Medio Februari 2023 lalu, ditemani beberapa adik mahasiswa, kami mencoba menelusuri jalan gusuran dan jalur setapak pada pagi hari. Jalan ini menanjak ke arah perbukitan di belakang Perumnas 4 Padang Bulan Abepura, Kota Jayapura, Papua. Matahari saat itu masih malu-malu menampakkan wajahnya.
Kawasan perbukitan yang tampak luas dari kejauhan ini merupakan area yang ditumbuhi aneka rerumputan dan semak belukar. Kawasan ini sebenarnya tidak asing bagi saya. Karena saya sudah pernah menjelajah wilayah ini beberapa tahun silam.
Saat datang ke Kota Jayapura untuk kuliah di Universitas Cenderawasih (Uncen) pada 2002, saya tinggal bersama kakak saya di kompleks Perumahan Kehutanan Perumnas 4, Padang Bulan, Abepura yang dekat dengan perbukitan ini. Kami sering mendaki jalur setapak di bukit ini untuk menikmati pemandangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi waktu itu belum ada jalan yang digusur seperti sekarang. Jadi sulit, lantaran area ini masih terisolasi. Untuk sampai ke puncak perbukitan ini, kita harus menerobos jalan setapak yang tertutup rerumputan tebal setinggi orang dewasa. Setelah melewatinya, sesaat kemudian kulit badan akan terasa gatal-gatal dan nyeri oleh luka sayatan karena teriris semak belukar.
Waktu itu saya pernah menemani kakak saya yang bertugas sebagai polisi kehutanan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua melakukan pemetaan kawasan ini dengan membuat titik koordinat. Pemetaan itu dilakukan untuk memetakan kawasan kritis di lokasi ini. Kami juga sempat menanam beberapa anakan pohon cemara. Tapi sebagian besar mati karena kebakaran lahan.
Temaram sinar matahari pagi itu mengiring kami menapaki perbukitan yang indah. Semilir angin sepoi-sepoi sesekali datang menampar wajah kami saat berjalan menanjak. Membuat langkah kaki kami harus berhenti beberapa kali untuk menepi sesaat di bawah pohon. Jalan menanjak ini benar-benar menguras energi dan membuat napas tersengal-sengal.
Walau begitu, suasana ini menambah semangat kami untuk terus melanjutkan tracking hingga mencapai puncak perbukitan. Kelelahan bercampur keringat yang mengucur di sekujur tubuh terbayar oleh eksotisme panorama alam yang bisa dinikmati di atas perbukitan ini. Kita yang belum terbiasa mendaki atau melewati jalan tracking di perbukitan maupun pegunungan, pasti akan kelelahan.
Belakangan saya baru tahu bahwa kawasan perbukitan yang luas ini dinamai Bukit Khambu. Kawasan ini dimiliki secara adat dan turun temurun oleh keluarga ondoafi Yulianus Khambuyouge Kambu. Beliau belum lama ini dipilih menggantikan mendiang ondoafi Ramses Ohee guna melanjutkan kepemimpinan tradisional Keondoafian orang Sentani di Waena.
Ondoafi adalah nama sistem kepemimpinan adat di sekitar wilayah Jayapura atau yang biasa dikenal sebagai wilayah adat Tabi. Masing-masing suku di wilayah ini punya pemimpin tradisional yang disebut ondoafi. Kekuasaannya terbatas hanya di satu atau beberapa kampung (desa). Ada juga yang disebut 'ondoafi besar', tugasnya memimpin sejumlah ondoafi di suatu wilayah yang luas.
Para ondoafi biasanya didukung orang-orang yang membantunya dalam kepemimpinan adat. Ondoafi memiliki hak kepemilikan secara turun temurun atas tanah dan sumber daya alam yang terkait. Meski begitu, tanah dan sumber daya alam di wilayah Jayapura maupun umumnya di Papua dimiliki secara kolektif oleh suatu marga beserta kerabat dekatnya.
Tanah yang dimiliki secara kolektif ini dapat berupa hamparan hutan adat yang luas untuk berburu, melakukan inisiasi adat, berkebun, dusun sagu, dusun kelapa, dusun tempat mencari nafkah, dan lain-lain. Di sini juga melekat hak dan kewajiban untuk mengelola maupun menjaga tanah atau hutan adat mereka secara turun temurun.
Marga Kambu sebagai pemilik area bukit Khambu merupakan pemukim asli di wilayah yang sekarang dikenal bernama Waena, sebuah distrik atau kecamatan di Kota Jayapura. "Khambu atau Kambu berarti akar," ujar Bambang Yulianto Kambu, anak tertua dari ondoafi Yulianus Kambu.
