Tahun 2024 pesta demokrasi yang sangat dinanti-nantikan. Harapan baru memiliki masa depan lebih baik akan membuncah beriringan dengan pemilihan umum (pemilu). Terpilihnya presiden yang baru adalah pintu masuk meraih mimpi indah di masa-masa selanjutnya.
Pemilu 2024 mendatang memiliki nilai lebih penting dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Itu karena berlangsung di tengah perubahan iklim yang mengkhawatirkan. Air laut naik drastis, semburan cuaca panas yang ekstrem, dan masa depan generasi muda yang harus menanggung risiko tinggi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan efek perubahan iklim disebabkan oleh bahan bakar fosil, batu bara, minyak dan gas. Semua ini merupakan penyumbang terbesar perubahan iklim, 75% emisi gas rumah kaca, dan 90% seluruh emisi karbon dioksida.
Perubahan iklim berdampak buruk pada lingkungan hidup juga bagi manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan bahwa perubahan iklim berdampak pada kehidupan sosial dan kesehatan manusia, seperti air bersih dan air minum yang sehat, makanan yang cukup, dan tempat berlindung yang aman. Pada 2030 sampai 2050 nanti, perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan 250.000 kematian jiwa per tahun, akibat malnutrisi, malaria, diare, dan tekanan panas.
Di sisi lain, biaya untuk kesehatan, pertanian, air serta sanitasi pada 2030 nanti diperkirakan 2-4 miliar dolar AS per tahun. Indonesia sebagai pemilik lahan hutan yang sangat luas dibanding negara lain harus memiliki perhatian serius terhadap isu perubahan iklim ini. Pemerintah setidaknya harus menaruh perhatian yang tinggi kepada dua aspek, yakni implementasi konstitusi hijau dan komitmen politik hijau.
Konstitusi Hijau
Prof. Jimly Asshiddiqie menjelaskan UUD 1945 melalui Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) adalah alasan bagi kita untuk bisa menyebut konstitusi Indonesia sebagai konstitusi hijau. Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal ini sejalan dengan visi WHO yang ingin menyediakan air bersih dan air minum yang sehat, makanan yang cukup dan tempat tinggal yang aman.
Sementara Pasal 33 ayat (4) menyebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Frasa "berwawasan lingkungan" yang dimaksud tiada lain berarti keharusan menjunjung tinggi pelestarian lingkungan hidup yang berkelanjutan, yang aman untuk ditinggali oleh manusia. Dengan demikian, UUD 1945 sebagai konstitusi kita telah memberikan landasan yuridis untuk memiliki komitmen yang tinggi mengenai nasib dan masa depan bumi tempat kita hidup. Namun, eksistensi hukum ini juga harus didukung oleh visi dan komitmen politik.
Komitmen Politik Hijau
Secara teoritik, Derek Wall mengartikan politik hijau atau ekopolitik sebagai ideologi yang mengklaim bahwa keberlanjutan hidup masyarakat bergantung pada kepedulian terhadap lingkungan, tanpa kekerasan, keadilan sosial, dan demokrasi di akar rumput.
Wacana politik hijau ini dimulai pada 1970-an, ketika muncul banyak partai politik yang menggunakan istilah penghijauan. Salah satunya di Jerman, ada partai Die Grunen yang mengusung visi politik penghijauan untuk Jerman. Pada Juni 19870, di Belanda, sebuah komunitas bernama Kabouters berhasil memenangkan suara pemilih.
Pada 2001, Global Greens menjadi gerakan hijau internasional, yang mengidentifikasi ada enam prinsip utama tujuan mereka; kebijaksanaan hijau, keadilan sosial, demokrasi partisipatoris, anti-kekerasan, keberlanjutan, dan penghargaan terhadap keragaman.
Salah satu bukti komitmen Indonesia untuk mewujudkan kebijakan hijau adalah dengan digagasnya Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). RUU ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT dalam rangka mengurangi pangsa penggunaan energi fosil. Dalam perkembangannya, DPR dan pemerintah baru menyepakati 160 poin daftar inventaris masalah (DIM) dari 574 poin inti RUU EBT.
Center of Economic and Law Studies (Celios) dan beberapa pemerhati lingkungan memberikan banyak catatan kritis terhadap RUU ini. Di antara kritiknya adalah masih tipisnya demokrasi energi yang terakomodasi. Hal ini ditunjukkan dengan salah satunya nyaris tidak ada partisipasi masyarakat yang diatur dalam RUU EBT. Padahal transisi energi yang diatur melalui RUU EBT berdampak signifikan pada masyarakat luas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bergantung pada Pemilih Muda
Siapapun calon presidennya, apapun partai politik yang mengusungnya, seorang capres menjadi sangat pantas dipilih selama memiliki visi politik hijau dan berkomitmen patuh mewujudkan praktik konstitusi hijau dalam setiap kebijakannya. Terpilihnya pemimpin Indonesia sebagai titik tolak masa depan baru bangsa dan negara yang lebih baik itu bergantung pada keputusan pemilih muda milenial
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut bahwa Pemilu 2024 bakal didominasi oleh pemilih muda yang berusia maksimum 40 tahun pada hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Prosentase pemilih pemula sekitar 53-55%, atau 107 - 108 juta dari total jumlah pemilih Indonesia yang diperkirakan mencapai 204 juta pemilih. Dengan jumlahnya yang sangat besar, suara kaum milenial akan menjadi penentu kemenangan Pilpres 2024 nanti.
Bagaimana cara merebut suara kaum milenial? Survei Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah pada September 2021 yang lalu patut diperhatikan. Hasil survei itu menyatakan kepekaan kaum milenial terhadap isu krisis iklim dan lingkungan berada diperingkat dua setelah isu korupsi. Survei ini harus diperhatikan secara serius oleh para kandidat capres yang ingin memenangkan Pemilu 2024. Sekali lagi angkanya menunjukkan bahwa kemenangan mutlak Pemilu 2024 sepenuhnya ada di tangan milenial.
Zuhad Aji Firmantoro Direktur Bidang Hukum pada Center of Economic and Law Studies (Celios), dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia