Di balik dinding istana, orang-orang besar bersemayam bersama kawanannya. Namun, bangunan dan tanaman yang indah itu tidak serta merta membuat istana menjadi sebuah tempat yang penuh kedamaian bagai dalam cerita dongeng.
"Istana adalah pusat intrik," kata Sarwono Kusumaatmadja. Di sana, semua kepentingan saling beradu. "Kalau tidak mau terlibat intrik, jangan berada di istana," sambungnya.
Ketika Faldo Maldini diangkat menjadi Staf khusus Menteri Sekretaris Negara, nasihat dari Sarwono tersebut sempat saya sampaikan lewat sebuah tulisan. Benar saja, teman seangkatan saya ketika berkampus di Universitas Indonesia itu menghadapi realitas yang sudah sangat terduga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faldo yang merupakan bagian dari tim kampanye penantang Presiden Jokowi pada Pemilu 2019 harus mulai bekerja dengan bekas lawan-lawan politiknya. Selain soal keahlian dan kompetensi, semua yang berada di lingkar ring satu kekuasaan merupakan barisan yang sudah berkeringat lama untuk Presiden Jokowi. Sementara itu, Faldo adalah bekas orang yang tiap hari dihina.
Bahkan, beberapa orang yang sempat dianggap sebagai kawan ternyata di belakang ikut mempertanyakan pengangkatan Faldo Maldini. Orang yang di depan panggung terlihat tersenyum ternyata tidak seperti itu sesungguhnya. Semua menjadi persoalan kepentingan semata.
Sebagai politisi, Faldo ternyata cukup piawai beradaptasi sampai detik ini. Kalau kita melihat kemunculannya di media, semuanya tentu bukan inisiatif sendiri. Kekuasaan memberikannya cap untuk terus bersuara. Mungkin saja, Faldo sudah mampu untuk bermain intrik di istana.
Sarwono Kusumaatmadja menyampaikan nasihat tersebut tentunya tidak sembarangan. Pengalamannya sangat panjang berada di lingkar kekuasaan. Selama rezim Orde Baru, dia duduk di kursi yang sangat berpengaruh, yakni Sekjen Golkar dan kemudian Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara.
Sebagai politisi yang tidak memiliki latar militer, capaian Sarwono sangat di luar normal. Sekjen sipil pertama dan menteri yang mengurusi birokrasi merupakan tanggung jawab yang sentral. Sarwono pernah memegang dua dari tiga pilar kekuasaan Orba, yakni ABG (ABRI, Birorasi, dan Golkar).
Apalagi ketika itu, Sarwono masih berusia relatif muda. Dia menjabat sekjen saat menginjak usia sekitar empat puluh tahun. Tampaknya, adik dari Mantan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja ini memiliki kesaktian di atas rata-rata masyarakat sipil di Indonesia. Kenapa bisa sehebat itu?
Jika partai hari ini memunculkan wajah muda untuk meraih perhatian pemilih, Golkar ketika itu tentunya tidak memerlukan strategi sepragmatis itu. Kekuatan Orde Baru dengan pilar ABG tidak terlalu hirau dengan simbol-simbol kemudaan ini. Kekuatan struktur kekuasaan sudah terlalu mengakar.
Kekuasaan rezim sudah sangat kokoh hingga ke desa-desa lewat integrasi terhadap struktur negara. Barangkali, jasa Orde Baru paling besar adalah membuat orang di seluruh pelosok negeri melihat kehadiran negara lewat berbagai aktivitas aparat-aparatnya, seperti ABRI masuk desa dan Bimas (Bimbingan Massal) pertanian.
Lalu, kenapa Sarwono yang masih sangat hijau diberikan peran sentral? Meski pemimpin rezim yang sangat kaku, ternyata Soeharto memiliki terawangan yang progresif dalam politik. Pada dekade 1980-an, seorang pemimpin rezim militer ini sudah mampu untuk membaca tanda-tanda kedatangan arus demokrasi. Dia sadar semangat zaman tidak dapat ditolak, bahkan hanya sekadar ditunda sekalipun.