Marga Khambu atau Kambu dari suku Sentani yang umumnya mendiami wilayah sekitar Danau Sentani di Jayapura tergolong sedikit dalam hal jumlah jiwa. Mereka hanya terdiri dari beberapa kepala keluarga. "Kami yang pakai marga Kambu dari orang Sentani di Jayapura memang sangat sedikit," ujar Bambang.
Dari cerita para orang tua, kata dia, di atas tanah adat milik keluarganya yang bernama Bukit Khambu, dulunya masih tertutup hutan lebat. Hutan ini menyebar dan menyatu dengan kawasan hutan di sekitar kali Camp Walker Waena hingga Pegunungan Cycloop nan menjulang di wilayah Jayapura.
Kondisi hutan ini menjadi penyangga dan penyedia mata air bagi sungai-sungai yang mengalir lalu bergabung jadi satu menuju ke Danau Sentani. Ada dusun-dusun sagu tempat leluhur orang Sentani mencari nafkah secara tradisional. Hutan menjadi tempat berburu, meramu, dan menyediakan kehidupan, selain sungai dan Danau Sentani.
Tidak hanya itu. Menurut Bambang, para leluhurya juga ada yang dikubur secara tradisional di area Bukit Khambu.
"Dorang punya tulang-belulang ada yang terkubur di sini. Dorang ini yang jadi roh-roh leluhur yang jaga tempat ini," tambahnya.
Sayangnya, situasi demikian sudah berubah sekarang. Ia hanya bisa mengenang dan menyesali hutan sudah berganti menjadi lahar kritis. Sungai-sungai sudah tercemar. Tanah sudah banyak beralih fungsi dan kepemilikan ke orang lain. Tanah adat ini dijual oleh orang tua dan kerabat mereka ke pihak lain karena tuntutan ekonomi.
"Terus terang, kami ini sebagai masyarakat adat pemilik tanah mau menjaga dan kelola kitong punya tanah untuk anak cucu. Tapi kebutuhan ekonomi dan lain-lain kadang mendesak sehingga tanah terpaksa dilepas," kata Kambu mengeluh.
Menurutnya, jika pemerintah daerah di Papua atau pihak LSM mau melarang masyarakat adat untuk tidak lagi menjual tanah, hutan atau sumber daya alam yang dimiliki, mereka harus memberi solusi sebagai alternatif. Solusi itu dapat berupa pemberdayaan masyarakat adat dengan metode yang tepat agar mereka bisa mandiri mengelola potensi yang ada.
Karena itu, Bambang Kambu secara pribadi telah bertekad untuk tidak mau lagi menjual atau melepas tanah adat mereka yang tersisa di bukit dan lembah Khambu. Ia sudah merencanakan beberapa upaya untuk mengelola tanah adat mereka dengan konsep agroforestry, peternakan, dan ekowisata untuk masa depan.
Fam atau marga Kambu tidak hanya berasal dari suku Sentani. Orang Papua bermarga Kambu umumnya dikenal berasal dari suku Maybrat di area kepala burung (Vogelkop) Tanah Papua. Kabupaten Maybrat saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Papua Barat Daya, provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua Barat.
Nah, soal penyebaran marga Kambu hingga ke wilayah Maybrat, marga Kambu Waena dari suku Sentani di Jayapura ini punya cerita mitologi tersendiri tentang asal usul itu. Untuk membahasnya, tentu akan panjang.
Potensi Terpendam
Bukit Khambu memiliki area perbukitan yang membentang mulai dari area Padang Bulan, Abepura hingga Waena, Kota Jayapura. Kawasan ini menyerupai savanah yang cukup luas. Secara administratif, area ini masuk dalam wilayah Distrik Abepura dan Heram Waena.
Tidak tahu persis, berapa total luasan kawasan ini secara keseluruhan. Sekilas dari arah timur dan utara, perbukitan ini membentang ke arah Perumnas 4 Padang Bulan. Lalu menyambung ke perbukitan di belakang kawasan perumahan Organda Padang Bulan Abepura.
Dari arah barat dan selatan, area ini berbatasan langsung dengan tembok melingkar pembatas lahan kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Waena, Perumnas 3, PLTD Waena, RS Dian Harapan, SMA YPPK Taruna Bhakti, hingga kompleks Perumahan Yotefa Graha Waena.
Secara biofisik, bukit Khambu memiliki rangkaian perbukitan yang cukup luas dengan vegetasi utama berupa ilalang dan semak belukar. Ada lembah, jurang, dan beberapa canal sungai kecil yang airnya masih mengalir. Beberapa mata air telah dimanfaatkan sebagai sumber air bersih oleh warga. Tapi ada yang sudah mengering akibat penggundulan hutan.
