran terhadap permasalahan ini tentu berpotensi menimbulkan masalah yang tidak hanya berdimensi hukum, tetapi juga sosial-ekonomi. Pihak pengusaha yang menuntut penyelesaian pembayaran bahkan sudah mewanti akan melakukan langkah-langkah dengan tujuan untuk menekan pihak pemerintah menyelesaikan kewajibannya.
Kelangkaan minyak goreng akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Sementara kelebihan nilai pembayaran dari yang dituntut Aprindo juga tentu tidak akan diterima pengusaha karena jelas ibarat menjerat leher sendiri. Di sinilah kesempatan DPR untuk bersuara sebagai wakil rakyat, menjembatani pihak pemerintah dan Aprindo untuk mencegah kemungkinan adanya kebuntuan penyelesaian dengan meminta BPK melakukan audit.
Pendapat BPK diperlukan sebagai proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilaksanakan secara independen, objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Ruben Sandi Yoga Utama Panggabean, S.H, M.H mahasiswa doktor hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan
(mmu/mmu)