Presiden Soeharto mengatakan kepada Sarwono bahwa Indonesia akan memiliki banyak partai di masa depan. Pertarungan elektoral yang ketat akan menjadi bagian dari kehidupan politik rakyat. Golkar harus mulai terbiasa berhadapan dengan pikiran-pikiran baru dan keberagaman agar bisa bertahan dan beradaptasi.
Maka, Presiden Soeharto ingin seorang aktivis 1966 seperti Sarwono terlibat mengurus Golkar. Pertikaian pikiran merupakan tradisi aktivis, termasuk juga mempertanyakan budaya-budaya lama. Kekuatan penguasa sedang berusaha membangun sebuah sistem korektif dari dalam.
Meski sudah "membelah diri" menjadi beberapa partai, sistem koreksi internal ini membuat Golkar tetap menjadi kekuatan politik besar di Indonesia. Dari masa kepengurusan Sarwono, Golkar sudah mulai bertransformasi menjadi kekuatan politik yang terbiasa dengan kompetisi.
Pada hari pertama masuk ke kantor Golkar sebagai Sekjen, Sarwono melihat ada sebuah tombol di dekat mejanya. Ternyata, itu adalah sebuah bel untuk memanggil para wasekjen datang ke ruangannya, yang mana salah satu dari bawahannya itu adalah Akbar Tandjung. Panggilan bel dari pejabat partai setingkat sekjen tentu sangat menakutkan.
Sarwono pun pencet tombol tersebut berulang-ulang, lalu semua wasekjennya berkumpul. Semua yang datang keheranan, seolah wajahnya bertanya tentang persoalan apa yang membuat Sang Sekjen memanggil.
Lalu, dia bertanya kepada semua yang sudah datang dan berkumpul. "Kenapa manusia bisa dipanggil seperti ini? Tidak pantas. Memangnya, saya tidak punya tenaga untuk datangi ruangan kalian?" kata Sarwono. Setelah hari itu, bel tersebut pun dibongkar.
Selanjutnya, diundang bercakap-cakap oleh presiden merupakan kesempatan berharga bagi setiap orang. Namun, Sarwono pernah merasakan kejanggalan. Pada suatu hari, dia meminta waktu untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di luar dugaannya, Soeharto mengajak berjumpa di Cendana.
Menurutnya, tidak semua menteri diajak Presiden Soeharto bertemu di kediaman, apalagi itu terkait permintaan jadwal untuk membahas masalah pekerjaan.
Ketika Sarwono menghadap Soeharto ketika itu, perbincangan mengenai pekerjaan sangat jarang terbahas. Lalu, Sarwono berkonsultasi kepada beberapa senior partai untuk menerjemahkan maksud dari Presiden Soeharto.
Mensesneg Soedarmono mengatakan kepada Sarwono bahwa itu cara Presiden Soeharto untuk merekrut seseorang menjadi bagian dari "orang dalam". Konsekuensi menjadi orang dalam tentu memiliki kekuasaan yang semakin besar, namun harus bersiap juga untuk kehilangan kehidupan pribadi.
Setelah itu, Sarwono kembali bertemu Soeharto di Cendana. Lalu, percakapan serupa kembali terulang. Sampai di satu titik, Sarwono menolak untuk melanjutkan pembicaraan dengan Presiden Soeharto. Menurutnya, pembahasan sudah mengarah ke isu yang terlalu pribadi. Lalu, Presiden Soeharto mengakhiri pembicaraan sembari meninggalkan Sarwono.
Alhasil seperti yang diduga, Sarwono selanjutnya tidak lagi diajak bertemu di Cendana. Ketika meminta waktu bertemu, ajudan Soeharto mengarahkan Sarwono untuk menghadap di Kantor Presiden Bina Graha. Pembicaraan pun berjalan secara formal dan sebatas pekerjaan saja.
Beruntung sekali, saya di Total Politik sempat menyimak langsung cerita-cerita Pak Sar. Kami juga pernah berdialog dengan beliau di acara Adu Perspektif yang dihelat oleh detikcom. Kehidupan Sarwono sudah berakhir, namun pikiran dan ceritanya akan terus menjadi acuan bagi generasi selanjutnya. Selamat jalan, Pak Sarwono! Menuju istana-Nya yang bebas dari permainan intrik....
Arie Putra Co-founder Total Politik, host Adu Perspektif detikcom X Total Politik
(mmu/mmu)