Di atas perbukitan ini terdapat bukit berumput yang permukaannya datar dan jarang pepohonan. Ada beragam rerumputan liar dan pohon-pohon kecil yang hendak beranjak dewasa. Tapi rentan mati oleh seringnya kebakaran lahan. Kebakaran biasanya terjadi secara alami atau lahan rerumputan sengaja dibakar warga saat musim panas. Pohon di area ini pun rentan mati karena kekeringan saat temperatur udara meningkat di musim panas.
Pada 26 dan 29 Maret 2023 lalu, kebakaran lahan sempat melanda kawasan ini. Ada warga yang sengaja memantik api pada rumput-rumput kering. "Saya lihat asap tiba-tiba naik dari atas bukit. Ternyata ada yang sengaja membakar lahan," kata Mikael Dimara, seorang aktivis lingkungan dari Eco Papua Community (EPC) yang juga warga sekitar.
Kebakaran ini hampir meliputi seluruh bagian selatan perbukitan ini. Kebakaran juga merambat ke beberapa titik di bagian utara dekat Perumnas 4 dan Perumahan Organda Padang Bulan, Abepura. Padahal, relawan EPC dua minggu sebelumnya telah menanam 700 anakan pohon di kawasan ini. Beruntung, kebakaran lahan tidak sampai merambat ke lokasi penanaman.
"Memang ada beberapa pohon yang sempat ikut terbakar dan mati," jelas Mikael. Menurutnya, sebelum dilakukan penanaman, jalur tanam dibersihkan secara berbaris. Tujuannya agar mengisolasi pohon dari kobaran api yang dapat menjalar lewat rerumputan kering.
Penghijauan dilakukan sebagai upaya mengembalikan kondisi alami hutan dan ekosistem di kawasan ini. EPC juga menggunakan metode pembersihan dan pemeliharaan pohon-pohon asli (native trees) yang memiliki potensi untuk tumbuh besar, tapi terhalang rerumputan. Diperkirakan, butuh sekitar 50.000-100.000 anakan pohon untuk bisa menghijaukan kembali kawasan bukit Khambu.
Usaha ini perlu dibarengi pengawasan yang rutin atas kawasan ini, terutama dari aktivitas warga yang berdampak buruk. Sejak terbentuk pada akhir Februari lalu, EPC telah berupaya membina kerja sama dengan masyarakat adat pemilik kawasan ini. "Kami sudah bangun komunikasi dengan pemilik tanah. Mereka pada intinya setuju agar kita bisa sama-sama menanam dan mengembangkan area ini," jelas Dimara yang juga penanggung jawab kegiatan penanaman pohon.
Pemerintah melalui Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Papua bersama BP DAS Mamberamo Papua yang berlokasi di Skyland, selama ini telah menjadi instansi teknis penyedia bibit pohon gratis bagi masyarakat kota Jayapura. Bibit gratis ini telah membantu EPC sebagai salah satu komunitas lingkungan dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis di bukit Khambu.
Sebelum terjadi kebakaran lahan, di Bukit Khambu bisa dijumpai berbagai jenis vegetasi dan pepohonan asli yang tumbuh menyebar. Ada beragam jenis burung yang riang berterbangan dari satu ranting pohon ke pohon lain. Kadang bisa dijumpai berwarna-warni kupu-kupu, belalang, dan beragam serangga lain. Ada hewan amfibi seperti katak maupun reptil seperti ular. Terdapat beragam jenis burung (aves), serangga, kadal, hewan amfibi seperti katak, dan lain-lain.
Kondisi permukaan tanah di perbukitan ini terdiri dari tipe tanah humus yang terdapat pada area cekungan lembah dengan sedikit pepohonan dan ada sumber air. Area ini tampak sangat cocok untuk lahan pertanian perbukitan dengan konsep agroforestry dan permakultur.
Ada pula jenis tanah alluvial, tanah merah lempung, tanah liat, tanah laterit dan tanah organosol atau tanah gambut yang terbentuk karena erosi pada permukaan lahan gambut. Kawasan ini juga memiliki berbagai tipe batuan yang unik dan sedikit tanah berpasir.
Namun berkembangnya pemukiman dikhawatirkan dapat menjadi ancaman tersendiri. Apalagi saat ini sudah ada beberapa bangunan rumah permanen yang sedang dibangun. Ada satu dua rumah gubuk dan kebun tradisional milik warga.
Aktivitas berkebun secara tradisional ini biasanya memanfaatkan lahan hasil penebangan pohon dan pembakaran lahan di lereng perbukitan. Berkebun dengan cara demikian umumnya tidak ramah lingkungan. Sebab berisiko mendatangkan bencana longsor maupun banjir.
Diperkirakan wilayah bukit Khambu ini dulunya berupa kawasan hutan primer, sekunder, atau tersier yang kemudian mengalami degradasi secara alami maupun karena ulah manusia. Area ini berada di ketinggian antara 200-250 meter di atas permukaan laut sehingga memiliki panorama alam yang menarik.
Lantaran minim pepohonan, temperatur udara di kawasan ini pada siang hari terasa cukup panas, bahkan meningkat di musim panas. Bila di malam hari suhu udara lebih sejuk dan dingin saat hujan.
Karena berada di atas ketinggian perbukitan, secara keseluruhan kawasan ini belum banyak dihuni warga masyarakat atau jarang pemukiman. Ada satu dua rumah warga bertipe permanen dan non permanen berbentuk rumah kayu atau gubuk. Jumlah penduduk hanya berkisar puluhan jiwa dengan sedikit kepala keluarga (KK) yang menghuni beberapa rumah.
Kepadatan penduduk lebih terkonsentrasi di area bawah seperti; Perumnas 4, Perumahan Yotefa Graha dan area Perumnas 3. Tapi kemungkinan di masa depan, jumlah penduduk akan meningkat seiring trend pertambahan penduduk di Kota Jayapura dan peningkatan kebutuhan lahan untuk hunian. Situasi ini akan menyebabkan beralihnya kawasan yang tadinya berupa lahan kosong ke peruntukan lain.
Dari sisi pemanfaatan ruang untuk kebutuhan lain, saat ini ada sejumlah warga yang membuka lahan kebun secara tradisional maupun memelihara ternak babi. Ada pula aktivitas pengambilan kayu bakar, material tanah, batu, pengambilan rumput, pengambilan anakan tumbuhan dan pohon.
Belum banyak pembangunan infrastruktur yang memadai berupa jalan raya yang ramai. Jalan masih berupa gusuran, jalan setapak dan jalur tracking. Tidak ada jembatan, masih terbatas jaringan listrik, drainase dan fasilitas lainnya.
Lokasi ini pun masih jarang digunakan sebagai area olahraga jogging, tracking, perkemahan (camping), area lintas alam, sepeda gunung, dan pemanfaatan lain. Padahal, sangat potensial untuk aktivitas semacam itu.
Ada upaya penghijauan kembali (reboisasi) lahan yang tandus dan terbakar dengan metode agroforestry di kawasan ini. Ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai pelindung (buffer area), konservasi dan nantinya bernilai ekonomis di masa depan.
Alberth Yomo dari Yayasan Econusa menjelaskan, penerapan metode agroforestry dapat berjalan efektif di kawasan ini jika terfokus pada satu area lalu berpindah ke area berikutnya secara bertahap. "Tapi upaya itu hanya bisa terjadi lewat pengawasan yang ketat, pemeliharaan pohon yang rutin dan berkesinambungan," ujarnya.
Dari pengalamannya bersama EcoNusa mendampingi masyarakat lokal, komitmen masyarakat adat pemilik tanah di sekitar area program pendampingan sangat diperlukan untuk menjaganya dari dampak eksploitasi kawasan. Atau pengalihan fungsi kawasan untuk peruntukan lain.
Dalam kegiatan reboisasi misalnya, masyarakat adat pemilik tanah, warga sekitar hingga masyarakat luas pun perlu berkolaborasi bersama. Terutama dalam kegiatan penanaman pohon melalui gerakan penghijauan massal.
Penerapan pola pemberdayaan dan pendampingan yang tepat bagi masyarakat adat pemilik tanah dalam mengelola potensi yang ada, juga menjadi kunci utama dalam membangun kemandirian. Salah satunya melalui kegiatan bertani produktif yang dikombinasikan dengan menanam dan merawat pohon (agroforestry) atau beternak secara berkesinambungan.
Dengan begitu, masyarakat adat pemilik tanah nantinya tidak lagi mengalihfungsikan kawasan tanah adat komunal yang telah diwarisi secara turun temurun. "Mereka juga akan ikut menjaganya dari setiap ancaman dampak lingkungan," cetus Yomo.
Julian Haganah Howay wartawan freelance, petualang, dan aktivis lingkungan
Simak juga 'KKB Ancam Tembak Pilot Susi Air Jika Tak Ada Dialog Papua Merdeka':